• 22 November 2024

Bertani Kopi di Lahan Kritis

Tidak mati, hanya tumbuhnya lambat. Perbandingannya jika menggunakan tanah asli seperti ini, diperkirakan satu tahun satu kali panen.”

POSO - Suasana kompleks pertanian di salah satu perusahaan besar yang ada di kawasan Lembah Napu, Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah tak seperti lahan pertanian biasa.

Rencananya, lahan seluas 600 hektare lebih ini, akan dijadikan kompleks perkebunan kopi.

Namun ada satu kendala yaitu, struktur tanah yang tidak memungkinkan.

Baca juga: Sumur Dangkal Solusi Kekeringan

Sehingga, memaksa para petani melakukan tukar tanah, agar pertumbuhan kopi dapat optimal.

Koordinator pertanian setempat, Johanes mengatakan, teknik seperti ini sudah sering dilakukannya selama berkiprah sebagai petani kopi selama kurang lebih 10 tahun.

Menurutnya, jika menemukan tanah berbatu, apalagi hanya ditumbuhi oleh pohon pinus, cara satu-satunya mengganti tanah.

"Ini tanah digali dengan diameter dan kedalaman satu meter untuk setiap pohon. Pada umumnya luasannya seperti itu, dilebihkan juga tidak mengapa," jelasnya saat ditemui belum lama ini.

Ia mengatakan, jika tetap menggunakan tanah tersebut, kopi tetap akan hidup.

Namun, dikhawatirkan pertumbuhannya akan lambat, bahkan berpengaruh terhadap kualitas kopi.

"Tidak mati, hanya tumbuhnya lambat. Perbandingannya jika menggunakan tanah asli seperti ini, diperkirakan satu tahun satu kali panen. Sementara jika ditukar, panennya normal sekitar tiga bulan sekali," jelasnya.

Ia pun mengungkapkan cara menukar tanah.

Karena lahan yang dikelola cukup luas, perlu menggunakan alat berat.

Mulai dari mengambil lapisan atas tanah, menggali, hingga memasukkan kembali tanah lapisan atas.

"Caranya dengan menyingkirkan tanah bagian atas setebal 10 sentimeter. Kemudian, menggali tanah yang akan di tanam kopi, setelah itu tanah yang disingkirkan tadi. Kemudian, dimasukkan lagi ke dalam lubang tersebut, sebab tanah di bagian atas tersebut cukup subur," paparnya.

"Memang harus diganti. Karena, tanah sekeras dan berbatu itu, jelas tidak produktif. Ada orang yang coba tanam di tanah model seperti ini, tapi kopinya tidak berkembang," tambahnya.

Johanes menjelaskan, sejak masa tanam pertama, kopi pada umumnya akan berbuah pada tahun kedua, kemudian di tahun ketiga sudah bisa dilakukan panen.

Namun, tak jarang di tahun kedua petani sudah melakukan panen.

Hanya saja, menggunakan teknik tanam setek, yaitu metode perbanyakan tanaman dengan menggunakan potongan tubuh tanaman.

Sementara, saat ini kopi berjenis arabika komasti ini ditanam menggunakan biji yang disemai pada media ‘koker’ selama satu tahun.

Prosesnya sendiri cukup memakan waktu yang lama, sebab masa kecambahnya selama tiga bulan, ditambah lama didiamkan dalam koker selama tujuh bulan, bahkan sampai sepuluh bulan.

"Nah, setelah itu baru kemudian ditanam di media sesungguhnya," katanya.

Baca juga: Derita Petani Desa Poi Pascabanjir

Saat ini, menurutnya, sudah 5.000 pohon yang ditanam di lahan seluas empat hektare tersebut.

Karena kebun kopi berada di media yang miring, Johanes pun juga menanam ketela pohon agar dapat menahan air ketika hujan.

Selain itu, hal itu juga merupakan pemanfaatan lahan lebih, karena jarak tanam kopi berjarak hampir dua meter.

Related News