Mengenal Penyakit Diare Sapi Dan Mengobatinya
Jagadtani - Menjaga kesehatan hewan ternak, khususnya sapi sejak dini merupakan kunci perkembangan sapi. Penyakit yang diwaspadai oleh peternak adalah penyakit diare yang disebabkan Infeksi rotavirus. Biasanya penyakit tersebut menyerang sapi pedet atau anak sapi sehingga menurunkan produktivitas hingga kematian yang mendadak.
Dilansir dari laman milik BRIN, Peneliti Pusat Riset Veteriner - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dyah Ayu Hewajuli, dalam webinar Series Research Center for Veterinary Science: Penyakit Penting yang Sering dilupakan, menjelaskan “Infeksi rotavirus ditemukan pada hewan maupun manusia. Kemungkinan besar ada potensi bahwa virus ini bersifat zoonosis,” pada, Jumat (22/11).
Sirkulasi rotavirus pada beberapa spesies hewan peliharaan dapat menjadi faktor penularan virus dari hewan ke manusia. Kontak dekat hewan dan manusia dalam suatu lingkungan memicu penularan virus antarspesies dan infeksi kembali dengan multiserotipe.
“Penularan rotavirus dari hewan ke manusia kemungkinan terjadi melalui air dan makanan mentah seperti sayur, buah, dan produk olahan ternak yang terkontaminasi,” terangnya.
Secara spesifik, Dyah menyebut spesies yang menyebabkan diare pada sapi adalah rotavirus A atau bovine rotavirus (BRV).
Adapun prevalensi infeksi rotavirus dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya daerah, musim, ras, umur, geografi, nutrisi, dan manajemen peternakan.
Contohnya, apabila rotavirus menyerang sapi pedet pada umur tiga hingga delapan minggu, akan terdeteksi tinggi pada musim hujan di daerah atau negara dengan iklim tropis. “Biasanya akan terdeteksi juga pada musim dingin di negara atau daerah yang memiliki empat musim,” jelas Dyah.
Infeksi rotavirus A sangat berisiko tinggi pada sapi pedet umur kurang dari 5 minggu karena sistem kekebalan imun masih kurang berkembang dan maternal antibodi rendah. Infeksi rotavirus mampu menyebabkan gejala klinis diare maupun tanpa diare/carrier.
“Biasanya kalau sapi yang menunjukkan gejala klinis tanpa diare akan menjadi carrier. Tentunya, prevalensi rotavirus ini berbeda di masing-masing negara di dunia, tergantung dari faktor prevalensinya itu sendiri,” terang Dyah.
Dirinya juga menjelaskan, data sirkulasi genotipe G dan P rotavirus sangat penting untuk diketahui karena dapat digunakan sebagai dasar informasi untuk pengembangan vaksin rotavirus yang efektif.
Vaksin dapat digunakan untuk pencegahan infeksi, menurunkan tingkat kematian, dan kerugian ekonomi.
Mengenal Rotavirus
Rotavirus termasuk famili Reoviridae, genus rotavirus. Virus ini mempunyai diameter 70 hingga 100 nanometer, tidak beramplop, mempunyai protein 3 lapis kapsid.
Genomnya terdiri dari 11 segmen double stranded RNA (dsRNA), di mana 11 segmen ditranslasikan menjadi 6 protein struktural (VP7-VP4-VP6-VP1-VP2-VP3) dan 6 protein non-struktural (NSP1-NSP2-NSP3-NSP4-NSP5/6).
Genom rotavirus dilapisi oleh tiga lapis partikel, yaitu lapisan dalam yang banyak dibangun oleh protein VP2, lapisan tengah dibangun oleh protein VP6, dan lapisan luar dibangun oleh protein VP7.
Adapun mekanisme infeksi dari rotavirus memiliki siklus replikasi beberapa tahap. Yaitu, tahap penempelan (diperankan olehVP4 dan VP7), tahap penetrasi dan uncoating, dan tahap sintesis mRNA (oleh protein VP1, VP2 dan VP3).
Tahap selanjutnya pembentukan viroplasma (perakitan RNA, replikasi RNA, formasi DLP). Tahap yang terakhir adalah pematangan partikel virus (TLP) dan pelepasan.
Penempelan virus pada sel epitel merupakan proses interaksi protein virus dengan sel reseptor inang atau yang disebut dengan glikan. Ekspresi glikan pada sapi berbeda dari manusia.
“Kalau di sapi biasanya ekspresinya tipe II, tetapi kalau di manusia diekspresikan dengan tipe I dan II. Keberadaan kedua ekspresi glikan pada manusia berpeluang menyebabkan penularan strain rotavirus dari sapi ke manusia,” urai Dyah.
Dyah juga menginformasikan bahwa gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi rotavirus A adalah klinis diare. Hal ini karena memang infeksi rotaviarus mampu menyebabkan gangguan saluran pernafasan dan pencernaan pada sapi pedet.
“Secara spesifik biasanya diare yang ditimbulkan adalah diare berair dan berwarna kecoklatan, tidak berdarah, demam, dan penurunan produksi pada sapi perah muda,” tuturnya.
Gejala diare yang terjadi akibat infeksi rotavirus akan menjadi parah apabila terjadi infeksi campuran dengan bakteri maupun dengan virus yang lain, ataupun dengan protozoa. Sapi umur 3 hingga 8 minggu akan menunjukkan diare dan kekurusan.
“Sapi yang sudah tidak menunjukkan gejala klinis sakit, biasanya masih tetap mengeluarkan virus sampai tiga minggu setelah infeksi,” sebut Dyah.
Dirinya mengulas metode diagnosa laboratorium yang biasa digunakan untuk mendeteksi infeksi rotavirus antara lain uji screening menggunakan Latex Agglutination Test (LAT) untuk mendeteksi antigen rotavirus dalam supernatan feses.
Beberapa metode lainnya adalah mikroskop electron (EM), RNA-Polyacrylamide gel electrophoresis (RNA-PAGE), ELISA, kultur sel, FAT dan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Sementara isolasi BRV menggunakan spesifik sel kultur primary (calf kidney cell) dan juga sel line (MA 104-Simian Origin, Madin Darby Bovine Kidney (MDBK) dan PK-15).
“Upaya kami mencegah dan mengontrol sirkulasi dari infeksi rotavirus di Indonesia ini adalah dengan melakukan penelitian awal, yaitu pengembangan kontrol positif sintetik dan metode one step RT-PCR dengan target gen protein VP6. Dari penelitian ini, kami telah berhasil mendeteksi rotavirus A pada sapi yang bersirkulasi di Indonesia,” terang Dyah.
Hasil penelitiannya sudah dipublikasikan di Jurnal Veteriner Udayana Juni 2023, Vol.24, No. 2 : 1-8 dan Jurnal Sain Veteriner UGM April 2024.Vol. 42, No. 1: 59-66.
Dyah mengungkapkan, dalam analisis genetik, karakterisasi genetik rotavirus yang bersirkulasi di lapang sangat penting dilakukan untuk menentukan keragamannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengklasifikasi serotipe atau genotipe rotavirus berdasarkan analisis Glikoprotein (G) dan Protease (P), VP7, dan VP4.
“Genotipe G dan P umumnya tergantung pada spesies inang karena rotavirus mempunyai barrier spesifik inang. Namun demikian genotipe baru dapat muncul akibat penularan antarspesies dan reassortment alami antara hewan dan manusia,” beber Dyah.
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi rotavirus antara lain dengan penerapan manajemen protokol kesehatan yang ketat. Hal ini dapat menurunkan kasus kematian anak sapi. Contohnya, penggunaan sepatu boot yang terkontrol.
Upaya lainnya adalah penggunaan kandang individu pada peternakan sapi. Hal ini untuk mencegah risiko penyakit diare pada peternakan sapi dan mencegah kontak langsung antara sapi, sehingga menurunkan penyebaran infeksi rotavirus.
Selain upaya-upaya pencegahan dan pengendalian, Dyah mengimbau perlu juga melakukan monitoring strain rotavirus A yang bersirkulasi di manusia dan hewan secara berkelanjutan, untuk memahami bagaimana evolusi virus tersebut.
“Dengan monitoring, kita dapat mengidentifikasi bahaya yang ditimbulkan akibat munculnya strain rotavirus A baru seperti virus menjadi lebih virulen atau berpotensi menjadi zoonosis,” pungkasnya.