BRIN Ungkap Inovasi Adaptasi Ternak Dalam Perubahan Iklim

Jagadtani - Perubahan iklim berpotensi menjadi tantangan pada sektor pertanian, termasuk peternakan. Kesehatan hewan ternak dapat terganggu dengan perubahan cuaca yang cukup signifikan sehingga perlu penanganan yang serius.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Puji Lestari menegaskan, dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu, kemampuan ternak untuk beradaptasi terhadap lingkungan menjadi kunci dalam menjaga produktivitas dan keberlanjutan usaha peternakan.
“Suhu ekstrem, perubahan pola curah hujan, serta meningkatnya frekuensi bencana alam dapat berdampak langsung pada kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak,” ungkap Puji saat memberikan sambutan dalam Webinar Risnov Ternak #3, dengan tema Peternakan Ramah Lingkungan dalam Upaya Mitigasi Gas Rumah Kaca dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim, pada Kamis (15/05).
Dia melanjutkan, diperlukan strategi adaptasi, seperti pemilihan genetik ternak yang tahan terhadap kondisi iklim ekstrem, perbaikan manajemen kandang. Kemudian, penyediaan pakan yang sesuai agar ternak tetap dapat tumbuh optimal dalam kondisi lingkungan apapun.
“Jika implementasi peternakan ramah lingkungan telah menunjukkan hasil yang positif, contohnya pada program Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat (BATAMAS). Program tersebut dikembangkan oleh Kementerian Pertanian Indonesia yang berhasil menurunkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) secara signifikan dalam periode 2008–2012,” terangnya.
Sementara itu Kepala Pusat Riset Peternakan ORPP BRIN Santoso mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi perubahan iklim yang tidak menentu. Hal tersebut berpengaruh terhadap kemampuan peternak untuk beradaptasi, yang menjadi faktor kunci dalam menjaga produktifitas dan keberlanjutan usaha peternakan.
“Namun diperlukan pendekatan-pendekatan strategis yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Ada beberapa praktik yang telah kami ketahui, seperti pengelolaan kotoran ternak menjadi pupuk organik atau biogas,” jelasnya.
Praktik selanjutnya, tambah Santoso, memberikan pakan dengan proporsi serat kasar dan konsentrat yang tepat sehingga dapat mengurangi produksi gas metana dari pencernaan ternak.
“Adanya kegiatan integrasi ternak dan tanaman, penerapan teknologi canggih yang menggunakan teknologi untukmemantau emisi gas rumah kaca secara real-time dan kesehatan ternak. Kita harus saling kolaborasi serta memberikan edukasi atau pelatihan bagi para peternak,” kata Santoso.
Santoso berharap, melalui webinar ini para peserta bisa mendapatkan pengetahuan baru, inspirasi, dan solusi praktis yang bermanfaat bagi para pelaku usaha di bidang peternakan. Di samping itu juga bagi para periset dapat menambah informasi terkait dengan gas rumah kaca di bidang peternakan.
Dalam kesempatan yang sama, Moyosore Josep Adegbeye Post-Doctoral Student University of Africa, dalam materi yang berjudul “Ruminant Productivity Among Smallholder Farmers in a Changing Climate: Adaptation Strategies” menyampaikan, dampak negatif perubahan iklim terhadap peternakan antara lain peningkatan asupan air.
“Selain itu juga penurunan pertumbuhan dan kerugian ekonomi yang lebih besar bagi petani, penyakit yang terkait dengan tekanan panas, persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang menyebabkan konflik untuk mendapatkan air dan lahan makanan,” bebernya.
Josep mengatakan ada beberapa teknik adaptasi bagi peternak ruminansia yaitu manajemennya harus diperhatikan, komposisi multispesies ternak bisa menjadi produksi ternak alternatif.
”Manajemen waktu dalam pemberian makanan, perubahan waktu penggemukan, dan melakukan interval dalam penggemukan badan ternak,” pungkasnya.