• 21 November 2024

Virus CSSVD, Pemicu Lonjakan Harga Kakao di Dunia

uploads/news/2024/11/virus-cssvd-pemicu-lonjakan-9520584b9d4c92b.jpg

Jagadtani - Indonesia menjadi salah satu negara penghasil Kakao sebagai bahan baku utama produksi cokelat di dunia sehingga tanaman ini memberikan imbas positif bagi petani dalam menaikna perekonomian mereka. Namun meningkatnya permintaan produk cokelat premium telah membawa tantangan bagi sektor kakao, termasuk ancaman penyakit tanaman yang berpotensi mengganggu pasokan. Salah satu ancaman terbesar adalah Cocoa Swollen Shoot Virus Disease (CSSVD), yang dapat menurunkan hasil panen secara signifikan sehingga berujung dengan terjadinya lonjakan harga kakao di pasar global (Cocoa Research Association, 2022).

Untuk lebih mengetahui virus yang mengancam produksi Kakao, berikut informasi dari Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebuan tentang Cocoa Swollen Shoot Virus Disease (CSSVD). Virus Cocoa Swollen Shoot Virus (CSSV), menyerang tanaman kakao di daerah tropis, terutama di Pantai Gading dan Ghana, negara penghasil kakao terbesar di dunia (International Cocoa Organization, 2024; World Cocoa Foundation, 2024).

CSSVD ditularkan oleh 14 spesies kutu putih di antaranya Planococcus citri dan Planococcoides njalensis, melalui nimfa dan betina dewasa. Virus ini tidak berkembang biak dalam vektor, tidak diwariskan ke keturunan, serta tidak menyebar melalui biji atau serbuk sari. CSSV dapat menyerang kakao di semua tahap pertumbuhannya. Gejala awal muncul berupa garis merah pada daun dalam 20–30 hari setelah infeksi, diikuti dengan pembengkakan pada tunas dan akar dalam 8–16 minggu. CSSV diyakini berasal dari inang liar lokal di Afrika Barat, seperti Adansonia digitata dan Ceiba pentandra (Muller, 2016).

Gejala dan Dampak CSSVD

Gejala CSSVD meliputi perubahan pada daun, batang, akar, dan buah. Daun muda menunjukkan kemerahan pada urat daun, yang memudar saat daun tua. Pada daun matang, muncul penguningan, flek, dan bintik-bintik. Batang membengkak di berbagai bagian karena proliferasi jaringan, dan pohon yang terinfeksi mengalami pengguguran daun hingga kematian cabang pada varietas yang rentan. Buah yang terinfeksi menjadi lebih kecil, bulat, dan kadang memiliki permukaan yang lebih halus dengan bercak hijau (CABI, 2024). CSSV mengganggu siklus pembelahan sel, terutama pada jaringan meristem, yang merupakan area pertumbuhan aktif tanaman, menyebabkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas kakao menurun drastis (De Souza et al., 2020; Castro et al., 2021).

Penurunan Produksi Kakao

Penurunan produksi kakao global telah terlihat, terutama di Pantai Gading (Côte d’Ivoire) dan Ghana, yang mengalami penurunan produksi dari 2.248 ribu ton dan 2.121 ribu ton pada tahun 2020/2021, menjadi masing-masing 1.800 ribu ton dan 1.068 ribu ton pada 2023/2024. Indonesia, yang memproduksi 683 ribu ton pada 2021/2022, juga menghadapi penurunan serupa (Statista, 2024). Penyakit tanaman, seperti CSSVD dan faktor lain seperti perubahan iklim, diduga berkontribusi pada penurunan ini. Jika tidak ditangani dengan baik, Indonesia bisa mengalami dampak serupa, yang berpotensi mengganggu pasokan kakao global (Cocoa Post, 2024).

Lonjakan Harga Kakao

Seiring dengan penurunan produksi, harga kakao global mengalami lonjakan signifikan, dari sekitar $2.500 per ton pada akhir 2022 menjadi hampir $9.000 per ton pada pertengahan 2024 (FRED, 2024). Penyakit tanaman seperti busuk buah kakao (Black Pod) dan CSSVD merupakan penyebab utama penurunan hasil panen, menyebabkan lonjakan harga akibat pasokan yang menyusut sementara permintaan tetap tinggi (Reuters, 2024).

Penyebaran CSSVD di Indonesia

CSSVD telah dikategorikan sebagai Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) A2 di Indonesia, artinya meskipun belum menyebar secara luas, virus ini sudah ditemukan di wilayah tertentu (Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur), dan memiliki potensi menyebabkan kerusakan besar jika tidak dikendalikan (Permentan No 25 Tahun 2020). Penyebaran utama saat ini terjadi di Afrika Barat, namun Indonesia berisiko terpapar karena perdagangan bahan tanam kakao yang tinggi dan keberadaan vektor kutu putih (Posnette et al., 1950). Jika CSSVD menyebar lebih luas di Indonesia, dampaknya akan besar, terutama karena iklim tropis Indonesia mendukung perkembangan kutu putih. Ini akan mengancam produktivitas kakao nasional dan mengurangi hasil panen secara signifikan (Aka et al., 2020).

Langkah Pencegahan CSSVD

Untuk mencegah dan mengendalikan CSSVD, perlu dilakukan sanitasi kebun dengan menebang pohon yang terinfeksi beserta pohon di sekitarnya, penggunaan varietas kakao yang tahan penyakit, serta eradikasi tanaman inang alternatif seperti Cola dan Ceiba. Bahan tanam harus bebas infeksi, dan pergerakan bahan tanam perlu dibatasi. Di Ghana, wabah kecil ditangani dengan menebang pohon dalam radius 5 meter, sementara wabah besar membutuhkan radius 15 meter. Selain itu, penanaman pohon penaung dan tanaman penghalang seperti kelapa sawit atau kopi dapat mengurangi penyebaran vektor virus (CABI, 2024).

 

Related News