Urgensi Zoonosis Perdagangan Satwa Liar
“Sudah terbukti ada interaksi dari satwa liar dengan tidak bagus, kemudian kontak kita dengan satwa liar tersebut sangat intensif, kemudian satwa liar tersebut membawa virus yang akhirnya bermutasi, kemudian transfer dan menginfeksi ke manusia.”
JAKARTA - Di tengah pandemik virus Covid-19, perdagangan satwa liar di pasar-pasar hewan, entah untuk dipelihara maupun untuk konsumsi manusia menjadi perhatian serius berbagai kalangan termasuk para peneliti. Potensi zoonosis akan muncul dan akan membahayakan kesehatan manusia karena satwa liar berpotensi menjadi inang dalam perkembangan mutasi virus.
Dalam perkembangannya, Zoonosis telah terjadi untuk kesekian kalinya ketika pemanfataan satwa liar sudah melebihi batas dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia. Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati, sekaligus Peneliti Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy menjelaskan, kejadian pandemik Covid-19 dapat menjadi momen berkaca pada kejadian masa lalu dalam kejadian flu burung.
“Sudah terbukti ada interaksi dari satwa liar dengan tidak bagus, kemudian kontak kita dengan satwa liar tersebut sangat intensif, kemudian satwa liar tersebut membawa virus yang akhirnya bermutasi, kemudian transfer dan menginfeksi ke manusia,” jelasnya dalam keterangan tertulis LIPI, belum lama ini.
Baca juga: Kelelawar Tidak Harus Dimusnahkan
Amir mengungkapkan, Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) sebenarnya sudah diatur dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang mempunyai tujuan mencegah kepunahan dari satwa-satwa liar. Negara-negara yang meratifikasi CITES wajib melaporkan satwa liar atau tumbuhan yang masuk apendix CITES dalam kegiatan untuk diekspor maupun yang diterima.
“Dengan mekanisme seperti itu akan dievaluasi dan akan dikontrol. Hewan-hewan yang sudah masuk apendix CITES itu sudah jelas-jelas sangat kritis dan sudah sangat harus segera diberikan perlindungan secara penuh dan tidak boleh dimanfaatkan sama sekali dari alam”, terangnya.
Menurutnya, terkait perdagangan satwa liar paska kejadian Covid-19, dalam konteks regulasi Vietnam dan China melarang perdagangan satwa liar terutama yang untuk konsumsi, namun regulasi tersebut belum menyentuh untuk satwa yang dijadikan hewan peliharaan. Sayangnya, di Indonesia belum ada regulasi menyentuh ke substansi dasar antara Covid-19 dengan perdagangan TSL.
“Belum ada regulasi tentang itu, akan tetapi justru tekanan yang dari luar yaitu begitu ada kejadian ada di Cina dan Vietnam, tekanan akan berimbas pada perdagangan yang terjadi saat ini”, ujarnya.
Ia menuturkan, pada awal kejadian Covid-19, diduga virus ini ditularkan oleh ular, kemudian dievaluasi ternyata virus ini dari kelelawar. Ada pula yang mengasosiasikan virus ini juga dari trenggiling baru ditularkan ke manusia.
Pada dasarnya, perdagangan trenggiling sudah dilarang sejak lama di Indonesia karena sudah masuk kategori dilindungi, begitupun di China.
“Kendati demikian, ilegalnya masih terjadi. Terbukti satwa itu ada di sana, satwa-satwa yang dilindungi juga masih diperdagangkan disana”, ungkap Amir.
Ia menyebutkan, di Indonesia masih ada beberapa masyarakat lokal yang masih mengkonsumsi satwa liar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) juga sudah memonitoring tentang zoonosis yang kemungkinan ada di tempat-tempat tersebut, namun substansi yang terkait dengan regulasi tentang satwa liar belum tersentuh sampai mendalam.
“Inilah yang belum tersentuh, untuk mengontrol perdagangan dalam negeri lebih susah dibandingkan perdagangan satwa liar yang ke luar negeri. karena substansi peraturannya belum sampai, karena kita masih mengacu SK Menhut No 447 Tahun 2003 Tentang TU Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan No 61/Permen-Kp/2018. Jadi baru dua peraturan itu yang baru kita gunakan”, imbuhnya.
Dirinya menuturkan, pencegahan yang paling utama adalah membuat regulasi yang kuat.
“KLHK yang juga melibatkan kementerian lain seperti Kementan dan Kemenkes, harus saling berkoordinasi dalam konteks merumuskan regulasi, yang paling penting adalah pencegahan. Pencegahan bukan dari satu sisi satwa liar saja, tetapi juga dari aspek zoonosis kemudian aspek kesehatan manusia yang harus terintegrasi untuk melahirkan satu regulasi yang kuat sebagai upaya pencegahan”, tuturnya.
Baca juga: Meluruskan Khasiat Jahe Merah
Ia juga menambahkan, selain pencegahan dalam konteks regulasi, juga dapat berupa konteks edukasi.
“Kita memang harus belajar dari situasi yang ada saat ini, jadi diharapkan ke depannya ada koordinasi yang kuat antara kementerian untuk bisa menghasilkan suatu regulasi lagi bahwa aspek zoonosis ini sangat penting sekali terutama dalam konteks pemanfaatan satwa liar”, pungkasnya.