Urban Farming, Solusi Lahan Terbatas
Tidak ada lahan untuk bertani? Temukan solusinya dengan urban farming.
YOGYAKARTA - Kalau sahabat tani mengunjungi kampung Sidodadi, Tompeyan, Yogyakarta, akan menemukan sesuatu yang berbeda. Ya, di setiap pekarangan warga Sidodadi terdapat tanaman padi yang ditanam di dalam kotak berukuran 20x60 cm dan mulai menguning, yang tandanya padi tersebut sudah mulai siap panen. Tak hanya padi, banyak juga tanaman sayuran dan bumbu dapur yang ditanam di dalam polybag yang berada tak jauh dari tanaman padi ini.
Langkanya lahan di perkotaan menjadi alasan Kelompok Tani Perkotaan Sidodadi untuk mencetuskan ide penanaman padi di pekarangan rumah ini. Selain minimnya lahan, konsep untuk mengembangkan “pangan lestari” juga turut andil dalam penggodokkan konsep padi di dalam boks ini.
Konsep pangan lestari merupakan konsep dari Kementerian Pertanian yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dengan memanfaatkan pekarangan rumah. Ada beberapa unsur, salah satunya yaitu karbohidrat. Pada awalnya, para warga Sidodadi belum menanam padi, melainkan hanya menanam umbi-umbian yang bukan makanan pokok mereka.
Seiring berjalannya waktu, Kelompok Tani Perkotaan Sidodadi mengembangkan ide untuk menanam padi di dalam kotak untuk menggantikan peran umbi-umbian sebagai unsur karbohidrat yang ditanam di pekarangan rumah. Jika dipikirkan, tidak mungkin bisa padi ditanam di pekarangan rumah tanpa adanya lahan.
Namun, warga Sidodadi membuktikan jika hal tersebut dapat diwujudkan. Eka Yulianta, Ketua Kelompok Tani Perkotaan Sidodadi mengungkapkan, jika media yang digunakan, semuanya dapat dicari di sekitar rumah dan mudah memprosesnya. “Media yang kita gunakan bukan dari tanah yang diambil dari sawah, namun medianya kita buat sendiri dar batang pisang yang dibusukkan, batang padi yang dibusukkan, dan juga kompos daun yang sudah diproses,” ungkapnya.
Setelah media sudah siap, bibit padi yang sudah siap tanam, yaitu berumur 7-10 hari, langsung dipindahkan ke media tersebut. Kelebihan penanaman padi dalam kotak ini yaitu kita dapat mengatur seberapa banyak air yang akan digunakan untuk mengairi padi tersebut dan dapat mengatur paparan sinar matahari yang dibutuhkan juga.
Selain dengan media buatan sendiri, di dalam kotak juga dilepaskan belut-belut yang berfungsi sebagai pemangsa jentik-jentik yang biasanya bersarang di kubangan air. “Di dalam kotak ini kita masukkan juga belut supaya nanti mereka akan makan jentik-jentik nyamuk. Kan kita tidak pernah tahu nyamuk apa itu, bisa jadi nyamuk DBD, itu bisa berbahaya,” kata Eka.
“Selain untuk makan jentik nyamuk, belut juga berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah karena lendir yang dihasilkan,” tambahnya.
Selain itu, padi yang ditanam di pekarangan rumah ini hanya perlu menunggu tiga bulan lamanya dan warga sudah dapat memanen hasilnya. Dalam sekali panen, gabah yang dihasilkan bisa mencapai 0,6 kg dalam satu kotak. Merawat padi ini sebaiknya cukup mudah.
Hanya perlu mengganti air dan mencabut rumputnya seminggu sekali dan pastikan padi tetap terkena sinar matahari yang cukup, hanya butuh ketelatenan saja. Selain perawatan yang harus telaten, pemilihan benih padi juga penting. Karena jika menggunakan yang membutuhkan waktu hingga empat bulan atau lebih, sangat tidak dianjurkan karena dikhawatirkan media tanamnya akan kehabisan nutrisi dalam jangka waktu yang lama.
Selain penanaman dan perawatan yang mudah, ada dua nilai plus dalam penggunaan padi dalam kotak ini. Pertama, nasi yang dihasilkan tidak cepat basi. Nasi yang dihasilkan dari padi dalam kotak ini bisa bertahan hingga dua hari dan tidak menimbulkan bau.
Kedua, ketika panen padi tiba, kita juga bisa memanen belut yang ada di dalam media tersebut. Saat ini, di Sidodadi sudah terdapat kurang lebih 1.500 kotak padi belut dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi warga sekitar.