Rasanya yang berbeda dengan kopi robusta pada umumnya, membuat kopi napu dicari oleh para penikmat kopi.
JAKARTA – Dua tahun belakangan ini Universitas Budi Luhur (UBL) Jakarta mulai mencuri perhatian para penikmat kopi dengan kopi napu. Kopi yang masih dikelola secara kecil-kecilan oleh warga Lembah Napu ini, dikenalkan saat menggelar acara Ngopi Bareng di Kelurahan Lolu, Kecamatan Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah. Rasanya yang berbeda dengan kopi robusta pada umumnya, membuat kopi napu banyak dicari oleh para penikmat kopi dari luar Sulawesi Tengah, khususnya Pulau Jawa.
Mahfud Rahman, penggagas kopi napu menjelaskan mengenai sejarah kopi yang memiliki rasa yang lembut kepada sahabat tani. “Kopi napu sejarahnya sebenarnya rada unik kalau. Sebenarmya bisa dibilang kopi konflik. Karena dia kan ada di dataran Lembah Napu. Nah, dataran Lembah Napu itu sudah lama dikuasai sama komplotannya si Susanto (terduga teroris) ini kan. Kalau di sana itu ketinggiannya kan dari 1.200 sampai 1.600. Benar-benar di atas bukitnya atau pegunungannya. Nah, itu enggak bisa lagi diambil karena sudah mulai lagi ramai, jadi kalau misalkan disebut napu karena ya dari namanya, Lembah Napu” ujarnya saat ditemui baru-baru ini
Mahfud juga bercerita, jika lahan di Bukit Napu itu sebenarnya luas, namun sejak dikuasai oleh komplotan teroris pimpinan Santoso, lahan di sana menjadi susah untuk digarap. Karena situasi itu, lanjutnya, banyak petani yang ketakutan untuk mengambil kopi di Bukit Napu. “Makanya saat kemarin situasi sudah mulai reda, beberapa petani sempat mengambil biji kopi, tapi itu juga hanya dari sekian ribu pohon, karena seleksi alam yang yang didiamkan begitu saja, jadi hanya beberapa ratus pohon saja yang selamat,” tutur mahfud
Kalau dari rasanya, menurut Mahfud, kopi napu memang memiliki perbedaan, itu karena kopi ini ditanam di ketinggian 1.200. Kopi napu, lanjutnya, disebut sebagai fine robusta karena berada di ketinggian 800-2.000 meter. ”Jadi, kalau misalnya di bawah itu pertumbuhannya udah enggak bagus. Bisa jadi dia enggak berbuah nantinya. Nah, beda sama robusta yang mungkin punya daya tahan tubuh yang beda sama arabika,” jelasnya.
Mahfud juga menjelaskan jika harga kopi napu sama dengan kopi robusta lainnya, yang menjadi pembeda yaitu ongkos kirim dari Sulawesi Tengah dibanding dari Jawa maupun Sumatera. Saat ini, harga kopi napu mencapai 75.000/kg yang sudah termasuk ongkos kirimnya. Sebenarnya, lanjut Mahfud, kopi-kopi yang berasal dari Sulawesi sudah lama hadir di Jawa, namun kehadirannya masih kalah dibandingkan dengan cokelat yang terlebih dahulu sudah ditanam di Palu dan sekitarnya.
Menurutnya, baik cokelat maupun kopi napu juga memiliki musuh bersama, yaitu hama atau disebut juga kanker yang biasanya menimbulkan warna kehitaman di biji kopi maupun cokelat. Selain itu, ada juga penyakit tanaman bernama “broka”, broka sendiri merupakan serangga yang menaruh larva di biji kopi yang masih muda dan menyerang biji kopi dan kakao yang membuatnya jadi rusak.
Mahfud juga fokus terhadap budidaya kopi napu, buktinya ia juga mengkritisi pola budidaya kopi di Palu yang menurunya format penanamannya seperti ladang. “Padahal, sebetulnya pola seperti itu salah, tidak seperti itu. Aslinya kan pohon kopi itu dari hutan, jadi dia butuh penaung atau peneduh. Ketika dia ditanam dengan format ladang yang langsung terpapar sinar matahari, hasilnya jadi enggak bagus. Jadi banyak yang rusak, nah itu berpengaruh ke biji kopi nya nanti yang akan berwarna hitam dan bolong-bolong,” tutupnya. (Annisa Bidari)