• 25 November 2024

Kondisi Badak Jawa Terkini di TN Ujung Kulon

Badak Jawa merupakan salah satu satwa liar yang masuk dalam daftar prioritas konservasi spesies. Di Indonesia sendiri, Badak Jawa yang memiliki nama latin Rhinoceros sondaicus, satu dari dua jenis yang habitatnya hanya berada di tanah air. 

Sementara di dunia, hanya tersisa lima spesies badak dengan jumlah populasi makin menurun karena perburuan hingga menyusutnya luas habitat hewan mamalia ini.

Di Indonesia sendiri, penyebaran populasi badak bercula satu sangat terbatas di Semenanjung barat daya Pulau Jawa, di kawasan TNUK.

Berdasarkan Red List Data Book IUCN, Badak Jawa berstatus Critically Endangered dan hal tersebut dikarenakan oleh sebaran populasi yang sempit, jumlah populasi yang kecil, serta tingkat risiko terhadap habitat dan populasinya.

Hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian LHK, Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), para mitra, dan para ahli. Tetapi, ada banyak kendala yang dihadapi Balai TNUK dalam mengelola konservasi Badak Jawa karena masih minimnya penelitian ilmiah yang mempelajari seluruh aspek dari perilaku Badak Jawa. 

"Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (oleh: Toby Nowlan)"

Perilaku Badak Jawa yang belum teridentifikasi detail, membuat habituasi dan pengelolaan konservasinya cukup sulit. Satwa ini memiliki sifat pemalu dan sensitif, sehingga sedikit gangguan saja bisa membuat badak ini terganggu. Bahkan, menurut Rois Mahmud, perwakilan dari Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), ada indikasi kecenderungan melukai dirinya sendiri jika mengalami stress. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku konservasi dalam menjaga habitat dan populasi Badak Jawa.

“Analisis genetik yang dilakukan bekerjasama dengan IPB menghasilkan kesimpulan jika kepunahan populasi bisa terancam oleh faktor depression in-breeding,” jelas Rois. Dua haplotype yang berbeda terpisah secara geografis di dalam habitat. Dengan demikian, perkawinan sedarah sangat mungkin terjadi dan menjadi kendala yang cukup rumit. Perkawinan sedarah pada populasi berpotensi menurunkan kualitas keturunan makhluk hidup. oleh karenanya perlu intervensi manusia dalam upaya meminimalkan dampak dari risiko tersebut.

Selain persoalan dari individu badak itu sendiri, kendala soal tumbuhan pakan Badak Jawa juga dihadapi TN Ujung Kulon. Keberadaan tumbuhan Langkap mengganggu pertumbuhan tumbuhan pakan badak. Berbagai upaya telah dilakukan TN Ujung Kulon untuk membasmi tumbuhan Langkap ini, tetapi masih belum menemukan solusi yang tepat karena pertumbuhan Langkap sangat cepat.

Diskusi Direktur Jenderal KSDAE dengan Balai TNUK, Yayasan Badak Indonesia (YABI), ALeRT, dan IRF, membahas penyediaan habitat yang layak bagi Badak Jawa menjadi fokus penting. Langkah ini perlu dilakukan untuk membuat badak nyaman untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak. Menurut Dirjen KSDAE, Prof. Satyawan Pudyatmoko, habitat yang layak akan menjadi faktor penentu utama peningkatan populasi.

Indikasi perburuan Badak Jawa dan gangguan manusia juga menjadi sorotan dalam diskusi. Kini Polda Banten tengah memburu terduga pelaku perburuan, Balai TN Ujung Kulon juga sudah membentuk tim gabungan untuk melakukan patroli dan penjagaan dibantu beberapa pihak, seperti Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango, Balai TN Gunung Halimun Salak, Brimob Polda Banten, MMP, dan Tim RPU. Tidak hanya untuk mencegah perburuan, tim gabungan ini juga bertugas untuk mencegah aktivitas manusia di wilayah konservasi yang berpotensi mengganggu habitat Badak Jawa.

Menanggapi persoalan keamanan kawasan konservasi ini, Sekretaris Direktorat Jenderal KSDAE, Suharyono yang turut serta dalam diskusi dan survei lapangan ini, menyatakan jika menjalin hubungan baik dengan masyarakat bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini. Suharyono memberi arahan kepada seluruh elemen yang terkait dalam konservasi Badak Jawa di TNUK untuk berbaur dengan masyarakat, memberi pemahaman kepada masyarakat tentang arti penting keberadaan Badak Jawa dan mengapa diperlukan upaya konservasi. “Pendekatan kesejahteraan ke masyarakat sekitar perlu dilakukan. Inilah hakikat pengamanan,” jelas Suharyono di hadapan para pegawai TN Ujung Kulon dan tim gabungan.

Selain itu, keberhasilan SRS dalam konservasi Badak Sumatera juga disoroti dalam diskusi. Dirjen KSDAE menyatakan jika keberhasilan SRS ini bisa menjadi contoh bagi konservasi Badak Jawa dan diharapkan bisa mencapai keberhasilan yang sama, bahkan lebih.

“Artificial breeding yang berhasil dilakukan pada Badak Sumatera, perlu diaplikasikan untuk Badak Jawa, dibandingkan dengan strategi secondary habitat. Populasi dan habitat harus sama-sama diperhatikan intervensinya, namun manakah yang lebih penting porsinya?” jelas Dirjen KSDAE saat berdiskusi di kawasan JRSCA.

Di sisi lain, TN Ujung Kulon sudah memiliki JRSCA yang kini sudah siap untuk digunakan. Walau begitu, masih ada beberapa bagian JRSCA yang harus disesuaikan dengan perilaku Badak Jawa yang sangat sensitif ini. Seperti paddock yang harus jauh dari lingkungan masyarakat dan akses menuju paddock yang perlu diperbaiki lagi. Para mitra yang hadir dalam diskusi tersebut menyatakan siap untuk sepenuhnya membantu Balai TNUK dalam upaya konservasi Badak Jawa. Tidak hanya dukungan pengetahuan, tapi juga dukungan teknis dan sumber daya. 

Dalam diskusi, Direktur Jenderal KSDAE memberikan arahan terkait beberapa hal. Pertama dan terutama adalah arahan terkait intervensi pada variabel-variabel Population Viability Assessment (PVA) yang dapat meningkatkan populasi Badak Jawa. Lebih lanjut, Prof. Satyawan menjelaskan beberapa hal yang juga perlu terus dilakukan, antara lain strategi dan upaya penanganan indikasi perburuan yang sudah dilakukan saat ini perlu ditingkatkan lagi.

Kekurangan personel, minimnya fasilitas kerja serta pembiayaan harus segera tertangani. Balai TNUK harus segera mengajukan kebutuhan tersebut, agar upaya patroli dan penjagaan dapat lebih efektif hingga menekan perburuan ke nilai nol. Eradikasi Invasive Alien Species (IAS) juga harus terus dilakukan agar dapat menjamin ketersediaan kebutuhan pakan badak di dalam habitat alaminya secara memadai.

JRSCA juga perlu dimaksimalkan fungsinya. Kekurangan fasilitas dan metode kerja yang belum sempurna perlu segera disempurnakan agar segera berfungsi optimal. Hal-hal teknis dan metode kerja di JRSCA perlu segera didiskusikan kembali dan ditindaklanjuti secara serius. JRSCA diharapkan dapat segera berfungsi pada tahun 2024.

Menindaklanjuti diskusi yang berlangsung dari Kamis hingga Jumat (24-25 Agustus 2023) ini, Dirjen KSDAE juga memberi arahan untuk segera mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bersama mitra dan ahli, serta sesegera mungkin untuk menerapkan hasil diskusi agar persoalan habitat dan populasi Badak Jawa bisa teratasi karena situasi yang genting.

“Walaupun terlihat sederhana, tapi pekerjaan ini tidak sederhana ketika berhadapan dengan masalah di lapangan. Agar berhasil, memang harus satu visi, kompak dan saling mendukung. Jadi saya harapkan, mari kita hadirkan semangat baru dan energi baru agar Badak Jawa ini tidak punah,” tutup Dirjen KSDAE dalam diskusi bersama tim gabungan di Aula JRSCA, Jumat (25/08).

Related News