Teror Hama FAW di Sulteng
“Awalnya masuk ke Sumatera, Jawa, dan akhirnya sampai ke Sulawesi yang awalnya terdeteksi di Gorontalo. Untuk Sulawesi Tengah, hama ini terdeteksi pada Februari 2020 ini.”
SIGI - Pada Maret 2019 lalu, dunia pertanian di Indonesia, khususnya komoditas jagung digegerkan dengan kemunculan jenis hama baru bernama fall army worm (FAW) atau yang dikenal dengan nama ilmiah Spodoptera frugiperda. Spesies yang mirip dengan ulat grayak ini, pertama kali terdeteksi dari hasil pengamatan lapangan yang dilakukan di Pasaman Barat, Sumatera Barat oleh Tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Serangan hama FAW ini, merupakan musibah besar bagi para petani dan produsen jagung di pelbagai daerah. Pasalnya, hama tersebut bisa menyebabkan tanaman jagung gagal panen. Belum lama ini, hama tersebut terdeteksi di Sulawesi Tengah dan menyerang tanaman jagung di beberapa area pertanian warga. Salah satunya di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IP2TP) milik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah di Desa Sidondo, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Baca juga: Cara Petani Sulteng Hadapi Kekeringan
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual oleh para peneliti hama BPTP Sulteng, perkembangan hama FAW di IP2TP Sidondo tingkat serangannya sudah mencapai 50%. Sehingga, perlu segera dilakukan pengendalian lanjutan menggunakan insektisida berbahan aktif Korantraniliprol dan Tiametoksam. Peneliti Hama dan Pengkaji Budidaya BPTP Sulteng, Abdi Negara mengatakan, hama tersebut berasal dari benua Amerika. Penyebarannya lalu masuk ke Afrika dan Asia, hingga akhirnya masuk ke Indonesia.
"Awalnya masuk ke Sumatera, Jawa, dan akhirnya sampai ke Sulawesi yang awalnya terdeteksi di Gorontalo. Untuk Sulawesi Tengah, hama ini terdeteksi pada Februari 2020 ini," ujar Abdi kepada Jagadtani.id belum lama ini.
Dari hasil pemantauan oleh Balai Penenilitian Tanaman Serealia (BPTS) Kabupaten Maros dan Peneliti Universitas Tadulako Palu, ada beberapa daerah di Kabupaten Sigi yang terserang. Salah satunya di Desa Karawana, Kecamatan Dolo. Bahkan, baru-baru ini serangan terjadi di Kecamatan Taweli, Kota Palu.
"Ini adalah jenis hama baru di dunia pertanian yang bisa berimigrasi, dan masih dilakukan penelitian," ujar Abdi.
Untuk penanganannya, lanjutnya, harus ada pengamatan gejala lebih awal. Sebab jika tidak, akan menyebabkan gagal panen. Serangan FAW ini harus diwaspadai oleh para petani sebab penyebaran dan perkembangbiakannya begitu cepat. Ia juga menjelaskan, untuk satu kelompok telur saja bisa melahirkan ratusan ekor. Bahkan, proses bertelurnya pun cepat, hanya memakan waktu dua hari.
"Jadi cepat pengembangannya mulai dari kupu-kupu ngengat, dan bertelur kemudian menetas," sebutnya.
S. Frugiperda, jelasnya, merusak tanaman jagung dengan cara larva menggerek daun. Larva ini mempunyai sifat kanibal, sehingga larva yang ditemukan pada satu tanaman jagung antara satu atau dua ekor. Perilaku kanibal dimiliki oleh larva instar 2 dan 3, Sedangkan larva instar akhir dapat menyebabkan kerusakan berat hingga menyisakan tulang daun dan batang jagung.
"Kepadatan rata-rata populasi 0,2-0,8 larva per tanaman dapat mengurangi hasil 5-20%," jelasnya.
Dengan kondisi ini, Abdi berharap perlu adanya kerja sama, khususnya BPTP, dinas terkait, dan petani untuk melakukan pencegahan. Meski pun ia memberikan kabar baik, hama jenis ini hanya menyerang tanaman jagung. Untuk penanganannya, ia berharap petani melakukan pengamatan langsung mengecek satu per satu tanaman, jika menemukan telur segera dihancurkan.
"Banyak petani hanya mengharapkan pestisida saja, saya rasa itu tidak cukup," tegasnya.
Selain pengamatan, untuk penanganannya perlu penyemprotan pestisida minimal usia tanaman jagung satu bulan. Namun jika serangan dimulai sejak pertama penanaman akan sangat menyulitkan. Selain pestisida, juga penyemprotan racun kontak atau racun perut dan pengendaliannya juga harus tepat sasaran. Jika petani membeli pestisida, petani harus memilih racun sesuai dengan hama yang ada di lapangan, begitu juga soal waktu dan dosis. Jika dalam aturan pakai tertulis menggunakan 2 liter air, petani harus mengikuti aturan pakai. Sebab jika tidak, penyemprotan akan sia-sia.
"Banyak petani tak sesuai dosis hanya karena ingin mengirit, ini merupakan cara yang keliru," ujarnya.
Untuk waktu yang tepat, Abdi menegaskan, petani harus mengetahui bahwa sebaiknya dilakukan sore hari, karena hama FAW ini keluar dari tanah pada pukul 17.00.
"Di waktu itulah yang sangat tepat karena hama ini keluar dari tanah menjelang malam," ungkapnya.
Secara terpisah, Kepala BPTP Sulawesi Tengah, Dr. Ir. Fery Fahrudin Munier, M.Sc mengaku, sudah melakukan monitoring dan peninjauan lokasi tanaman yang terserang. Ia menegaskan, untuk segera melakukan pengendalian sesuai dengan rekomendasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian (Kementan).
"Di mana terjadi gejala, tim langsung turun tangan melibatkan para peneliti untuk menuntaskan tumbuh kembang hama FAW itu," terang Fery saat ditemui di ruang kerjanya belum lama ini.
Baca juga: Memulihkan Lahan Pertanian Pascabencana
Saat ini, lanjutnya, dengan beberapa pihak, BPTP Sulteng terus melakukan pemantauan, mengingat Kabupaten Sigi merupakan basis tanaman jagung yang cukup potensial. Apalagi pasca bencana, hampir semua petani sawah beralih ke tanaman jagung.
"Makanya pentingnya koordinasi antara semua pihak, baik dinas, BPTP, dan petani. Kapan ada gejala, kami secepatnya turun ke lapangan untuk melakukan penanggulangan," tandasnya.