“Daripada nanti diburu-diburu, tapi tidak pernah dibudidayakan, lama-lama kan habis. Kita memberi contoh, boleh memakan rusa, tapi hasil dari budidaya penangkaran namanya dan kita juga melatih masyarakat bagaimana menangkarkan rusa.”
BOGOR - Di Indonesia, rusa terdapat beraneka jenis seperti, rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak).
Para peneliti dari beberapa wilayah di Indonesia pun mulai melakukan riset.
Baca juga: Mengintip Isi Hutan Penelitian Dramaga
Seperti yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Hutan Penelitian Dramaga.
Di hutan yang berada di wilayah Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, terdapat penangkaran rusa bernama Pusat Teknologi Pengembangan Penangkaran Rusa.
“Penangkaran Rusa mulai di sini tahun 2008, tapi penelitian penangkaran rusa sendiri jauh sebelumnya sudah ada, tapi di Hutan Penelitian Haurbentes, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor,” Prof. Dr. Hendra Gunawan Foranda, Peneliti Utama Pusat Litbang Hutan.
“Karena lokasinya jauh, kita sulit kontrol, terus aspek manfaatnya juga kurang. Karena kalau orang mau ke sana harus menempuh perjalanan yang sulit, masyarakat tidak bisa menikmati, akhirnya kita pindah kesini,” lanjutnya.
Prof. Hendra menyebut, di Hutan Penelitian Dramaga terdapat tiga jenis rusa yaitu, rusa timor, rusa sambar dan rusa bawean.
Satwa pemakan rumput, buah-buahan, dan dedaunan tersebut, juga diberi umbi-umbian yang berguna untuk menambah gizi.
Konservasi satwa langka ini dilakukan untuk melindungi dan memperbanyak jumlahnya.
Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, rusa khususnya rusa timor berada, berada dalam status rentan punah atau endangered.
Populasi rusa timor secara keseluruhan diperkirakan berjumlah sekitar 10.000 hingga 20.000 ekor dewasa.
Ancaman utama terhadap rusa timor, berasal dari perburuan yang dilakukan oleh manusia untuk mengambil dagingnya.
Penurunan populasi, juga diakibatkan oleh berkurangnya lahan dan padang penggembalaan (padang rumput) di kawasan hutan yang menjadi habitat rusa timor.
Hilangnya padang rumput ini ada yang diakibatkan oleh konversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman.
Selain itu, juga disebabkan oleh kesalahan pengelolaan seperti penanaman pohon yang kemudian merubah padang rumput menjadi hutan semak, seperti yang pernah terjadi di Taman Nasional Baluran.
Sementara itu, keberadaan rusa bawean juga semakin terancam punah di habitat aslinya.
Pada akhir 2008, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah populasi rusa bawean hanya berkisar 400-600 ekor.
Sedangkan menurut IUCN (2006), satwa endemik yang mulai langka ini diperkirakan hanya berjumlah sekitar 250-300 ekor yang tersisa di habitat asli.
Populasinya yang sangat kecil dan kurang dari 250 ekor spesies dewasa, membuat IUCN Redlist sejak 2008 memasukkan rusa bawean dalam kategori “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau “Sangat Terancam Kepunahan”.
Selain itu Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) juga mengategorikan spesies ini dalam daftar “Appendix I”.
Sementara kijang termasuk satwa yang dilindungi dalam PP No. 7 Tahun 1999, tetapi berdasarkan populasinya dianggap belum terancam kepunahan.
Oleh IUCN Redlist, kijang dikategorikan dalam status konservasi “Least Concern” atau “Resiko Rendah” sejak 1996.
“Daripada nanti diburu-diburu, tapi tidak pernah dibudidayakan, lama-lama kan habis. Kita memberi contoh, boleh memakan rusa, tapi hasil dari budidaya penangkaran namanya dan kita juga melatih masyarakat bagaimana menangkarkan rusa,” ucapnya.
“Rusa timor itu paling mudah dibudidayakan paling mudah diternakkan, ia rajin beranak contohnya aja ya penangkaran di pertamina itu modal lima pasang, ini belum tiga tahun udah jadi 26 ekor jadi ia termasuk yang rajin beranak,” lanjutnya.
Awalnya, jumlah awal rusa yang ada di penangkaran tersebut sekitar 20 ekor dan kini semakin berkembang menjadi 60 ekor, yang kemudian di distribusikan ke beberapa tempat penangkaran lainnya.
“Kapasitas di sini kan terbatas kapasitas kandangnya, karena sebenarnya kalau dikandangkan rusa itu paling enggak satu ekor butuh sekitar 18 meter persegi supaya dia sejahtera. Kalau kita mengandangkan rusa di tempat sempit, tidak sejahtera, tidak happy. Kan kalau tidak happy tuh biasanya kurus, malas beranak,” ucapnya.
Baca juga: Pelepasliaran Banteng Hasil Perkembangbiakan Eksitu
Prof. Hendra juga menjelaskan, saat ini ia sedang menjalankan penelitian tentang populasi rusa jantan yang lebih banyak dibanding betina.
“Kalau jantannya lebih banyak, pengembangbiakannya jadi terhambat. Karena, yang bisa beranaknya sedikit, idealnya satu ekor jantan bisa mengawini empat sampai lima betina, itu bagus. Nah ini terbalik, empat jantan satu betina, jadi jantannya berantem rebutan betina, betinanya juga beranak hanya bisa satu,” tutupnya.