BMKG Dorong Kolaborasi Negara ASEAN Antisipasi Krisis Pangan
Perubahan iklim disinyalir sebagai salah satu penyebab ancaman krisis pangan. Permasalahan tersebut dapat terjadi secara global sehingga membutuhkan penanganan yang serius oleh pemerintah melalui kerjasama dengan berbagai pihak.
Untuk itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong kolaborasi negara-negara di ASEAN mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim.
Menurutnya, sudah selayaknya kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di seluruh negara ASEAN diiringi komitmen kebijakan terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
"Perubahan iklim yang terjadi saat ini membawa dampak serius bagi perekonomian seluruh negara, tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ketahanan pangan. Apabila situasi ini terus dibiarkan, maka Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi tahun 2050 mendatang dunia akan menghadapi krisis pangan," ungkap Dwikorita dalam Federation of ASEAN Economists Association (FAEA 46) Conference, di Yogyakarta, (17/11).
Sebagai informasi, FAEA Conference ke-46, merupakan konferensi tahunan yang diselenggarakan oleh Federasi Asosiasi Ekonom ASEAN (FAEA) sebuah organisasi profesional beranggotakan asosiasi ekonom dari 7 negara, di antaranya 5 negara ASEAN ditambah Vietnam dan Kamboja. Acara tersebut dihadiri oleh 200 peserta ekonom baik yang berlatarbelakang akademisi, bisnis, maupun pemerintahan, praktisi, pembuat kebijakan, dan mahasiswa dari negara-negara anggota ASEAN dan mitra lainnya.
Dalam konferensi yang digelar di The Alana Hotel & Convention Center Yogyakarta tersebut, para ekonom se-ASEAN membahas berbagai isu ekonomi yang relevan dengan kawasan ASEAN sekaligus meningkatkan kerjasama dan pertukaran ilmiah antara para ekonom, akademisi, pemerintah, serta kalangan bisnis ASEAN. Adapun tema yang diangkat yaitu 'Empowering Collaboration to Shape ASEAN Economic Sustainability'.
Dwikorita menerangkan, berdasarkan catatan World Meteorological Organization (WMO), tahun 2023 menjadi tahun penuh rekor temperatur. Kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dimana heatwave (gelombang panas) terjadi banyak tempat secara bersamaan.
Sementara itu, kata dia, Juni hingga Agustus merupakan tiga bulan terpanas sepanjang sejarah dan bulan Juli 2023 menjadi bulan paling panas. Realitas perubahan iklim tersebut, menjadikan tahun 2023 berpeluang menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim, mengalahkan tahun 2016 dan tahun 2022.
"Perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah semakin langka dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot," imbuhnya.
Lebih lanjut, Dwikorita menyampaikan bahwa ancaman krisis pangan pada akhirnya juga akan merembet dan berdampak pada krisis lainnya termasuk ekonomi dan politik sehingga menganggu stabilitas dan keamanan negara.
Oleh karena itu, kata dia, sebelum terlambat maka berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan. Diantaranya, tambah Dwikorita, dengan perubahan gaya hidup dan mengedepankan pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan.