KKP Maksimalkan Produksi Pakan Magot
“Beberapa perusahaan telah berhasil mendiversifikasi produk magot yang tak hanya dikemas dalam bentuk pakan kering namun juga pupuk dan granul. Berbagai produk tersebut telah dipasarkan baik secara konvensional maupun melalui media online.”
JAKARTA - Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah mengembangkan produksi pakan alternatif seperti magot secara masif. Ini dikarenakan tingginya harga pakan yang selama ini menjadi tantangan bagi pengembangan budidaya perikanan.
“Beberapa perusahaan telah berhasil mendiversifikasi produk magot yang tak hanya dikemas dalam bentuk pakan kering namun juga pupuk dan granul. Berbagai produk tersebut telah dipasarkan baik secara konvensional maupun melalui media online,” kata Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/2) kemarin.
Saat ini, kata Sjarief, terdapat 21 perusahaan di tanah air yang telah mengembangkan produksi magot. Seperti Biomagg di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat; Great Giant Pineapple di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung; PT Maggot Indonesia Lestari di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat; ACEL di Tangerang, Provinsi Banten; Morodadi Farm, di Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur; dan Kampung Lala di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.
“Ini menunjukkan bahwa produksi magot dapat dijalankan dalam jumlah besar komersial. Terlebih, saat ini pemerintah tengah menggenjot budidaya perikanan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo,” ucapnya.
Salah satu langkah untuk mewujudkannya, KKP berencana untuk mengembangkan tujuh lokasi pusat budidaya magot yang tersebar di seluruh Indonesia seperti di Kota Sukabumi, Kabupaten Karawang, Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat; Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur; Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah; Desa Tatelu Satu, Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara; dan Kota/Provinsi Jambi.
Mengenai komponen pakan dalam budidaya perikanan, Sjarief menjelaskan, hal tersebut sangat krusial mengingat bahan baku pakan harus memiliki kandungan gizi yang baik, mudah didapatkan, mudah diproses, mengandung zat gizi tinggi, dan memiliki harga yang terjangkau.
“Salah satu nutrisi pakan yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan ikan adalah protein. Kualitas protein sangat tergantung dari kemudahannya dicerna dan nilai biologis yang ditentukan oleh asam amino yang menyusunnya. Semakin lengkap kandungan asam aminonya maka kualitas protein akan semakin baik,” jelasnya.
Permasalahannya, menurutnya, ketersediaan bahan baku berprotein tinggi masih terbatas sehingga menjadikan harga pakan ikan cenderung tinggi. Saat ini, bahan baku penyusun pakan berprotein tinggi yang banyak digunakan ialah tepung ikan yang mayoritas berasal dari impor.
“Alhasil, tingginya harga pakan semakin melambung karena harus ditambah dengan biaya impor,” tuturnya.
Untuk itu, BRSDM KKP mengembangkan magot sebagai pakan alternatif yang bergizi tinggi dan cukup terjangkau. Magot sendiri merupakan larva berprotein tinggi yang dikembangkan dari serangga black soldier fly (BSF).
“Magot mengandung hingga 41-42% protein kasar, 31-35% ekstrak eter, 14-15% abu, 4,18-5,1% kalsium, dan 0,60-0,63% fosfor dalam bentuk kering. Sementara itu, kandungan protein dalam pakan ikan umumnya berkisar antara 20-45%. Dengan kata lain, magot mengandung protein dan gizi tinggi yang unggul untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan sistem imun ikan,” jelasnya.
Selain bergizi tinggi, harga magot juga cukup terjangkau. Hal ini disebabkan karena magot memiliki ketersediaan bahan baku yang mudah didapat sehingga dapat menekan biaya produksi. Magot sendiri diproduksi melalui pemanfaatan limbah organik. Induk magot, BSF, tumbuh dengan memakan bahan organik yang bisa didapatkan dari sisa makanan organik yang terdapat di restoran, rumah tangga, pasar, maupun sumber lainnya.
“150 gram telur BSF (Rp8.000/gram) dapat mengurai dua ton limbah organik dalam waktu 2-3 pekan. Ini lebih cepat dari proses pembuatan pupuk kompos secara konvensional yang membutuhkan waktu setidaknya tiga bulan,” tutur Sjarief.
Proses biokonversi tersebut dapat menghasilkan 220-350 kilogram magot dengan harga jual berkisar Rp5.000-Rp10.000 per kilogram. Selain itu, proses biokonversi juga dapat menghasilkan 100-150 kilogram pupuk organik dengan harga jual Rp1.500-Rp2.000 per kilogram. Hal ini menunjukkan, produksi magot menguntungkan secara ekonomi.
Tak hanya itu, produksi magot yang mengusung prinsip produksi tanpa limbah (zero waste) juga membuatnya unggul secara ekologi bagi lingkungan. Hal ini juga diamini Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang menyatakan, produksi magot merupakan capaian luar biasa yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dan berperan dalam penyelamatan bumi dari masalah sampah.
Meningkatkan SDM
Selain mendorong produksi massal magot, BRSDM juga terus mendorong peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan dan percontohan produksi magot. Seperti pada 18-19 Februari lalu, Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP), BRSDM, menyelenggarakan “Pelatihan Budidaya Magot sebagai Pakan Alternatif” di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH) Depok.
Pelatihan tersebut dihadiri oleh 32 perwakilan dari balai pelatihan dan penyuluhan, dinas, serta akademisi pendidikan kelautan dan perikanan dari berbagai wilayah di Indonesia. Dibekali oleh pengetahuan teoretis maupun praktik secara langsung, para peserta diharapkan untuk menjadi trainer pengembangan budidaya magot di daerahnya masing-masing.
“Setelah selesai kegiatan ini, kembangkan produksi magot untuk menjadi percontohan (pilot project) di daerah dan tempat kerja kita masing-masing. Mari kita bangun sentra-sentra produksi melalui percontohan penyuluhan, teaching factory (TEFA) di lembaga pendidikan, desa inovasi, dan pelatihan,” ucap Sjarief.
Sebagai langkah nyata, ia pun menugaskan para peserta untuk membuat empat model yakni konten magot, volume dan kawasan, pembentukan entitas atau actor, dan analisa biaya sebagai dasar perencanaan awal pengembangan budidaya magot.