
Jagadtani - Cacing sering kali dianggap sebagai hewan menjijikkan dan sumber penyakit. Namun, di balik itu, makhluk kecil ini menyimpan banyak fakta unik serta potensi ekonomi yang luar biasa. Dari cacing tanah yang umum dijumpai hingga cacing laut yang berpenampilan menarik, mereka memiliki peran penting dalam ekosistem dan kehidupan manusia.
Hal ini diungkap oleh Joko Pamungkas, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam acara Season of Sharing (SOS) pada Jumat (14/03). Dalam presentasinya yang bertajuk "Mengintip Dunia Cacing", Joko memaparkan berbagai keunikan cacing serta peranannya dalam dunia sains dan ekonomi.
“Mari kita mulai dari hal yang paling dasar, yaitu kingdom Animalia atau kerajaan hewan,” ujar Joko saat membuka presentasinya. Ia menjelaskan bahwa kerajaan hewan terdiri dari sekitar 30 filum hewan, dengan mayoritasnya merupakan invertebrata atau hewan tak bertulang belakang. Secara statistik, sekitar 95% jenis hewan di dunia adalah invertebrata, hanya 5% yang tergolong vertebrata atau bertulang belakang.
Kelompok Cacing
Hal yang menurutnya mungkin mengejutkan adalah bahwa dari sekitar 30-an filum hewan, ternyata hampir separuhnya (14 filum) menyandang julukan sebagai cacing. Namun, yang paling dikenal adalah Annelida, Nematoda, dan Platyhelminthes karena merupakan kelompok cacing dengan jumlah spesies terbanyak di dunia.
“Annelida, misalnya, memiliki sekitar 22.000 spesies, dengan contoh yang paling dikenal adalah cacing tanah. Nematoda atau cacing gilig memiliki sekitar 28.500 spesies, menjadikannya yang tertinggi dalam hal kekayaan spesies, sedangkan Platyhelminthes atau cacing pipih memiliki sekitar 20.000 spesies. Sementara itu, 11 filum cacing lainnya masih belum banyak dipelajari dan asing bagi kebanyakan orang,” jelas Joko, peneliti yang juga tergabung dalam Kelompok Riset Moluska dan Invertebrata ini.
“Nematoda dan Platyhelminthes adalah cacing yang sebagian spesiesnya bersifat parasit pada manusia. Itu sebabnya, anak-anak kita beri obat cacing untuk membasmi keberadaan kedua kelompok cacing ini dalam tubuh mereka. Nah, boleh jadi karena sejumlah spesies parasit inilah cacing dikenal sebagai hewan penyebab penyakit,” jelas Joko. Umumnya, kita mendapatkan cacing tersebut dari tanah, tetapi ada juga yang dari daging babi, daging sapi, dan keong yang tidak dimasak dengan baik.
Lebih lanjut, Joko menjelaskan bahwa secara morfologi ketiga filum cacing dengan jumlah spesies terbanyak tersebut memiliki ciri khas masing-masing. “Annelida memiliki tubuh yang tersusun dari banyak segmen serupa, atau dalam istilah ilmiah disebut metamerisme; Nematoda tidak bersegmen, tetapi berbentuk gilig sehingga sering disebut cacing gilig; Sementara Platyhelminthes umumnya tidak bersegmen dan memiliki tubuh yang pipih, menyerupai selotip,” jelasnya.
Filum Annelida sendiri terbagi menjadi dua kelas, yaitu Clitellata dan Polychaeta. Clitellata terbagi menjadi dua subkelas, yaitu Hirudinea (contohnya lintah) dan Oligochaeta (contohnya cacing tanah dan cacing air tawar Tubifex yang biasa digunakan sebagai pakan alami ikan).
Selanjutnya, Polychaeta, yang juga dikenal dengan sebutan cacing rambut karena memiliki banyak rambut di sekujur tubuhnya, lebih mewakili kelompok cacing air payau dan laut, dan terbagi menjadi tiga subkelas. Errantia yang bergerak bebas, Sedentaria yang sesil (hidup menetap), dan Echiura.
“Echiura kelompok yang sempat membingungkan ilmuwan, tetapi kini diklasifikasikan sebagai bagian dari Polychaeta berdasarkan analisis filogenetik terbaru,” terang peneliti di bidang cacing laut Polychaeta ini.
Keunikan Cacing Polychaeta
“Apa sih yang unik dari Polychaeta?” tanya Joko membuat peserta penasaran.
“Ketika kita membayangkan tentang cacing, kesan pertama yang terbersit pasti morfologinya jelek. Tapi kalau misalkan Bapak dan Ibu searching di Google dengan kata kunci ‘the most beautiful worms in the world’, niscaya Bapak dan Ibu akan menemukan sejumlah cacing yang indah dan cantik yang berasal dari kelas Polychaeta,” jelasnya.
Uniknya, cacing Polychaeta dengan morfologi yang cantik hanya hidup di lingkungan perairan yang bagus dan jernih, umumnya di daerah terumbu karang. Menurutnya, cacing pohon natal (Spirobranchus giganteus dari famili Serpulidae) dan cacing kipas (Protula bispiralis dari famili Serpulidae dan Bispira melanostigma dari famili Sabellidae) adalah contoh cacing berpenampilan menawan penghuni habitat terumbu karang.
“Jadi kita tidak akan menemukan mereka yang cantik-cantik ini hidup di perairan yang kotor,” imbuh Joko.
Dari hal tersebut, bisa terlihat bahwa salah satu keunikan Polychaeta lainnya adalah menduduki peringkat pertama dalam hal variasi morfologi di dunia cacing. Sebagai contoh, suku tertentu dari cacing ini ada yang tubuhnya bersisik seperti ikan (Polynoidae), ada yang morfologinya mirip naga sehingga kerap disebut cacing naga (Nereididae), dan ada yang bentuk tubuhnya serupa tikus sehingga dijuluki sea mouse alias tikus laut (Aphroditidae).
Beragam Bentuk Unik Polychaeta
Peneliti yang sudah lebih dari 15 tahun menekuni cacing tersebut kemudian menjelaskan bahwa cacing pada umumnya kecil dan menjadi mangsa bagi ikan serta biota akuatik lainnya. Namun, khusus untuk Polychaeta, salah satu cacing yang terbesar di dunia dari famili Eunicidae, yakni cacing bobbit (Eunice Aphroditois), bisa mencapai panjang hingga tiga meter. Menurutnya, yang mencengangkan, cacing yang bisa ditemukan di Selat Lembeh, Sulawesi Utara, ini menjadi predator bagi ikan dan gurita, yang ukuran tubuhnya lebih besar dari cacing tersebut.
“Mungkin kita sering berpikir bahwa cacing itu lemah, tetapi ada satu spesies yang dikenal mampu hidup pada habitat yang sangat ekstrim di laut dalam. Jadi, di laut dalam itu ada sumber air panas (ventilasi hidrotermal) yang panasnya mencapai 300–400 derajat Celsius,” jelasnya.
“Cacing-cacing berbentuk seperti lipstik (Riftia pachyptila dari famili Siboglinidae) dengan panjang 2–3 meter yang termasuk salah satu cacing terpanjang dan terbesar itu mampu hidup dan beradaptasi. Mereka tidak memiliki saluran pencernaan, tetapi bersimbiosis dengan bakteri, melakukan kemosintesis untuk mendapatkan makanan,” terang Joko.
Menurutnya, dua predikat yang paling melekat pada cacing adalah ‘menjijikan’ dan ‘sumber penyakit’. Namun, hal ini agaknya tidak sepenuhnya berlaku untuk Polychaeta. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia, cacing Polychaeta menjadi kuliner yang dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Yup, hewan tersebut adalah cacing laor atau wawo yang muncul di perairan Ambon dan sekitarnya, dan nyale yang muncul di perairan Lombok dan sekitarnya. Alih-alih menjadi sumber penyakit, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hewan tersebut mengandung protein yang cukup tinggi!
“Ini karena pada saat muncul dalam jumlah besar, mereka sebetulnya sedang melangsungkan perkawinan masal, sehingga tubuhnya penuh sperma dan ovum yang kaya akan protein. Jadi yang dimakan oleh penduduk lokal sebetulnya bukan daging, tapi sel kelamin cacing,” jelas Joko.
Mirip dengan wawo dan nyale, cacing laut jenis Odontosyllis enopla (Syllidae) diketahui muncul dalam jumlah besar setiap bulan pada saat musim panas di perairan pesisir Bermuda, Inggris, untuk bereproduksi. Pada saat muncul, biota laut ini mengeluarkan senyawa bernama lusiferin yang membuat tubuhnya berpendar hijau. Alhasil, pemandangan di pesisir pantai menjadi eksotis dimana air laut terlihat berkilauan akibat cahaya yang dipendarkan oleh cacing-cacing tersebut.
Sejarah mengungkap bahwa Christopher Columbus pernah menyaksikan fenomena ini saat mengelilingi dunia. Ia mencatat keberadaan cahaya-cahaya kecil di air laut yang menyerupai cahaya lilin. Fenomena ini, yang dikenal dengan istilah marine bioluminescence, menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis untuk menikmati pemandangan malam yang indah di sekitar pantai.
Polychaeta: Cacing yang Memiliki Nilai Ekonomi
“Polychaeta adalah cacing yang dapat menghasilkan cuan,” tegas Joko.
Bertolak belakang dengan kelompok cacing parasit, Polychaeta ternyata memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Alitta virens (Nereididae), misalnya, menjadi jenis yang dibudidayakan di Inggris dan Belanda serta menjadi komoditi ekspor (cacing tersebut digunakan sebagai umpan pancing).
Di Indonesia, khususnya Jawa, Perinereis aibuhitensis (Nereididae) dan Diopatra claparedii (Onuphidae) banyak diambil dari alam untuk dijual sebagai umpan pancing. Sementara itu, Perinereis nuntia (Nereididae) didomestikasi oleh sejumlah perusahaan untuk dimanfaatkan sebagai pakan induk udang kaki putih (Penaeus vannamei dari famili Penaeidae).
Lebih lanjut, Joko menjelaskan bahwa Polychaeta jenis tertentu memiliki nilai ekologi sebagai bioindikator pencemaran perairan pesisir. Sebagai contoh, Capitella capitata (Capitellidae) menjadi bioindikator pencemaran bahan organik di daerah subtropis, sedangkan Capitella ambonensis (Capitellidae) di daerah Ambon. Sementara itu, dari hasil penelitiannya, D. claparedii merupakan jenis Polychaeta yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran logam berat karena kemampuannya mengakumulasi logam berat melebihi biota laut lainnya.
Tantangan Meneliti Polychaeta
“Saat ini, data di World Register of Marine Species (WoRMS) mendokumentasikan ada sekitar 12.000 jenis Polychaeta yang termasuk ke dalam 1.400 genera dan 80 suku yang telah dideskripsi di dunia. Dari 12.000 jenis, Indonesia hanya berkontribusi 300 jenis. Padahal, negara kita adalah bagian dari Segitiga Terumbu Karang, zona yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia,” ungkap Joko.
“Nah, dari sekitar 300 jenis tersebut, hampir seluruhnya dideskripsi oleh ilmuwan Eropa, dan spesimennya sebagian besar justru disimpan di Naturalis Biodiversity Center di Leiden, Belanda, bukan di Indonesia,” tambahnya.
Data terkini (Maret 2025) menunjukkan bahwa koleksi spesimen Polychaeta yang disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), Cibinong, Bogor, termasuk yang paling sedikit jika dibandingkan dengan koleksi invertebrata lainnya, yakni hanya sekitar 300-an nomor katalog.
Minimnya taksonom dan penelitian di bidang taksonomi Polychaeta di Indonesia menjadi akar permasalahan dan tantangan tersendiri. Saat ini Joko masih menjadi single fighter alias satu-satunya ilmuwan Indonesia yang konsisten menekuni taksonomi Polychaeta. Meski demikian, Joko bertekad untuk tidak menyerah dan akan terus berupaya mengungkap keanekaragaman biota laut tersebut dan potensinya di Indonesia.