Tanah Hitam, Tanah Subur Yang Membutuhkan Perawatan
Jagadtani - Tanah hitam yang dijuluki 'king of soils' karena memiliki karakter relatif lebih subur dibandingkan jenis tanah lainnya. Di Indonesia, tanah hitam luasannya mencapai 6,3 juta ha yang terbagi di berbagai provinsi, seperti Sulawesi, NTT, NTB dan daerah lainnya.
Pada daerah tropis, kandungan karbon organik di tanah hitam dapat mencapai lebih dari 0,6 persen sehingga mendukung pertumbuhan tanaman pertanian dengan baik sekaligus menyerap karbon.
Dilansir dari laman BRIN, pada Webinar TERAS-TP Hari Tanah Sedunia dengan tema “Pengelolaan Tanah Hitam Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Mitigasi Perubahan Iklim” pada Kamis, (12/12).
Tanah hitam memang memiliki tingkat kesuburan lebih baik dibanding jenis tanah lainnya, namun tetap membutuhkan pengelolaan agar hasil panen dapat meningkat.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Suriadi mengungkapkan pengelolaan tanah hitam di Nusa Tenggara Barat (NTB). Disebutkan bahwa luas Tanah Hitam di NTB mencapai 71.659 hektar, yang sebagian besar tersebar di Pulau Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Tengah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Jonggat, Praya, Praya Barat, Praya Barat Daya, Praya Tengah, dan Pujut.
Menurutnya, tanah hitam di NTB terbentuk dari bahan induk seperti limestone, batuan vulkanik menengah, dan marl. “Tanah ini kaya akan kalsium dan magnesium, dengan curah hujan rendah (1.000-1.500 mm per tahun) dan dominasi lahan kering,” ujar Ahmad.
Dijelaskan Ahmad, tanah hitam yang relatif datar dan subur dimanfaatkan untuk pertanian, seperti padi, jagung, kedelai, dan hortikultura (bawang merah dan cabai). Di beberapa wilayah, sistem agroforestri dan perkebunan, seperti mete dan mangga, juga dikembangkan.
Ahmad menerangkan, sejarah pengelolaan tanah hitam dimulai dengan sistem gogorancah, yaitu penanaman padi menggunakan teknik tugal saat tanah cukup lembab. Sistem ini berhasil mendukung swasembada beras pada 1984 melalui program Operasi Tegak Makmur. Seiring waktu, inovasi seperti penggunaan herbisida dan teknologi tanpa olah tanah (TOT) diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi dan hasil panen.
Dalam menghadapi perubahan iklim, lanjutnya pertanian konservasi diterapkan untuk menjaga keberlanjutan. Pendekatan ini melibatkan pengolahan tanah minimal, penggunaan tanaman penutup (cover crop), rotasi tanaman, serta pengelolaan air melalui embung. ‘’Embung di Lombok Tengah dan Lombok Timur, misalnya, berfungsi sebagai penampung air hujan untuk irigasi suplemen di musim kemarau. Saat ini terdapat sekitar 1.458 embung di Kabupaten Lombok Timur, yang meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani,” jelas Ahmad.
Ia menilai pengelolaan tanah hitam di NTB menghadapi tantangan serius, seperti perubahan iklim, degradasi lahan akibat erosi, dan alih fungsi lahan untuk pemukiman atau industri. Penurunan kandungan organik tanah akibat praktik pertanian intensif juga menjadi perhatian.
Tanah hitam NTB, tambah Ahmad memiliki potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan, produktivitas pertanian, dan ekonomi hijau. Namun, pengelolaan yang berkelanjutan dan terintegrasi menjadi kunci agar tanah ini tetap produktif dan tidak terdegradasi di masa depan.
Ahmad juga menekankan pentingnya pendekatan konservasi berbasis ekosistem untuk menjaga keberlanjutan tanah hitam. “Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, akademisi, dan sektor swasta sangat dibutuhkan, dengan masyarakat sebagai aktor utama,” pungkasnya.