• 20 April 2024

Ketika Kelelawar Berdamai dengan Manusia

uploads/news/2020/02/ketika-kelelawar-berdamai-dengan-955832890b42c88.jpg

“Kami di sini sudah seperti satu keluarga. Mereka memang binatang, tapi sepertinya mengerti menjaga harmoni dengan kami. Mereka mencari makanan di hutan.”

JAKARTA - Lebih dari 40 tahun, warga Dusun Parang Tinggia, Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, hidup rukun berdampingan dengan puluhan ribu ekor kelelawar yang bergelantungan di setiap pohon. Ajaibnya, tak satu pun kelewar yang merusak, apalagi memakan tanaman seperti pisang dan mangga yang ditanam warga. Begitu juga sebaliknya, warga juga sangat menjaga kelestarian kelelawar.

Tak ada satu pun warga yang berani mengusik, apalagi menangkap kelelawar. Bahkan, jika ada kelelawar yang sakit dan jatuh dari pohon, oleh warga dirawat seperti binatang peliharaan sendiri. Saat petang datang, puluhan ribu ekor kelelawar tersebut keluar dari kampung itu untuk mencari makanan. Biasanya, mereka akan ke arah hutan di Pegunungan Karst yang tidak jauh dari dusun. Saat subuh menjelang, kelelawar ini pun kembali ke kampung tersebut.

“Kami di sini sudah seperti satu keluarga. Mereka memang binatang, tapi sepertinya mengerti menjaga harmoni dengan kami. Mereka mencari makanan di hutan,” kata Nuraeni, warga Dusun Parang Tinggia, seperti mengutip Detik.com.

Baca juga: Melawan Virus Corona!

Kamaruddin Daeng Pawata, tokoh adat setempat menyatakan, dahulu kala ia memelihara tiga ekor kelelawar yang ia beli dari seseorang di daerah Takalar. Namun, ketiga kelelawar ini berkembang biak dengan cepat dan hingga kini jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu ekor. Bahkan, Kamaruddin sudah tidak mampu mengenali tiga kelelawar yang ia pelihara tersebut.

“Awalnya saya beli tiga ekor dari seseorang di Takalar. Saya pelihara di rumah saya dulu. Lama-lama karena terus banyak, mereka pindah ke pohon. Akhirnya, sekarang sudah ada puluhan ribu ekor,” terangnya.

Dari bentuk fisiknya, kelelawar yang ada di Dusun Parang Tinggia ini terbilang langka dan jauh berbeda dengan jenis kelelawar yang juga hidup berdampingan dengan warga di Kota Soppeng, Sulawesi Selatan. Kelelawar tersebut memiliki bulu putih di dadanya. Beberapa peneliti, baik lokal maupun mancanegara, juga sudah pernah datang ke dusun tersebut. Menurut Kamaruddin, mereka penasaran terhadap jenis kelelawar yang ada di dusun itu karena jenisnya yang hanya bisa ditemukan di Amerika Latin.

“Sangat beda dengan yang ada di Soppeng. Kelelawar ini punya ciri bulu putih di dadanya. Banyak peneliti yang sudah datang karena penasaran dari mana asal kelelawar ini,” tuturnya.

Bagi Kamaruddin dan warga setempat, keberadaan kelelawar juga menjadi berkah tersendiri. Karena, hama padi, seperti wereng dan burung yang merusak tanaman, takut mendekat karena adanya kelelawar ini.

Tidak Khawatir Virus Corona

Terkait merebaknya virus corona, Kamaruddin mengaku tidak khawatir. Alasannya, selama 40 tahun lebih hidup bersama, tak ada satupun warga yang terinfeksi virus mematikan yang tengah mewabah di Cina tersebut. Meski demikian, ia mengetahui jika di tubuh kelelawar mengandung berbagai virus atau bakteri. Karena itu, warga sekitar pun tak ada lagi yang menyentuh atau berkontak langsung.

“Tidak khawatir, karena kita hidup berdampingan tanpa menyentuhnya atau bahkan memakannya. Kami sudah hidup berdampingan selama puluhan tahun, dan tidak ada warga yang mengidap penyakit mematikan karena kelelawar,” katanya seperti mengutip Sindonews.com.

Baca juga: Bunga Kamperfuli Obati Virus Corona?

Secara terpisah, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pusat Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian Kabupaten Maros, drh. Ujistiany Abidin menjelaskan, hewan kelelawar mengandung enam virus. Salah satunya yaitu virus corona. Hal itu berdasarkan penelitian tim ahli yang pernah datang ke Kabupaten Maros dan Soppeng. Kelelawar sendiri merupakan hewan reservoir atau hewan yang dapat memindahkan virus ke manusia.

“Di Parangtinggia memang di sana mereka hidup berdampingan, tapi alhamdulillah semua baik-baik saja. Warga tidak ada yang terjangkit, karena mereka tidak terkontaminasi secara fisik, dan mereka pun tidak memakan makanan bekas kelelawar,” ujarnya.

Selain itu, menurut peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Research Center for Zoonosis Control (RCZC) Universitas Hokkaido, Jepang, menemukan selain virus corona, ada juga bufavirus, polyomavirus, alphaherpesvirus, paramyxovirus, dan gammaherpesvirus.

“Keenam virus itu berpotensi menimbulkan zoonosis. Jadi memang studi kami melakukan surveillance patogen atau agen penyebab yang bisa menularkan penyakit ke manusia. Dari enam itu semuanya berpotensi. Hanya belum tahu jika di manusia, (maka) ekspresi atau bentuk penyakit seperti apa,” kata ahli patologi dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof. Drh. Agus Setiyono, yang terlibat dalam penelitian seperti mengutip ANTARA.

Baca juga: Minyak Kelapa Diklaim Cegah Coronavirus

Peneliti menemukan virus tersebut dalam sampel kelelawar yang diambil dari Bukittinggi, Sumatera Barat; Bogor dan Panjalu, Jawa Barat; Gorontalo, Provinsi Gorontalo; Manado, Sulawesi Utara; dan Soppeng, Sulawesi Selatan. Penelitian itu dilakukan selama lima tahun dari 2010 hingga 2015 dan dipublikasikan pada 2012-2018. Penelitian tersebut juga membandingkan penyebaran virus corona dengan virus nipah yang menyebar di Malaysia pada 1998 dan virus hendra di Australia pada 1994.

Kedua virus tersebut juga ditemukan pada kelelawar buah. Dalam penyebaran virus nipah, dari kelelawar virus berpindah ke babi. Lalu babi yang terpapar virus tersebut tidak sakit, namun bisa menular virus ke manusia. Kejadian penyebaran virus hendra di Australia juga memiliki pola yang hampir sama. Dari kelelawar, virus berpindah ke kuda yang kemudian menularkan virus ke manusia. Virus nipah dan virus hendra menular dari hewan ke hewan lalu dari hewan ke manusia. Agus menjelaskan, virus-virus yang ada pada kelelawar buah tidak berdampak pada kelelawar buah, karena binatang tersebut memiliki sistem kekebalan yang unik.

“Jadi mereka mengandung virus itu atau di dalam tubuhnya ada agen penyebab penyakit tapi kelelawar tidak sakit. Fenomena ini yang unik. Normalnya kalau ada agen penyebat penyakit masuk ke dalam tubuh, sakit hewannya,” pungkasnya.

Related News