• 5 December 2025

Kebijakan Pangan Nasional Harus Berpihak Pada Petani

uploads/news/2025/07/kebijakan-pangan-nasional-harus-16391addeee4ebf.png
Jagad Tani - Jakarta (22/7/2025), di tengah gempuran global dan krisis iklim, masa depan ketahanan pangan Indonesia tidak bisa lagi diserahkan pada pendekatan lama yang birokratis dan top-down
Catatan Redaktur Jagad Tani menggarisbawahi bahwa pada arah kebijakan pangan nasional dalam 5 hingga 10 tahun ke depan membutuhkan perubahan mendasar; menjadikan petani sebagai aktor utama, bukan sekedar target program.
 

Petani Bukan Sekadar Terget Program, Tapi Pemegang Arah Produksi

Banyak kebijakan pangan saat ini masih lahir dari ruang seminar, bukan dari suara petani di lapangan. Dalam berbagai forum, petani hanya dijadikan objek data atau penerima manfaat bantuan. Padahal, merekalah yang paling paham kebutuhan, tantangan, dan solusi riil di sawah dan ladang.

Jika negara ingin membangun ketahanan pangan sejati, maka kebijakan pangan harus bersumber dari dialog partisipatif bersama petani. Pendekatan top-down yang selama ini mendominasi harus direformasi menjadi model pembangunan bottom-up yang inklusif. Petani harus diberi ruang dan posisi dalam perencanaan produksi pangan nasional, baik di tingkat desa maupun pusat. Menurut data BPS 2023, hanya 8% petani yang terlibat dalam forum perencanaan desa, menunjukkan masih jauhnya partisipasi mereka dalam kebijakan publik.

Reforma Agraria: Akses Lahan Harus Diperluas dan Diprioritaskan

Program reforma agraria yang selama ini berjalan dinilai terlalu administratif. Melegalkan lahan tanpa membuka akses produksi hanya menjadikan petani terjebak dalam status normal tanpa daya hasil. Pemerintah harus memprioritaskan distribusi lahan negara, eks-HGU, dan tanpa terlantar kepada petani aktif, petani muda, serta kelompok tani berbasis desa.

Tanpa keberpihakan dalam akses lahan, Indonesia aka gagal menumbuhkan generasi baru. Alih fungsi lahan terus terjadi, sementara petani produksi justru terdesak keluar dari sektor pangan. Ini adalah kontradiksi besar yag harus segera diakhiri. data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan sekitar 650 ribu hektare lahan HGU tidak dimanfaatkan secara optimal, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk petani produktif.

Kestabilan Harga dan Keadilan Pasar Lebih Penting dari Sekadar Produksi

Lonjakan produksi pangan seringkali tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Ketika produksi tinggi, tetapi harga di tingkat petani anjlok, maka yang menikmati keuntungan hanyalah rantai disyrtibusi dan pasar spekulatif.

Pemerintah harus menjamin harga dasar yang adil melalui sistem pembelian pemerintah yang efektif. BULOG dan Badan Pangan Nasional tak boleh hanya berfungsi sebagai penyangga stok, tetapi sebagai penjamin keadilan pasar. Keberlanjutan produksi bergantung pada jaminan yang menguntungkan petani. Misalnya, pada awal 2024, harga gabah kering panen sempat jatuh ke Rp4.300/kg, jauh di bawah HPP pemerintah sebesar Rp5.000/kg.

Kontrak Rakyat: Model Pengadaan Pangan yang Adil dan Stabil 

Program-program pemerintah seperti makan bergizi gratis, bantuan sosial, logistik bencana harus didukung oleh sistem kontrak langsung antara pemerintah dan petani lokal. Koperasi tani dan kelompok tani harus difungsikan sebagai pemasok utama, bukan justru dikalahkan oleh pengadaan besar-besaran dari distributor atau importir.

Dengan sistem kontrak rakyat, pemerintah bisa menciptakan pasar yang stabil bagi petani, memotong rantai tengkulak, dan memperkuat ekonomi desa. skema ini sekaligus mejadi instrumen strategis menjaga harga, kualitas, dan kontinuitas pasoka pangan. Dalam program serupadi India, skema kontrak pertanian telah meningkatkan pendapatan petani sebesar 25-30% di wilayah-wilayah intervensi.

Mekanisme Harus Menjadi Gerakan Desa, Bukan Proyek Elistis

Modernisasi pertanian selama ini identik dengan pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang terpusat dan mahal. Banyak kelompok tani mengeluh karena alsintan hanya digunakan saat kunjungan pejabat, tetapi tidak berfungsi optimal di lapangan. 

Solusinya dalah pembangunan sistem sewa alsintan desa berbasis koperasi atau BUMDes, lengkap dengan pelatihan teknis, setifikast operator, dan skema perawatan komunitas. Ini bukan sekadar modernasasi alat, tapi juga transformasi manajemen pertanian desa. Kementan mencatat bahwa utilisasi alsintan hanya mencapai 60% akibat minimnya pelatihan dan sistem manajemen yang lemah.

Teknologi Presisi: Bukan Sekadar Gadget Mahal, Tapi Alat Berbasis Komunitas

Ketakutan petani terhadap teknologi mahal adalah refleksi dari pendekatan vendorisasi yang tidak relevan. Pemerintah harus bermitra dengan kampus, politeknik, dan startup agritech untuk merancang teknologi murah, modular, dan berbasis lokal.

Pertanian presisi tidak harus selalu dimulai dari drone canggihSensor kelembapan tanah sederhana, alat ukur PH, dan irigasi berbasis waktu adalah awak yang baik. Inovasi harus membumi dan bersumber dari kebutuhan petani. Data dari World Bank menunjukkan bahawa adopsi teknologi tepat guna dapat meningkatkan efisiensi air hingga 30% dan mengurangi penggunaan pupuk hingga 20%.

Desentralisasi Cadangan Pangan untuk Ketahanan yang Tangguh

Sistem ketahanan pangan tidak akan kuat jika hanya bertumpu pada gudang pusat nasional. Catatan Redaksi Jagad Tani menyarankan agar pemerintah memperluas skema cadangan pangan ke tingkat desa melalui lumbung pangan komunitas.

Lumbung desa yang didukung dan desa, dikelola oleh koperasi, dan dimonitor oleh Dewan Pangan Desa akan menjadi benteng ketika bencana, inflasi, atau krisis logistik melanda. Ini adalah bentuk kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Menurut Kementerian Desa, lebih dari 15.000 desa telah memiliki fasilitas lumpung pangan, namun hanya 30% yang aktif karena kurangnya integrasi program nasional.

Platform Data Nasional untuk Akurasi Produksi dan Distribusi 

Tanpa data valid dan real-time, kebijakan pangan akan selalu bersifat reaktif dan rapuh. Pemerintah pusat harus segera membangun platfom nasinal petani dan produksi pangan yang akurat, terintegrasi, dan dapat diakses oleh semua pihak dari petani, pemda, sampai pelaku usaha. 

Platform ini bukan hanya berisi nama petani, tetapi juga jenis komoditas, luas lahan, musim tanam, dan estimasi panen atau hasil. Dengan data tersebut, pemerintah bisa mengatur distribusi, menyususn kontrak, serta mendeteki potensi surplus atau defisit lebih awal. Contoh terbaik datang dari Thailand yang memiliki sistem "Smart Farmer" terintegrasi berbasis GIS dan dasboard nasional yang mendukung ketetapan dan ekspor.

Evaluasi Food Estated: Saatnya Transparan dan Akuntabel 

Proyek food estated tidak bisa terus dipertahankan sebagai simbol keberhasilan tanpa ada evaluasi terbuka. Banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya, dampaknya terhadap petani lokal, kontribusinya terhadap produksi nasional.

Redaksi mendesar pemerintah untuk membuka data hasil, biaya, tantangan, dan dampak sosial food estated, lalu memperbaikinya bersama petani, akademisi, bukan euphoria proyek. Studi KPA pada 2023 menunjukkan hanya 37% lahan food estated Kalimantan tengah yang produkstif, sementara sisanya mengalami stagnasi produksi dan konflik tenurial. 

Dewan Pangan Desa: Pilar Partisipasi Pangan Lokal

Setiap desa harus memiliki Dewan Pangan yang terdiri dari petani, tokoh adat, perempuan tani, dan pemuda desa. Lembaga ini akan meyusun agenda pangan lokal, menentukan priorotas komoditas, dan mengawasi distribusi pangan desa.

Dengan pendekatan ini, ketahanan pangan akan menjadi milik rakyat, bukan hanya janji negara. Kedaulatan pangan tidak bisa dibangun dari pusat saja. Ia tumbuh dari akar yang kuat, yaitu desa-desa yang madniri pangan. Pilot project di Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta menunjukkan bahwa Dewan Pangan Desa mampu menurunkan ketergantungan pangan impor hingga 18% dalam dua tahun.

Catatan Redaksi: Politik Pangan Harus Meninggalkan Model Elistis 

Masa depan pangan Indonesia tidak akan berubah jika pendekatannya masih elistis, sentralistik, dan berbasis proyek. Saatnya negara berani menempatkan petani sebagai jantung produksi, dan mengakui desa sebagai pusat perencanaan.

Tanpa keadilan agraria, data yang transparan, serta pemangkasan rantai rente impor pangan, swasembada hanyalah slogan. Indonesia harus berani menulis ulang narasi pangan: dari dominasi elit ke kedaulatan rakyat.

Redaksi Jagad Tani mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak hanya bicara soal pangan sebagai komoditas, tetapi sebagi hak, kekuatan ekonomi, dan instrumen keadilan sosial.

 

 

Related News