Subak Wakili Budaya Bali Berbasis Pertanian Lahan Basah
Jagadtani - Keindahan Pulau Dewata telah berhasil menarik turis dari berbagai belahan bumi. Tak hanya keindahan pantai maupun laut, hamparan persawahan pun memiliki nilai eksotis tinggi.
Keindahan persawahan pulau Bali terkenal dengan sawah terasiring. Persawahan yang berundak - undak ini mengunakan sistem Irigasi yang disebut Subak.
Subak merupakan organisasi masyarakat adat yang mengatur sistem irigasi tradisional dan telah dijalankan sejak abad ke-11.
Untuk mengetahui tentang sistem Irigasi Subak yang telah mendunia, berikut berbagai hal mengenai Subak:
Sejarah Panjang Subak
Sejarah Subak Budidaya padi di sawah irigasi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan subak saat ini. Dari sumber yang ada, tampaknya kegiatan bercocok tanam padi sudah ada di Bali sekitar tahun 882 M. Hal itu ditunjukkan dengan ditemukannya arti kata “Huma” yang berarti “sawah” dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1 (Purwita, 1993: 42).
Adapun pada kata “sawah” bisa berarti sawah atau tadah hujan, tetapi bisa juga berarti sawah beririgasi. Lebih lanjut kata “Huma” menurut kamus bahasa Indonesia-Inggris oleh John M. Echols dan Hassan Shadily (1989) diterjemahkan sebagai ladang untuk budidaya padi kering, yang berarti mengolah padi. Jadi bisa diibaratkan sawah yang tidak diairi tetapi hanya mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan). Artinya irigasi memiliki sejarah yang sangat panjang yang telah diterapkan oleh petani di Bali sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.
Secara faktual diketahui di Bali adanya sistem irigasi yang disebut “Kasubakan” atau “Subak” pada tahun 1071 M dan hal ini didukung oleh prasasti Klungkung pada tahun 1072 M. Dalam prasasti tersebut disebutkan nama “Subak” yaitu “Subak Rawas” dan tertulis: " ...masukatang huma di kedandan di errara di kasuwakan rawas...." yang artinya "mengukur sawah di Kadandan pada Yeh Aa dalam Subak Rawas” (Callenfels, 1926 dalam Purwita, 1993: 41).
Memang belum jelas bagaimana proses terbentuknya dan kapan “Subak” pertama kali ada di Bali. Dan Jika dilihat dari topografi pulau Bali purba yang masih terdapat hutan lebat dan medan perbukitan serta mata air dari sungai-sungai yang jauh di bawah, tentunya sangat sulit bagi petani untuk mendistribusikan air ke sawah-sawah petani di atas.
Mengingat medan yang ekstrim, para pendiri “Subak” di masa lalu seharusnya memiliki kearifan lokal (indigenous knowledge) sehingga mampu menghasilkan sistem irigasi tradisional yang dilengkapi dengan bangunan irigasi yang walaupun terlihat sederhana, namun dapat bekerja seperti sistem irigasi modern.
Dan untuk lahan yang memiliki kemiringan relatif besar, dibuatlah persawahan bertingkat hingga membentuk bentang alam yang mempesona bagi siapa saja yang memandangnya. Kearifan lokal dalam membangun dan mengelola sistem irigasi diwariskan secara turun-temurun sehingga pada akhirnya menjadi lembaga adat “Subak” seperti sekarang ini.
Subak Salah Satu Manifestasi Tri Hita Karana
Subak diatur oleh seorang pemuka adat yang disebut pekaseh dan biasanya juga berprofesi sebagai petani. Subak adalah salah satu manifestasi Tri Hita Karana (THK), yaitu filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Menurut I Gede Vibhuti Kumarananda. S.P. Penyuluh Pertanian Ahli Pertama Alsintan, bahwa Subak adalah sistem pengairan masyarakat Bali yang menyangkut hukum adat yang mempunyai ciri khas, yaitu sosial, pertanian, keagamaan dengan tekad dan semangat gotong royong dalam usaha memperoleh air dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan air dalam menghasilkan tanaman pangan terutama padi dan palawija.
Kemudian dijelaskan juga bahwa sistim irigasi Subak juga merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di persawahan. Keunikan sistem irigasi Subak terlihat dari kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh anggota Subak secara rutin sesuai tahapan pertumbuhan padi mulai dari mengolah tanah hingga hasil panen padi disimpan di lumbung.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyebutkan bahwa sistem irigasi subak merupakan cerminan dari THK sebuah filosofi yang melekat kuat di Bali, yang mengajarkan bahwa manusia dapat hidup bahagia, aman, tentram dan lahir batin.
Bila dipaparkan konsep THK ini secara inti terdiri dari Parahyangan yang ditujukan untuk pemujaan terhadap pura di kawasan Subak, Pawongan menandakan adanya organisasi yang mengatur sistem irigasi Subak, dan Palemahan menunjukkan kepemilikan tanah atau wilayah di setiap Subak.
Nah, melalui ketiga hal inilah yang memiliki hubungan timbal balik, menjadi sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang sekarang begitu populer dan sering dijadikan acuan oleh setiap perencana pembangunan di berbagai sektor.
Subak Ditetapkan UNESCO Sebagai Warisan Budaya
Karena itu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, pada sidangnya di Saint Petersburg, Rusia, 20 Juni 2012, telah menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia.
Dan persawahan Jatiluwih boleh dibilang masih menjalankan subak dengan pola asli, yaitu tanpa adanya bangunan beton pada aliran irigasinya. Kemudian, padi bali merah adalah varietas lokal yang masih dipertahankan untuk ditanam di persawahan Jatiluwih.
Petani setempat juga masih menjaga estetika menanam padi di lahan terasering agar tetap menghasilkan pemandangan indah hijaunya persawahan bersistem subak.
Terakhir, sejak 1993 area persawahan subak di Jatiluwih telah ditetapkan sebagai desa tujuan wisata. Subak di Jatiluwih juga dimasukkan oleh UNESCO sebagai bagian dari lanskap kultur Bali yang ikut dipengaruhi oleh subak sebagai warisan budaya dunia.