BRIN Percepat Inovasi Kendaraan Listrik Masa Depan
Jagdatani - Salah satu hal penting untuk mencapai 100 tahun menuju Indonesia emas 2045 adalah bagaimana mempersiapkan perekonomian, khususnya pembangunan ekonomi jangka panjang ke-2 (2025 – 2045), yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan bonus demografi. Di mana, tantangan sejak tahun 2000 di sektor industrialisasi, propeti, dan transisisi energi sangat kompleks.
“Ini menjadi program kerja bersama dengan para akademisi untuk mampu memberikan kontribusi memecahkan atau membandingkan pilihan alternatif pada upaya untuk mencapai pembangunan menuju Indonesia Emas,” ungkap Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Eko Nugroho dalam kegiatan Webinar Ngabers Circo (Ngaji Berhaviorals and Circular Economy) dengan tema “Masa Depan Kendaraan Listrik di ASEAN”, Kamis (05/12).
Pada kegiatan yang diselenggarakan Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PR EPS) BRIN bekerja sama dengan ISEAS - Yusof Ishak Institute dan Forum Kajian Pembangunan tersebut Agus berpendapat, dalam pembangunan industri mendatang, hilirisasi komoditas menjadi industri yang dikontribusikan pada akselerasi ekosistem pembangunan ekonomi. Tujuannya, agar mampu mendorong investasi, memberikan transfer teknologi dan tambahan pada sektor lainnya. Sehingga harapannya, pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 78%.
Para pakar dan ahli turut memberikan pendapat dalam diskusi tersebut. Koodinator pada The Singapura APEC Study Center, ISEAS - Yusof Ishak Institute, Siwage Dharma Negara membicarakan soal program kendaraan listrik yang beberapa tahun terakhir gencar dilakukan banyak negara di ASEAN. Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam sudah mengembangkan kendaraan listrik, baik itu diproduksi di dalam negeri maupun luar negeri.
“Program ini didorong untuk mengurangi emisi karbon, mempromosikan investasi, menciptakan lapangan kerja, memberikan insentif fiskal dan non fiskal,” ujar Siwage. Dijelaskannya, ini digunakan untuk mendorong adopsi Electric Vehicle (EV) dengan mengurangi harga EV.
Ia mengimbuhkan, insentif juga diberikan untuk menarik produsen EV. Dengan demikian, setiap negara di ASEAN sekarang berlomba - lomba memproduksi kendaraan listrik. Teknologi kendaraan listrik saat ini dikuasai Tiongkok yang merupakan pemain besar dalam mengembangkan teknologi kendaraan tersebut di ASIA.
Siwage memandang industri EV di Indonesia menjadi pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara, baik itu kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut data stastik perdagangan, industri tersebut memberikan kontribusi sebesar 9% terhadap ouput manufaktur. Indonesia juga mengembangkan kerja sama di bidang manufaktur baterai, di mana pemain utamanya adalah CALT, Wuling, Hyundai, dan Mobil BYD Indonesia.
Hal ini diperkuat dengan regulasi, yaitu Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB/ Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai) untuk transportasi jalan. Siwage kemudian menguraikan rencana untuk mencapai 13 juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada tahun 2030. Juga, menghentikan penggunaan non-listrik kendaraan pada tahun 2050.
“Ini apabila persyaratan konten lokal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% memenuhi syarat untuk insentif dan penerimaan pajak meningkat secara bertahap hingga 80% pada tahun 2017-2030,” ujarnya.
Sementara itu, M.Indra Al Irsyad, Peneliti PR EPS BRIN mengulas tentang manfaat dan biaya kendaraan listrik di ASEAN. Menurutnya, pengembangan EV diperlukan di Indonesia karena alasan emisi nol bersih, industri hilir, dan penghematan bahan bakar dan biaya. Hal ini diawali dengan global tren penjualan EV yang naik pada 2018-2023 sebesar 16 %. “Angka ini mendominasi pasar China dan Eropa,” katanya.
Indra menyarankan, perlunya adopsi EV juga ditunjang kebijakan yang saat ini mendukung kendaraan listrik skema kendaraan Verhicular Emmission Scheme (VES) Singapura. Khusus untuk Indonesia, kebijakan penyewaan baterai dan penggantian karbon.
Di sisi lain, Eka R Priandana, Perekayasa Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN memberikan gambaran pembangunan ekosistem kendaraan listrik, kerja sama pemerintah, industri, dan masyarakat.
“Hal tersebut menjadi tantangan Indonesia saat ini, yang tentu saja melibatkan pemerintah dengan memfasilitasi regulasi serta pendukung lainnya seperti insfrastruktur. Itu meliputi pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Integrasi EV ke dalam transportasi publik. Pemerintah juga harus memberikan dukungan kelitbangan berupa pendanaan penelitian,” jelasnya.
Adapun peran industri pada inovasi teknologi sebagai regulator feeback. Inovasi tersebut pada baterai pack, serta desain SPKLU dan desain kendaraan Listrik.
Eka menegaskan, industri juga harus meningkatkan produksi dalam negeri TKDN tinggi. “Menurut sumber Kemenperin pada Juni 2024, bahwa Indonesia sudah punya 5 perusahan bus listrik, 6 perusahaan mobil listrik, dan 53 perusahaan kendaraan listrik roda 2 dan 3 dengan total investasi 5,12 triliun,” urainya.
Maka ia menegaskan hal ini menjadi peran BRIN dalam mempercepat adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) roda dua di Indonesia salah satunya. Peran BRIN tersebut menurutnya mendapat dukungan dari Presiden Prabowo Subianto.
Ulasan lain datang dari Abdul Hapid, Peneliti Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN. Ia membahas tentang inovasi dan teknologi kendaraan listrik. Inovasi tersebut salah satunya konversi kendaraan yang bertujuan untuk mempercepat adopsi teknologi, desain kendaraan baru sesuai karakter teknologi, serta fitur teknologi inovatif dengan capain efisiensi, kenyamanan, dan keamanan.