• 8 September 2024

Kebijakan Soekarno Demi Masa Depan Pertanian Indonesia

uploads/news/2024/07/kebijakan-soekarno-demi-masa-6610193c918fcc0.jpg

"Pertanian menjadi sektor terpenting dalam menunjang perekonomian negara. Tentunya program yang diterapkan Presiden sebagai pemimpin tertinggi harus dapat bertahan dalam menghadapi krisis pangan global."

Jagadtani - Diantara semua Presiden di Indonesia yang pernah memimpin negeri ini, mungkin hanya Soekarno yang dapat dikatakan mampu merespon dalam menganalisis situasi ekonomi sosial para petani. Sehingga kebijakan untuk pertanian di Indonesia dikonsep dengan baik oleh beliau.

Jika dilihat kebijakan pertanian Indonesia sejak Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu mengalami perbedaan namun tetap menjalankan konsep dari Presiden yang menjabat sebelumnya meskipun tidak semua. 

Jika kebijakan pertanian Indonesia dalam setiap masa pergantian Presiden dan pemerintahannya mengalami perubahan yang berbeda hal ini dikarenakan adanya pola dan gaya kepemimpinan dari masing-masing Presiden. Sistem kebijakan memberikan pengaruh pada perkembangan pertanian di Indonesia dan satu kesatuan yang saling berhubungan terhadap keterlibatan Indonesia dalam organisasi-organisasi nasional dan internasional. Pemerintah pada saat itu memang lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang sudah ada.

Ide dan konsep Presiden Soekarno melalui pemerintah dengan Program peningkatan produksi padi dimulai pada tahun 1945 dan dilanjutkan pada tahun 1947, serta program baru tersebut dapat terlaksana pada tahun 1950 dikarenakan situasinya yang sudah dapat dikatakan stabil melalui pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluhan pertanian dikarenakan adanya keterbatasan dana yang menyebabkan program ini tidak berjalan seperti yang direncanakan, sehingga mengakibatkan kecilnya kenaikan produksi padi di Indonesia. Pemerintah terpaksa melakukan impor beras pada tahun 1950 sebesar 334.000 ton dan tahun 1959 menjadi 800.000 ton. 

Melalui keaktifikan dari para petani muda, petani kecil dan buruh tani maka dilakukan perubahan secara bertahap yaitu mulai dari bawah dan inisiatif ini digerakkan pada tahun 1960. Kemudian Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5 dikeluarkan yang mengatur Program Agraria, yaitu tentang ladreform. Kemudian dikeluarkan juga Undang-Undang Perjanjian bagi Hasil (UUPBH) no. 2 yang mengatur tentang bagi hasil dan Undang-Undang no. 56 tahun1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.

Kemudian Presiden Soekarno memrakarsai dan membentuk Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) pada tahun 1959 sekaligus sebagai ketua. Hal ini dilakukan untuk merencanakan swasembada pangan selama tiga tahun produksi yang di mulai pada tahun 1959 dan berakhir pada tahun 1961. Tujuan dibentuknya KOTOE adalah untuk memperbaiki sarana pertanian di Indonesia, agar yang menjadi konsep awal presiden Soekarno dapat berjalan dengan rencana demi menyejahterakan para petani di Indonesia.

Presiden Soekarno kemudian juga membentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Sistem ini sangat penting untuk dibentuk dengan konsep yang matang agar dapat memudahkan kinerja para petani di Indonesia, selain itu petani mampu berjalan dan bergerak dengan cepat untuk pengembangan. Sehingga dibentuk juga mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat yaitu pada tingkat desa, dibentuk Pamong Tani Desa (PTD) yang bertugas membantu Kepala Desa untuk mencapai swasembada beras.

Kemudian dibentuk juga Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) pada tahun 1959 yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan usaha ini memiliki dua anak perusahaan, yaitu Padi Sentra dan Mekatani. Padi Sentra memiliki tugas sebagai penyelenggara untuk menyalurkan dan menyediakan sarana produksi, seperti obat, pupuk, dan bibit yang berkualitas. Mekatani secara mekanisme membuka lahan baru di luar pulau Jawa. Kegiatan lainnya yaitu penyuluhan yang di dukung oleh Dinas Pertanian Rakyat dengan melibatkan berbagai perguruan tinggi; dan juga adanya kelompok-kelompok petani penggarap sawah sehamparan yang tergabung dalam Organisasi Pelaksana Swa-Sembada Beras (OPSSB).

Namun program Padi Sentra pada saat itu dianggap gagal dikarenakan hanya menguntungkan bagi pemilik tanah saja. Sehingga seperti yang tertuang dalam UUPA 1960, pada prinsipnya berisi lima hal, yaitu: 1. Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, 2. Negara memberi batasan pada kepemilikan tanah untuk menghindari munculnya tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistem sewa dan gadai. 3. Negara mempunyai kewewenangan untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga Negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip nasionalitas. 4. Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif dan melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang cenderung memeras. 5. Negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk member kepastian hukum kepada petani pemilik tanah. UUPA bertujuan melakukan pembaharuan pada sektor agraria yang dapat memberikan kemakmuran kepada rakyat Indonesia.

Tujuan diadakannya pembaharuan agraria agar membagi secara adil sumber penghidupan bagi para petani di Indonesia. Dalam hal ini untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil disertai dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada sektor tani dengan di berlakukannya UUPBH (UU Perjanjian Hasil Bagi) untuk mengatur pola hubungan antara petani pemilik dan buruh tani atau penggarapnya, adanya batasan luas pemilikan tanah oleh sebuah keluarga, mendistribusikan tanah negara kepada petani yang memerlukan guna meningkatan produktifitas petani melalui ”Paket UU Landreform” seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam penerapannya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.

Tahun 1963/1964 Swa Sembada Bahan Makan (SSBM) dicetuskan untuk memperbaiki aspek perencanaan dan pembagian kerja, selanjutnya dilaksanakan penyelengaraan pusat-pusat intensifikasi yang berfungsi sebagai pusat bimbingan untuk Koperasi Produksi Pertanian (KOPERTA) yang dikenal dengan nama DEMAS (Demonstrasi Massal) karena Program ini berhasil dengan sangat baik, sehingga arealnya diperluas hingga 15 kali lipat pada bulan juli 1965. Pada tanggal 10 agustus 1965 nama DEMAS diganti dengan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan luas areal 150.000 hektar baik di Jawa dan diluar Jawa. 

 

Sumber:

Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian, IGJ, 2003, hlm. 40

Frans Husken,”Peasant and Policy In Colonial And Post-Colonial Java: The Underlying Continuity”, Working Paper No.10, Universiteit Van Amsterdam, Asc, Hlm.3-5

Isnandi Alia Rachman, “Hegemoni Neo-Liberalisme terhadap Kedaulatan Pangan Indonesia” (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2009), 77.

Related News