Prestasi Kehutanan Indonesia dalam REDD+
“Tujuan REDD+ adalah menghitung nilai dari karbon yang tersimpan di hutan.“
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar memaparkan prestasi Indonesia dalam Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) atau Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
Hal itu, ia paparkan setelah menghadiri rapat terbatas dengan tema ‘Kelanjutan Kerja Sama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia-Norwegia dan Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon’ di Istana Merdeka belum lama ini.
Baca juga: Mencari Solusi Permanen Atasi Karhutla
REDD+ merupakan langkah-langkah yang didesain untuk menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
REDD+ tidak hanya mencakup pengurangan gas rumah kaca, tetapi juga mencantumkan peran dari konservasi, manajemen hutan yang berkepanjangan, dan peningkatan stok hutan karbon.
Hal ini, juga akan membantu menurunkan tingkat kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Pada 2 Juli 2020 lalu, Pemerintah Norwegia mengatakan, akan membayar sebanyak USD56.000.000 atau sekitar Rp812.860.000.000 kepada Pemerintah Indonesia atas keberhasilannya menurunkan gas buang atau emisi karbon, penyebab pemanasan global.
Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral REDD+ (LoI) pada 2010.
"Tujuan REDD+ adalah menghitung nilai dari karbon yang tersimpan di hutan. Serta, menawarkan insentif bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari lahan hutan dan tertarik untuk berinvestasi di jalur rendah karbon dalam rangka pembangunan berkelanjutan," kata Siti dalam keterangannya melansir ANTARA belum lama ini.
Dari isi LoI tersebut, Indonesia sepakat untuk mengurangi emisi karbon dengan menciptakan lembaga pemantauan dan pembatasan penggunaan lahan baru, serta penegakan ketat dari UU tentang Kehutanan.
Sebagai gantinya, Pemerintah Norwegia akan membayar Pemerintah Indonesia hingga USD1.000.000.000, tergantung pada seberapa jauh target pengurangan emisi bertemu.
Menurut Siti, sejak masa pemerintahan Presiden Jokowi yang dimulai sejak 2014, sudah dilakukan sejumlah kebijakan untuk mengurangi emisi GRK.
"Kebijakan Bapak Presiden, seperti penanganan gambut, inpres moratorium area gambut dan hutan alam yang pertama dikeluarkan tahun 2011 diperpanjang setiap 2 tahun, yaitu 2013, 2015, 2017 dan 2019. Presiden setuju ini dipermanenkan, artinya sejak 2019 tidak boleh ada izin baru di hutan primer dan di lahan gambut," tuturnya.
Kemudian, pemerintah juga turut menangani kebakaran hutan dan lahan, penurunan deforestasi serta penegakan hukum.
"Penegakan hukum juga terus dilakukan dan periode 2016 hingga sekarang lebih kenceng dari sebelumnya. Ada juga energi angin di Sulawesi, 'electro mobility' kita sudah mulai, biofuel b-20, akan b-30, bahkan Presiden sudah mengarahkan ke b-80 dan kalau mungkin b-100," ungkap Siti.
Baca juga: Hutan dan Deforestasi Indonesia 2019
Prestasi lain yang disebutkan Siti, yaitu membangun sistem untuk mengontrol emisi GRK.
Atas prestasi itu, pada 2 Juli 2020 sudah ada 'joint consultation group' antara Indonesia dan Norwegia .
"Artinya, Indonesia terus konsisten terhadap komitmennya, ini perlu digarisbawahi, kenapa konsisten? Selain untuk kontribusi penurunan GRK dunia, tapi kita punya pasal 28 h UUD 1945 yang menegaskan warga negara punya hak untuk memperoleh lingkungan yang baik, kita harus terus bekerja," tutupnya.