• 25 November 2024

Teknologi Penyelamat Petani Afrika

uploads/news/2019/10/teknologi-penyelamat-petani-afrika-76895b8ca1fc9e7.jpg

Teknologi ini mampu menunjukkan potensi peningkatan panen lewat retensi air dan akumulasi bahan organik yang membuat tanah lebih subur.

ZIMBABWE - Kondisi lahan para petani di seluruh sub-Sahara Afrika diprediksi memburuk, walau demikian mereka tetap mencoba menumbuhkan tanam di tanah berpasir yang tidak ideal untuk menampung air dan nutrisi. Apa lagi, secara tradisional, mereka tetap membutuhkan lebih banyak pupuk dan menggunakan tradisi. Sayangnya, mereka tidak memiliki kedua pilihan itu karena membutuhkan akses ke sumber daya dan infastruktur.

Kabar baiknya, saat ini muncul teknologi yang relatif baru yang sedang diterapkan oleh delapan negara Afrika dan saat ini sedang diuji coba oleh Zimbabwe. Dengan teknologi itu mampu menunjukkan potensi meningkatkan panen lewat peningkatan retensi air dan akumulasi bahan organik untuk membuat tanah lebih subur.

Teknologi ini sendiri terdiri dari strip panjang membran polietilen yang dipasang dalam bentuk U di bawah dan di dekat zona akar tanaman. Teknologi ini juga dikenal sebagai teknologi air bawah permukaan (SWRT), membran ini sebagian besar juga telah digunakan di tanah yang berbeda di wilayah lain.

Untuk pertamakalinya, teknologi ini digunakan oleh negara-negara Afrika dan diperkirakan jika SWRT dapat meningkatkan hasil jagung di delapan negara Afrika mendekati 50% dan mampu menangkap sekitar 15 juta ton karbon dalam 20 tahun.

“Dengan teknologi baru ini, tanah berpasir memiliki potensi untuk memimpin revolusi hijau baru," kata George Nyamadzawo, seorang profesor di Universitas Bindura di Zimbabwe seperti dilansir Scitechdaily.

Para peneliti juga menyebut jika teknologi sederhana ini digunakan dan diadopsi dalam skala besar, dapat mengatasi masalah yang sering dihadapi petani Afrika, termasuk ketahanan pangan dan pola curah hujan yang tidak menentu. Selain itu, dalam studi yang dipublikasikan di Frontiers in Sustainable Food Systems pada September lalu, menyebut jika teknologi ini juga dapat membantu negara-negara yang ingin memenuhi target mitigasi perubahan iklim.

“Kita harus menolak untuk membiarkan tanah berpasir membatasi petani kecil dari mencapai potensi penuh mereka. Di daerah kering dan semi kering dengan tanah yang buruk, komunitas petani kecil terus menderita karena kemiskinan berbasis tanah. Penelitian kami menunjukkan SWRT memiliki potensi untuk mengubah ini secara efektif tanpa berulang ke solusi tradisional dan berpotensi mahal,” kata Ngonidzashe Chirinda, seorang peneliti di Pusat Internasional untuk Pertanian Tropis (CIAT) yang ikut menulis penelitian ini. 

Untuk penelitian ini, SWRT akan digunakan untuk delapan negara Afrika Selatan dan Afrika timur yang kontur tanahnya berpasir seperti Angola, Botswana, Kenya, Namibia, Mozambik, Afrika Selatan, Tanzania, dan Zimbabwe Tujuan utama dari penelitian ini sendiri yaitu mengadopsi SWRT dan memperkirakan peningkatan hasil jagung, biomassa tanaman, dan penyerapan karbon tanah.

Dalam penelitian ini para penulis merupakan imuwan dari Universitas Swedia Ilmu Pengetahuan Pertanian (SLU), di Swedia; Universitas Pertanian dan Teknologi Jomo Kenyatta, di Kenya; Universitas Teknologi Cape Peninsula, di Afrika Selatan; Universitas Pendidikan Sains Bindura, di Zimbabwe; dan Michigan State University (MSU), di Amerika Serikat.

“Potensi manfaat jelas dengan teknologi baru seperti SWRT, tetapi ada kebutuhan untuk mengatasi hambatan non-teknis; ini membutuhkan dukungan dari pembuat keputusan yang dapat menerapkan kebijakan dan mekanisme keuangan yang diperlukan untuk mendukung adopsi petani. Teknologi serupa harus diuji dan disesuaikan dengan kondisi petani kecil untuk menyelesaikan tantangan produktivitas di tanah berpasir,” kata Libère Nkurunziza, penulis utama dan peneliti di SLU. 

Dengan menggunakan data yang dikumpulkan di wilayah tempat SWRT telah diuji, para peneliti membuat proyeksi mereka mengenai Afrika. Teknologi ini sendiri sekarang sedang diuji di Zimbabwe, melalui proyek yang pimpin SLU dan didanai oleh Dewan Riset Swedia, yang juga disebut Productive Sands.

“WRT inovatif jangka panjang baru akan memimpin jalan untuk memodifikasi tanah yang paling membantu ketahanan tanaman terhadap perubahan iklim dan pola cuaca yang terkait, memungkinkan petani kecil tanah berpasir untuk membangun pasokan makanan bergizi yang masuk akal dan pendapatan tahunan di semua negara,” ujar Alvin Smucker, dari MSU dan salah satu pelopor teknologi.

"Kontribusi luar biasa ini merupakan contoh hebat lainnya tentang perlunya meningkatkan investasi publik dan swasta dalam penelitian terapan tentang praktik agronomi baru dan khususnya yang berfokus pada pengelolaan kesuburan tanah sebagai cara yang efektif dan efisien untuk mengamankan produksi pangan serta menyerap karbon, " tutup Ruben Echeverría, Direktur Jenderal CIAT. (Annisa Bidari)

 

Related News