• 5 December 2025

Banjir Sumatera, Siklon Tropis dan Deforestasi

uploads/news/2025/11/editorial-banjir-sumatera-siklon-359604f20ab4c66.png

Jagad Tani - Banjir dan longsor hebat yang melanda tiga provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah rangkaian bencana biasa. Sebab kali ini, kehadiran Siklon Tropis Senyar dalam prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menjadi pemicu perubahan cuaca yang mengguyur kawasan Sumatera dengan intensitas luar biasa, ditambah dengan kerusakan ekologis yang sudah ada, menjadikan dampaknya lebih besar.

Bahkan, BMKG mencatat pada periode 25-27 November 2025 beberapa kota/kabupaten di wilayah-wilayah tersebut mengalami hujan dengan intensitas mencapai kategori ekstrem termasuk diantaranya Aceh Utara, Aceh (310.8 mm/hari), Medan, Sumatera Utara (262.2 mm/hari), Tapanuli Tengah, Sumatra Utara (229.7 mm/hari), dan Padang Pariaman, Sumatera Barat (154 mm/hari). Bahkan kewaspadaan masih harus dilakukan, terhadap ancaman Siklon Tropis Koto.  

Baca juga: Sumatera Masih Harus Waspadai Ancaman Siklon Tropis

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Utara, setidaknya ada 15 kabupaten/kota yang terkena dampak, sedangkan di Nanggroe Aceh Darussalam terjadi di 16 kabupaten/kota, adapun di Sumatera Barat ada di 14 kabupaten/kota.

Siklon tropis yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan Laut China Selatan, mendorong pembentukan awan konvektif masif (Cumulonimbus), menyuplai hujan besar ke sisi utara Sumatera. Oleh karenanya, hujan ekstrem dalam waktu singkat memaksa sungai meluap, tebing runtuh, dan permukiman tergenang. Namun, menjadi keliru jika tanggung jawab bencana ini diletakkan sepenuhnya pada fenomena alam. Siklon memang membawa pengaruh terhadap kondisi cuaca, tetapi yang membuatnya menjadi bencana, karena kondisi wilayah yang luasan tutupan hutannya kian habis.

Di berbagai pemberitaan, daerah seperti Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sibolga, hingga Kota Padang, tampak kayu-kayu gelondongan bertumpu kan akibat terbawa oleh arus banjir. Ini menjadi salah satu bukti, pentingnya menjaga ekosistem hutan sebagai penyerap limpahan air sekaligus menjadi tanggul hidup untuk pinggiran sungai maupun kawasan tebing agar tidak terjadi longsor, dan bukan malah menebangnya secara secara massif, tanpa mengembalikan ekosistemnya. 

Sumatera memang telah banyak kehilangan benteng pertahanan terbaiknya, yakni hutan. Dalam dua dekade terakhir, tren deforestasi di Sumatra terus meningkat, Hutan yang dulu menjadi penyangga air kini berubah menjadi perkebunan monokultur, permukiman, area industri, hingga pertambangan. Akibatnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) banyak yang rusak, penyangga alami pinggiran tebing berupa pohon-pohon telah menghilang.

Melansir dari Auriga Nusantara yang merilis data tentang Status Deforestasi Indonesia 2024, terjadi peningkatan deforestasi di kawasan Sumatera. Pada tahun 2023 deforestasi yang dilakukan sebesar 33.311 hetare, meningkat di tahun 2024 menjadi 91.248 hektare. Hal ini menyebabkan banyaknya bukaan tutupan kawasan hutan, sehingga membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air secara maksimal, karena hutan telah beralih fungsi, hasilnya, aliran air permukaan meningkat, sungai menerima volume air jauh lebih cepat daripada kapasitasnya, dan hetika hujan besar datang, maka bencana menjadi tak terhindarkan.

Lebih ironisnya, setiap kali terjadi bencana, pola reaksinya selalu sama, yakni evakuasi darurat, bantuan logistik, kedatangan pejabat, dan konferensi pers. Namun ketika sorotan publik menghilang, maka pekerjaan pemulihan ekosistem dan penataan ruang kembali terpinggirkan. Tentunya Indonesia tidak boleh lagi berada dalam siklus respons reaktif, dan mengubah arah kebijakan dari tanggap darurat menjadi tanggap ekosistem.

Setidaknya ada tiga langkah yang tidak bisa ditunda lagi pengerjaannya, dan harus segera di eksekusi, yakni Rehabilitasi Hutan dan Restorasi DAS, sebab upaya reboisasi harus dilakukan secara sistematis dan berbasis riset hidrologis. Rehabilitasi DAS di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, harus menjadi prioritas nasional. Bukan sekadar menanam secara seremonial, tetapi harus dilakukan restorasi ekologis yang berjangka panjang.

Kemudian, yang kedua yakni Penegakan Hukum terhadap Perusakan Hutan. Pemerintah harus berani menindak tegas praktik ilegal: pembalakan liar, pembukaan lahan tanpa izin, serta manipulasi izin perkebunan dan pertambangan, bahkan perlindungan terhadap tutupan hutan adat dan kawasan hutan lindung harus diperketat. Tanpa penegakan hukum yang keras, upaya pemulihan lingkungan hanya menjadi kosmetik belaka.

Selanjutnya yaitu, Adaptasi Iklim dan Tata Ruang yang Berbasis Resiko, seperti yang telah diketahui jika cuaca ekstrem sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Pembangunan permukiman, infrastruktur, dan kawasan perkebunan, kedepannya tentu harus mengikuti peta resiko hidrometeorologi dan harus dilakukan dengan kajian yang matang, bukan malah menabrak pakemnya.

Bencana yang terjadi di pulau Sumatera merupakan sebuah gambaran atas hubungan sebab-akibat antara manusia, iklim cuaca dan kondisi lingkungan. Sumatera menangis bukan karena hujan dan longsornya saja, melainkan karena hutan-hutan yang dulu menjaganya telah menghilang akibat deforestasi.

Related News