Jeritan Hati Petani Sigi
“Luas lahan yang kami miliki tidak berdampak pada penghasilan kami. Karena, saat panen harga padi tak sesuai harapan, padahal segala daya dan upaya telah kami lakukan selama empat bulan musim tanam.”
SIGI - Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, merupakan salah satu daerah yang ditetapkan menjadi lumbung padi di Sulawesi Tengah.
Pasalnya, Sigi menjadi daerah penyuplai beras untuk beberapa kota dan kabupaten termasuk Kota Palu.
Meski demikian, hal itu tidak mendongkrak kesejahteraan petani.
Baca juga: Bertani Kopi di Lahan Kritis
Salah satu contohnya kesejahteraan petani di Desa Pakuli Utara, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.
Di Desa Pakuli Utara, salah satu tantangan utama mereka yaitu panjangnya mata rantai pengolahan dan distribusi beras.
Hal itu diakibatkan oleh ulah tengkulak yang banyak mengambil keuntungan.
Bahkan, para petani yang notabene merupakan masyarakat kecil, tidak punya kekuatan untuk menguasai mata rantai distribusi.
Ini karena tidak memiliki akses terhadap modal, teknologi, dan juga pengetahuan yang cukup.
Sehingga, harga jual gabah di tingkat petani pada musim panen.
Meski bencana gempa pada 28 September 2018 silam tak terlalu berdampak terhadap lahan pertanian mereka.
Namun, beberapa tahun terakhir mereka terus menjerit akibat harga jual dari tengkulak yang dinilai begitu rendah.
"Luas lahan yang kami miliki tidak berdampak pada penghasilan kami. Karena, saat panen harga padi tak sesuai harapan, padahal segala daya dan upaya telah kami lakukan selama empat bulan musim tanam," kata Ketua Kelompok Tani Harapan Jaya 2, Muhammad Irwan, belum lama ini.
Irwan menjelaskan, permainan tengkulak dan pihak penggilingan padi skala besar terus terjadi.
Pasalnya, ada keterikatan perjanjian ketika petani meminjam modal untuk digunakan di masa tanam.
Sehingga, hasil panen pun hanya bisa digunakan untuk membayar utang dan menyambung hidup sehari hari.
"Yah kondisi seperti ini terus terjadi, ketika musim tanam tiba, mereka terpaksa berutang lagi, baik ke bank maupun rentenir, jadi hidup kami ini hanya untuk membayar utang," ungkapnya.
Hal serupa juga dikatakan Nadra (43).
Ia mengaku, hingga saat ini harga gabah di tingkat petani begitu rendah.
Belum lagi mendapat potongan hasil karena berutang modal di masa tanam.
"Kita ambil uang pengolahan dari tempat pengolahan. Itu utang, pas panen kita dapat Rp325.000 per sak ukuran 50 kilogram. Tapi kalau di luar dari utang, Rp480.000 satu sak. Di sini macam-macam, kalau padi cinta nur, santana, sampai Rp500.000," sebutnya.
Kata dia, hampir rata-rata petani di Desa Pakuli hidup dengan berutang ketika masa tanam.
Hal itu terus mereka lakukan, karena penghasilan hanya habis untuk kebutuhan keluarga.
Baca juga: Untungnya Budidaya Ikan Nila
Belum lagi, harga pupuk yang terus mengalami kenaikan.
"Mau ambil uang pengolahan dari mana? Tidak ada modal sendiri. Apa biasa tebar bibit, nanti dua bulan setelah masa panen, kita tentu juga sudah kepepet. Jadi tinggal ambil uang pengolahan, ambil Rp2.000.000-3.000.000," ungkapnya.
"Alhamdulillah kami simpan memang untuk di makan beberapa karung. Sisanya dibawa ke penggilingan dan bayar utang, sisanya itu untuk kita," pungkasnya.