• 1 April 2025

Kopi Sarongge Hasil Agroforestri Diapresiasi Menhut

uploads/news/2025/03/kopi-sarongge-hasil-agroforestri-51757481894dd2d.jpg

Jagadtani - Selama mengunjungi Kampung Sarongge, Kabupaten Cianjur, dalam rangka meninjau pelaksanaan program Perhutanan Sosial khususnya proses pengolahan Kopi Sarongge, pada Sabtu, (22/03).

Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni melihat langsung pengolahan kopi Sarongge, serta berdialog dengan kelompok tani hutan, penyuluh, pendamping dan masyarakat setempat. 

Kopi Sarongge, merupakan salah satu kopi asli Indonesia yang berhasil menembus pasar ekspor ke Jerman dan Korea Selatan. Kopi ini dihasilkan di Kampung Sarongge yang merupakan lokasi perhutanan sosial yang sukses dalam mengembangkan usaha berbasis agroforestri.

Menhut Raja Antoni mengungkapkan jika di Cianjur ini sudah ada 8.900 hektare sudah diberikan akses kelola kepada 37 kelompok tani hutan, meskipun demikian Kementerian Kehutanan dan jajaran pemerintah terkait akan terus berupaya memaksimalkan izin yang sudah diberikan itu. 

"Bagaimana supaya maksimal. Supaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, itu yang utama," ujar Menhut.

Kemudian ia juga ingin memastikan agar dengan program perhutanan sosial, maka masyarakat bisa semakin sejahtera seiring dengan hutannya tetap lestari. 

"Nah sekarang seperti tadi di lokasi sini, di Sarongge ini ada 100 hektare totalnya. Kalau nggak salah 3 kelompok tani hutan, tapi yang ditanamnya masih 30 persen. Mestinya 100 hektare itu ditanami semua, sehingga tadi kata Pak Tosca bisa menghasilkan mungkin 80-100 ton kalau maksimal. Sekarang masih 7 ton, karena masih 30 hektare," ujarnya.

Menhut juga menerima informasi dari dialog dengan kelompok tani salah satunya terkait kekurangan pupuk. Terkait kendal-kendala tersebut Menhut mengatakan Kementerian Kehutanan dengan Pemda, dengan KTH, Kepala Desa, dan juga aktivis perhutanan sosial akan kerjasama memaksimalkan.

Menhut pun memastikan jika program hutan sosial ini tidak akan berakhir sebagai deforestasi terhadap kawasan hutan di Indonesia. "Perhutanan sosial justru niatnya bukan deforestasi. Perhutanan sosial itu niatnya adalah kalau dulu masyarakat tidak boleh masuk hutan. Dilarang masuk hutan. Sekarang dibolehkan secara legal masuk ke hutan, tapi dengan syarat pertama menjaga hutan agar tetap lestari, yang kedua juga masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan untuk kesejahteraan masyarakat," tegasnya.

Menhut juga mengingatkan jika areal ijin perhutanan sosial yang telah diberikan kepada masyarakat harus dikelola dengan baik dan produktif, karena jika tidak, maka Pemerintah dapat mencabut kembali ijin tersebut. "Kita punya mekanisme-nya. Yang ekstrim tentu dicabut. Tapi kami tidak berharap dicabut karena memang pemberdayaan masyarakat itu tidak mudah, harus berproses bersama-sama multi pihak," tuturnya.

Kampung Sarongge adalah contoh nyata bagaimana perhutanan sosial bisa menjadi solusi bagi kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian hutan. Keberhasilan Kopi Sarongge yang telah menembus pasar internasional menjadi bukti bahwa produk lokal berbasis hutan bisa memiliki daya saing tinggi di pasar global.

Menteri Kehutanan juga mengapresiasi keberhasilan masyarakat Sarongge dalam mengembangkan usaha berbasis hasil hutan bukan kayu, seperti Kopi, termasuk juga Gula Aren yang mampu diproduksi hingga 15 ton per tahun. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan secara lestari dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Pemerintah berkomitmen untuk terus mengawal kebijakan yang berpihak pada masyarakat, serta menjaga kelestarian hutan Indonesia. Program Perhutanan Sosial di Kampung Sarongge diharapkan dapat menjadi model yang menginspirasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di berbagai daerah lainnya. Program Perhutanan Sosial secara nasional dicanangkan pemerintah untuk memberikan akses legal kepada masyarakat dalam mengelola hutan secara lestari, meningkatkan kesejahteraan, dan menjaga kelestarian lingkungan. 

Dalam kunjungan ini, Menteri Kehutanan didampingi oleh pejabat Kementerian Kehutanan dan dihadiri oleh pemerintah daerah, serta perwakilan dari 10 kelompok yang terdiri atas 5 Kelompok Perhutanan Sosial, 4 Kelompok Tani Binaan TNGGP dan Pokdarwis. 

Related News