BRIN Kembangkan Teknologi Produksi Aneka Kacang dan Jagung
Jagadtani - Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Untuk mencapai swasembada pangan, peningkatan produksi aneka kacang seperti kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau, serta jagung menjadi salah satu langkah strategis.
Aneka kacang dan jagung merupakan sumber protein nabati utama yang berperan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat, bahan baku pakan ternak, serta industri pangan.
Sehubungan dengan itu, lahan kering di Indonesia memiliki potensi besar untuk dioptimalkan sebagai lahan produktif melalui penerapan teknologi budi daya yang tepat.
Namun, pemanfaatannya masih menghadapi berbagai tantangan seperti alih fungsi lahan, penurunan kualitas tanah, persaingan penggunaan lahan dan air, serta variabilitas curah hujan.

Salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas adalah sistem tumpangsari atau tanam ganda, yang memungkinkan berbagai jenis kacang-kacangan ditanam bersamaan dengan jagung di lahan kering.
Sistem ini meningkatkan efisiensi penggunaan lahan serta hasil produksi secara keseluruhan. Diversifikasi tanaman juga penting untuk mengoptimalkan produktivitas dan mengurangi risiko gagal panen.
Untuk membahas persoalan ini, BRIN melalui Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan menyelenggarakan Webinar Teras-TP #1 bertajuk “Dukungan Teknologi Produksi Aneka Kacang dan Jagung dalam Mewujudkan Swasembada Pangan” pada Selasa (11/02).
Sinergi Teknologi dan Peran Swasta
Dalam sambutannya, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari, menegaskan bahwa peningkatan produktivitas lahan kering dapat dicapai melalui sistem tumpangsari sebagai solusi keterbatasan lahan produktif dan rendahnya produksi pertanian.
“Peran serta pihak swasta sangat penting dalam mendukung swasembada pangan melalui investasi, pengembangan teknologi, penyediaan infrastruktur, serta kemitraan dengan petani. Teknologi produksi yang tepat, seperti penggunaan varietas jagung hibrida dan teknologi spesifik lokasi, dapat mengatasi kendala ketersediaan sarana produksi,” ujarnya.
Puji juga menyoroti peran petani milenial dalam memanfaatkan teknologi modern dan inovasi untuk mencapai kesuksesan serta berkontribusi pada ketahanan pangan nasional. “Dengan sinergi pemanfaatan lahan kering, teknologi tumpangsari, peningkatan produksi jagung, serta keterlibatan swasta dan petani milenial, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan swasembada pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani,” harapnya.
Target Swasembada Dipercepat
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, mengungkapkan bahwa target swasembada pangan yang semula direncanakan pada 2027 dimajukan menjadi 2025. Hal ini menjadi tantangan besar bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk petani, akademisi, dan pelaku industri pangan untuk terlibat semaksimal mungkin meningkatkan produksi guna mewujudkan cita-cita swasembada pangan tersebut.
Dirinya menyampaikan, walaupun tanaman aneka kacang belum masuk dalam program utama di Kementerian Pertanian, namun posisinya sangat penting. Hal ini karena adanya program makan bergizi gratis dari pemerintah yang di dalamnya memerlukan asupan protein dan pemanfaatan sumber daya lokal. Asupan protein tersebut jika hanya mengandalkan protein hewani pastinya akan memakan biaya yang mahal sehingga salah satu substitusi protein yang dapat digunakan adalah tanaman aneka kacang.
Dalam pemanfaatan tanaman aneka kacang tersebut perlu adanya antisipasi karena produksi tanaman tersebut berada di lahan kering dan lahan kering kita saat ini terbatas, selain itu perlu adanya cara untuk mengurangi kompetisi sehingga tidak ada tanaman yang tersingkir.
“Dengan sistem tanam tumpangsari atau dengan pola tanam yang lebih tersusun dan terorganisir dengan memanfaatkan potensi lahan yang ada diharapkan dapat meningkatkan produksi yang lebih optimal karena inti dari tumpangsari adalah bagaimana tanaman pokok/utamanya tersebut tidak menurunkan hasil dan meminimalkan harga tanaman keduanya/sekundernya,” ungkap Yudhistira.
Potensi dan Tantangan Lahan Kering
Dalam webinar kali ini, hadir sejumlah narasumber yang kompeten di bidangnya, salah satunya adalah Runik Dyah Purwaningrahayu, Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN.
Dalam paparannya, Runik membahas potensi dan prospek peningkatan produksi tanaman aneka kacang melalui sistem tumpangsari di lahan kering. Ia menekankan bahwa tanaman kacang-kacangan memiliki peran strategis dalam mendukung swasembada pangan, sekaligus menjadi sumber nutrisi utama setelah padi dan jagung.
Menurutnya, potensi lahan kering yang ada di Indonesia sebenarnya cukup besar untuk produksi aneka kacang. Namun, peningkatan produksi aneka kacang memiliki beberapa kendala diantaranya kurang kompetitif dibanding usahatani komoditas lain, kurang memiliki daya saing yang kuat pada perdagangan antar wilayah maupun ekspor dan sebagai tanaman sekunder.
“Salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kacang adalah dengan menerapkan sistem tanam tumpangsari, karena kompetisi dalam meningkatkan produksi melalui monokultur sangat tinggi,” jelasnya.
Runik juga menyampaikan jika budi daya tanaman aneka kacang secara tumpangsari di lahan kering mempunyai potensi dan prospek cukup baik untuk meningkatkan produksi tanaman aneka kacang nasional. Di lahan Perkebunan, tanaman aneka kacang dapat dikembangkan di antara tanaman perkebunan umur kurang dari 4 tahun dengan tingkat naungan kurang dari 50%.
“Di lahan kering iklim basah, tanaman aneka kacang dapat dikembangkan secara tumpang gilir di antara tanaman pangan utama hingga indeks pertanamannya dapat mencapai 2-3 kali per tahun dan sehingga diharapkan pendapatan petani meningkat, demikian pula di lahan kering iklim kering, ternyata tumpangsari tanaman pangan utama dengan aneka kacang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani,” rinci Runik.
Senada dengan itu, Chendy Tafakresnanto, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Tanaman Pangan ORPP BRIN juga menyampaikan paparan terkait kendala dan prospek pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan aneka kacang untuk mendukung ketahanan pangan.
Menurutnya, keragaman sumber daya lahan Indonesia merupakan modal dasar pengembangan berbagai komoditas pertanian secara berkelanjutan (sustainable). Namun, masih ada berbagai tantangan dan permasalahan sumber daya lahan dalam mendukung ketahanan pangan di antaranya peningkatan produktivitas tidak signifikan, pengurangan lahan produktif, penggunan pupuk kurang rasional, pencermaran lingkungan, perubahan iklim, erosi dan longsor, dan perluasan areal baru.
“Adapun strategi dalam meningkatkan produksi tanaman aneka kacang antara lain adanya peningkatan luas tanam dan produktivitas, pengembangan yang berbasis kawasan dan korporasi, pengembangan varietas unggul baru melalui demplot/demfarm dengan melibatkan petani, poktan, dinas, dan pengusaha (swasta),” jelasnya.
Terkait dengan pengembangan varietas, menurutnya disesuaikan dengan keinginan pasar, perancangan program pengembangan tanaman aneka kacang lahan kering yang riil dan serius, pendampingan dan pengawalan harus dilakukan, kerja sama dengan swasta sebagai off taker.
Chendy juga mengingatkan pentingnya kebijakan yang berpihak pada petani. “Impor harus dikendalikan dan dikenakan bea masuk yang agak tinggi agar petani bergairah untuk tanam aneka kacang. Demikian juga harga ditingkat petani harus dijaga dan tanaman aneka kacang tidak harus swasembada semua,” kata Chendy.
Teknologi Produksi Jagung
Sementara itu, Syafruddin, Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan mengatakan jika teknologi produksi jagung cukup tersedia untuk meningkatkan produktivitas guna swasembada bahkan berpeluang menjadi salah satu lumbung pangan dunia. Namun, dikatakannya, hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena ketersedian sarana produksi terutama benih dan pupuk sering menjadi kendala (harga, jumlah dan ketepatan waktu).
Untuk itu, Syafruddin menegaskan bahwa diperlukan kebijakan kelembagaan, subsidi dan lainnya untuk menjamin ketersediaan jagung saat dibutuhkan. “Selain jaminan harga saat panen, juga diperlukan penelitian lebih lanjut terkait beragamnya agroekosistem pengembangan jagung, adanya perubahan ilklim, dan tuntutan peningkatan produktivitas dan produksi jagung,” jelasnya.
Tak ketinggalan, Founder dan CEO KORA, Dian Prayogi Susanto, memaparkan inovasi teknologi pengeringan jagung bagi petani. Selama ini, pengeringan jagung secara tradisional di bawah sinar matahari memakan waktu hingga tujuh hari dan sering kali tidak optimal. “Akibatnya, petani terpaksa menjual hasil panennya dalam kondisi basah, yang berujung pada kerugian,” jelas Dian.
Dengan adanya inovasi teknologi dan sinergi berbagai pihak, diharapkan produksi aneka kacang dan jagung di Indonesia dapat meningkat secara signifikan, sehingga target swasembada pangan nasional dapat tercapai lebih cepat.