BRIN Siapkan Inovasi Hijau, Usir Hama Tebu Dan Kelapa

Jagadtani – Serangga memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan agroekosistem tanaman perkebunan. Selain berperan dalam rantai makanan, banyak spesies serangga memberikan manfaat besar seperti membantu penyerbukan, menjadi musuh alami hama, berperan sebagai dekomposer, hingga menjadi bioindikator lingkungan.
Keberadaan serangga tidak hanya menguntungkan secara ekologis, tetapi juga berdampak pada aspek ekonomi, terutama dalam mendukung daya saing produk perkebunan di pasar global yang kini semakin menuntut prinsip traceability (ketertelusuran) dan sustainability (keberlanjutan).
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti pentingnya peran serangga dalam sistem budidaya kelapa dan tebu yang berkelanjutan. Meldy L.A. Hosang, Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, mengungkapkan produktivitas kelapa Indonesia masih rendah meski memiliki luas areal mencapai 3,3 juta hektar pada 2024, dengan 90% dikelola petani. Salah satu penyebabnya adalah serangan hama Sexava serangga nokturnal yang merusak daun, bunga betina, hingga buah kelapa.
“Di Indonesia, terdapat tiga spesies utama yaitu Sexava nubila, Sexava coriacea, dan Sexava karnyi yang banyak ditemukan di wilayah timur. Betina Sexava mampu menghasilkan 50 butir telur, sebagian besar diletakkan di tanah. Kerusakan yang ditimbulkan hama ini memengaruhi hasil panen secara signifikan," ujar Meldy dalam EstCrops_Corner#12: "Serangga dalam Agroekosisten Tanaman Perkebunan” pada Selasa (25/03).
Meldy mengedepankan pentingnya pendekatan pengendalian hayati sebagai alternatif ramah lingkungan. Upaya ini mencakup pemanfaatan parasitoid telur, predator alami seperti semut rang-rang, laba-laba, dan katak hijau, serta penggunaan entomopatogen. Selain itu, teknik budidaya seperti penanaman tanaman sela—seperti pala, vanili, dan talas—di antara pohon kelapa juga menjadi strategi yang dianjurkan.
"Pengendalian kimia memang telah dilakukan sejak 1930-an, tetapi penggunaannya harus dibatasi karena insektisida berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan," imbuhnya.
Pengendalian berbasis ekologi tidak bertujuan memusnahkan hama, melainkan menekan populasinya hingga tidak merugikan tanaman. "Dengan sistem ini, kita dapat menghasilkan produk kelapa yang bebas residu pestisida, lebih sehat, dan ramah lingkungan. Harapannya, petani mendapatkan pendapatan lebih tinggi, lingkungan tetap lestari, dan pengembangan kelapa di Indonesia terus bertumbuh," pungkas Meldi.
Pada kesempatan yang sama, Nurindah, Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN menjelaskan,” Penggerek pucuk tebu (Scirpophaga excerptalis) merupakan hama ekonomis penting yang menyebabkan kerugian signifikan pada perkebunan tebu di Indonesia. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tebu hingga 30-80% dan menyebabkan penurunan kualitas nira yang berdampak langsung pada rendemen gula. Tantangan utama dalam pengendalian penggerek pucuk tebu terletak pada perilaku infestasi larva yang sangat cepat masuk ke dalam jaringan tanaman. Setelah telur menetas, larva neonate segera bergerak menuju pucuk tanaman dan masuk ke dalam jaringan, memberikan "jendela kerentanan" yang sangat sempit bagi upaya pengendalian. Begitu larva memasuki jaringan tanaman, pengendalian menjadi sangat sulit dilakukan.”
Strategi pengendalian berbasis kimia seringkali kurang efektif karena karakter biologi hama ini, selain juga berdampak negatif pada lingkungan dan organisme non-target. Di sinilah peran musuh alami menjadi sangat penting sebagai alternatif pengendalian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Penelitian menunjukkan ekosistem perkebunan tebu di Indonesia memiliki keanekaragaman musuh alami yang cukup tinggi, mencakup parasitoid telur (Telenomus spp., Trichogramma spp., Tetrastichus spp.), parasitoid larva-pupa (Rhaconotus sp., Isotima sp., Stenobracon sp.), dan predator umum terutama dari kelompok semut (Formicidae).
“Parasitoid telur Telenomus menunjukkan potensi luar biasa dengan tingkat parasitisasi mencapai 72-100% di beberapa lokasi. Serangga parasitoid ini berperan sangat penting sebagai agen pengendalian hayati karena menyerang hama pada tahap awal siklus hidup, mencegah terjadinya kerusakan tanaman. Parasitoid larva seperti Isotima sp. juga mampu memberikan tingkat parasitisasi hingga 50%. Predator umum seperti semut memiliki peran strategis dalam memangsa telur dan larva neonate sebelum hama tersebut masuk ke dalam jaringan tanaman. Meskipun belum ada data kuantitatif mengenai daya pemangsaan semut terhadap penggerek pucuk tebu, interaksi "handling time" versus "window of vulnerability" menjadi faktor kunci efektivitas predator ini,” rinci Nurindah.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan musuh alami, petani dan pengelola perkebunan perlu memahami kompleksitas interaksi tritrofik antara tanaman tebu, penggerek pucuk, dan musuh alaminya. Praktek pengelolaan habitat yang baik dapat meningkatkan kinerja agen hayati, seperti menjaga vegetasi pendamping sebagai tempat berlindung dan sumber pakan alternatif bagi musuh alami. Penggunaan varietas tebu tahan hama juga perlu diintegrasikan dengan pendekatan pemanfaatan musuh alami. Varietas tahan memiliki karakteristik morfologi (lapisan lilin tebal, densitas trichoma tinggi), biokimia (kadar fenol dan lignin tinggi), dan fisiologis (kemampuan regenerasi cepat) yang mendukung ketahanan terhadap serangan hama sekaligus dapat sinergis dengan kerja musuh alami.
Pengendalian penggerek pucuk tebu dengan memanfaatkan musuh alami bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi merupakan strategi berkelanjutan dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). “Upaya ini perlu didukung penelitian lebih lanjut mengenai interaksi bitrofik dan tritrofik untuk pengembangan varietas tahan dan metode pengendalian hayati yang lebih efektif. Dengan memahami dan memberdayakan potensi musuh alami yang telah ada di alam, kita dapat menciptakan sistem pengendalian hama yang efektif, ekonomis, dan ramah lingkungan untuk mendukung keberlanjutan industri gula nasional,” tegas Nurindah.
BRIN juga mendorong pengembangan varietas tebu yang tahan terhadap serangan hama sebagai langkah strategis dalam mitigasi kerusakan. Menurut Nurindah, integrasi antara pengelolaan habitat, pelepasan agen hayati, dan penerapan varietas tahan merupakan solusi yang saling melengkapi untuk menjaga produktivitas perkebunan. Optimalisasi pengendalian hayati membutuhkan pemahaman mendalam mengenai interaksi antara serangga hama, parasitoid, dan predator di ekosistem tebu. "Dengan memahami dinamika populasi ini, kita dapat merancang strategi pengendalian yang lebih efektif dan ramah lingkungan," pungkas Nurindah