• 24 November 2024

Pandemi Covid-19 Ancam Konservasi Orangutan

JAKARTA - Orangutan merupakan salah satu hewan primata khas Indonesia.

Sahabat Tani dapat menemukannya di dalam hutan Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Baca juga: Matinya Hewan Terlangka, Jerapah Putih

Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan.

Orangutan juga tidak hidup dalam sekawanan yang besar, mereka merupakan hewan pemalu.

Orangutan jantan, biasanya ditemukan sendirian dan orangutan betina biasanya ditemani oleh beberapa anaknya.

Orangutan berkembang biak lebih lama dibandingkan hewan primata lainnya, sang betina hanya melahirkan seekor anak setiap 7-8 tahun sekali.

Umur orangutan di alam liar sekitar 45 tahun dan sepanjang hidupnya sang betina hanya memiliki tiga keturunan seumur hidupnya.

Di Kalimantan, populasi orangutan diperkirakan sekitar 55.000 individu.

Sedangkan di Sumatera, jumlahnya diperkirakan sekitar 200 individu.

Hal ini terjadi akibat pembukaan lahan yang berlebihan.

Tidak hanya penebangan hutan, pandemi virus corona atau Covid-19 juga membuat kehidupan Orangutan menjadi waspada.

Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) bahkan langsung menutup total dua pusat rehabilitasi orangutan miliknya begitu pandemi Covid-19 melanda Indonesia.

Pilihan lockdown dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19 ke dalam pusat rehabilitasi.

Chief Executive Officer (CEO) BOSF, Jamartin Sihite juga mewanti-wanti petugas yang merawat orangutan, agar menjaga lingkungan pusat rehabilitasi sebersih mungkin.

Ia juga meminta penyemprotan disinfektan, pembersihan kandang dan areal orangutan semakin rutin dilaksanakan.

“Kami adalah pusat rehabilitasi pertama yang mengambil langkah lockdown menghadapi pandemi Covid-19,” ujar Jamartin melalui keterangan tertulisnya, belum lama ini.

Untuk sementara, kata Jamartin, ada perubahan pola kerja di pusat rehabilitasi.

Tidak ada lagi sistem perputaran petugas.

Satu blok orangutan, akan diurus oleh sekelompok petugas secara terus menerus.

Yayasan BOS sendiri memiliki dua pusat rehabilitasi dengan total hampir 400 individu orangutan.

Pusat rehabilitasi itu terletak di hutan konservasi Samboja Lestari, Kalimantan Timur dan Arboretum Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.

“Jadi kalau satu blok ada yang terjangkit Covid-19, seluruh pekerja dan orangutan di dalamnya kita isolasi,” katanya.

Dia memastikan, para petugas tetap bekerja tanpa kenal lelah memastikan orangutan tetap sehat dan aman.

Meski para petugas ini juga harus menjaga kesehatan, mengurangi pertemuan dengan orang lain, hingga menghindari pusat keramaian.

“Sementara dunia sedang sibuk dengan pandemi Covid-19, kami berharap orang-orang tidak melupakan penderitaan orangutan dan kampanye pelestarian tetap berlanjut.

Selama masa isolasi, seluruh pusat rehabilitasi menutup kunjungan dari mana pun.

Sebab, makin banyak kunjungan, makin rentan pula penularan COVID-19.

“Orangutan memiliki kesamaan DNA dengan manusia sebesar 97%, sehingga rentan terpapar Covid-19. Meski belum ada penelitian ilmiah soal penularan ke orangutan,” tambahnya.

Jamartin mengatakan, tantangan terberat yang dihadapi pusat rehabilitasi orangutan yaitu persediaan barang kebutuhan untuk merawat orangutan.

Selain harganya mahal, stok di pasaran juga langka.

“Dengan stok yang ada di kami saat ini, kami hanya mampu bertahan satu bulan,” ungkap Jamartin.

Selain makanan untuk orangutan, Jamartin mengatakan, kebutuhan mendesak lainnya yaitu disinfektan, sanitizer, masker, sarung tangan, dan lain-lain.

Yayasan BOS juga tengah berusaha keras mencari agar kebutuhan dasar rehabilitasi orangutan bisa segera terpenuhi.

“Sarung tangan yang sehari-hari kami gunakan harganya sudah naik 167% dan ketika kami membeli masker bedah untuk dokter hewan harganya naik tujuh kali lipat,” keluhnya.

Pukulan terberat yang diderita Pusat Rehabilitasi Orangutan milik Yayasan BOS yaitu kehilangan donatur.

Donasi yang biasa rutin mengalir tiba-tiba terhenti akibat pandemi Covid-19.

“Sampai hari ini masih ada yang mau bantu kita, tapi memang beberapa donor kita kehilangan pekerjaan,” kata Jamartin.

Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan dalam dua bulan ke depan, Yayasan BOS akan kesulitan keuangan merehabilitasi orangutan.

Untuk itu, beragam upaya dilakukan agar orangutan di dalam pusat rehabilitasi tetap sehat.

“Jadi kita berharap semua pihak mau saling bahu membahu jangan cuma mikirin aku dan kau, tapi kita juga harus mikirin orangutan yang ada di pusat rehabilitasi mereka tidak bisa ke mana-mana. Kalau yang di hutan mereka bisa cari makan sendiri,” papar Jamartin.

Orangutan di dalam pusat rehabilitasi sangat bergantung manusia hingga dinyatakan cukup bisa untuk dilepasliarkan ke hutan.

Sehingga, jika ada keterlibatan banyak pihak saat pandemi berlangsung, akan cukup sulit bagi orangutan menjalani proses rehabilitasinya.

“Kita berharap pada teman-teman yang lain yang masih punya berkat berlebih atau masih punya berkat di kantongnya, mari donasikan buat orangutan. Jangan cuma buat kita," harapnya.

Jamartin yakin, apa pun kondisinya pusat rehabilitasi orangutan akan bisa bertahan di tengah krisis apa pun.

Baca juga: Kemunculan Hiu Paus saat Pandemi

Badai pandemi Covid-19, sebutnya, akan bisa dilewati dengan kebersamaan semua pihak.

“Dalam kamus Yayasan BOS tidak kata menyerah. Di dalam nama BOSF ada kata survival. Kami yakin bisa bertahan. Karena kita semua adalah orangutan warrior,” pungkasnya.

Related News