• 23 November 2024

Memulihkan Lahan Pertanian Pascabencana

uploads/news/2020/01/memulihkan-lahan-pertanian-pascabencana-348261e2be50e3b.JPG

Pemerintah bersama lembaga swasta lainnya terus berkolaborasi dalam pemulihan lahan pertanian untuk mengembalikan perekonomian warga setempat yang terdampak bencana.

SIGI - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terus melakukan upaya pemulihan pasca bencana yang terjadi pada 2018 silam. Khususnya lahan pertanian yang mengalami dampak cukup besar akibat gempa berkekuatan 7,4 SR di sejumlah wilayah di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah mencatat, sekitar 7.356 areal persawahan di Palu, Sigi, dan Donggala mengalami kerusakan. Akibatnya, sejumlah daerah penghasil padi kehilangan potensi panen 119.167 ton gabah kering panen (GKP) sepanjang 2019. Perkiraan tersebut dilihat dari nilai rata-rata panen nasional 5,4 ton per hektare dengan tiga kali masa tanam dalam satu tahun.

"Jika dihitung, kurang lebih kisarannya seperti itu jumlah kehilangan sekarang ini dan saya kira Sigi dan Donggala juga penyedia beras teratas untuk Sulteng," kata Kepala BPTP Sulteng, Ferry Fahruddin Munier (23/1).

Baca juga: Tiga Satwa Liar Terancam Punah

Ferry menyebut, dari 7.356 hektare lahan sawah terdampak, seluas 583 hektare yang mengalami kerusakan berat. Sementara itu, seluas 993 hektare rusak sedang dan 5.831 rusak ringan. Meski pun sebagian lahan dikategorikan rusak ringan dan sedang, namun areal persawahan itu tetap tidak dapat diolah petani karena ketiadaan pasokan air. Hal itu dikarenakan rusaknya jaringan irigasi gumbasa yang berada di Kabupaten Sigi. Padahal, rata-rata areal persawahan di Sigi sudah menerapkan indeks pertanaman (IP) 300 atau dapat melakukan tiga kali panen dalam setahun.

Meski begitu, pemerintah bersama lembaga swasta lainnya terus berkolaborasi dalam pemulihan lahan pertanian untuk mengembalikan perekonomian warga setempat yang terdampak bencana. Kementerian Pertanian (Kementan) misalnya. Melalui BPTP Sulteng, sudah menggerakan kegiatan berupa karakterisasi lahan yang rusak pascabencana dengan melakukan survei dan pemetaan lahan.

"Kami membagi menjadi dua jenis lahan, yaitu yang bisa digunakan jika irigasi kembali berjalan, ataukah bisa dialihkan ke tanaman lain karena tidak bisa digunakan kembali," sebut Ferry.

Baca juga: Dampak Memberi Makan Satwa Liar

Di samping itu, kata Ferry, pihak BPTP juga bersinergi dengan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Sulteng untuk penyediaan jaringan irigasi pada 2020 untuk mengairi areal sawah sekitar 500 hektare. Pengerjaan tersebut saat ini terus dilakukan hingga 2023 dengan harapan 6.611 hektare lahan pertanian di Sigi tersebut kembali mendapatkan pasokan air.

Dalam membantu pemulihan lahan pertanian tersebut, Ferry mengaku pihaknya tidak menunggu hingga pengerjaan jaringan Irigasi Gumbasa selesai. Apalagi pada awal 2019 BPTP Sulteng sudah mulai melakukan pemetaan dan evaluasi lahan yang terdampak likuifaksi dan melakukan perbaikan di beberapa lahan yang dapat dilakukan penanaman kembali khususnya di lahan kering. Mulai dari Palawija dan Padi Gogo yang saat ini sudah masuk musim tanam ke dua di Desa Karawana Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi.

"Nah itu sangat bagus yah, kita pertama mengombinasikan jagung dengan padi gogo, dan kemudian untuk musim tanam ke dua ini yaitu jagung dengan kacang tanah. Itu kan komunitas yang emang mudah dipasarkan," jelas Ferry.

Baca juga: Asa Nelayan Ikan Teri

Bukan itu saja, karena Kabupaten Sigi merupakan salah satu penghasil bawang merah yang cukup baik, belum lama ini masyarakat Sigi berhasil melakukan panen bawang merah unggul dengan pengembangan sistem biji di Desa Kotarindau, Kecamatan Dolo. Ferry berharap, lahan seluas lima hektare yang dikerjakan saat ini, ditargetkan meluas sampai 10 hektare.

Menurut Ferry, panen kali ini merupakan hasil yang sangat baik karena jika diukur dari berat basah. Untuk bawang merah saat panen perdana pasca bencana mencapai 20 ton per hektare. Padahal, sebelumnya hasil panen rata-rata sekitar 15-16 ton. Pendampingan yang dilakukan BPTP Sulteng ini dianggap meningkat karena tepat gunanya bercocok tanam dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik, sehingga produksinya maksimal. Terkait jaringan irigasi yang belum berfungsi, pihak BPTP Sulteng menggunakan sumur dalam sekitar 80 meter yang dibantu oleh dinas PU.

"Kalau untuk kami, kami menyediakan sekitar empat sampai lima titik untuk satu hektare sumur dangkal. Sebenarnya ini yang lebih aman karena tidak terlalu jauh ke bawah," akunya.

"Kami tetap melakukan progres termasuk juga pengembangan cabai dan tomat di Kecamatan Dolo dan ini secara berangsur kami melakukan pendampingan," tambahya.

Secara terpisah, Gafur, petani di Desa Karawana, Kecamatan Dolo, mengatakan, saat ini ia tengah fokus menanam jagung dan tanaman palawija lainnya. Ia mengaku, untuk mengerjakan lahan seluas empat hektare itu hampir satu tahun setelah sempat menganggur akibat keringnya lahan persawahan.

"Kebutuhan utama kami air, memang kami sangat bergantung dari sungai gumbasa, berbeda dengan sumur seperti saat ini, karena untuk mendapatkan air pakai mesin, mesin butuh bahan bakar juga," terangnya.

Ia berharap jaringan irigasi segera terselesaikan agar masyarakat dapat kembali bertani.

"Semoga secepatnya lah," tutupnya singkat.

Related News