Cegah Demam Babi Afrika
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada babi yang diternakan, juga dapat menulari babi liar.
JAKARTA - Kementerian Pertanian lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerja sama dengan instansi terkait serta Badan Pangan dan Pertanian (FAO) terus memperkuat kolaborasi dalam menanggapi kemungkinan terjadinya penyakit demam babi Afrika (ASF) di Indonesia. Hal ini didasari dengan sudah mewabahnya virus ASF di China, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, dan Timor Leste.
Hal itu diungkapkan Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PHK, Fadjar Sumping, belum lama ini lewat keterangan resminya. Menurutnya, ASF merupakan penyakit virus menular yang menyerang babi. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada babi yang diternakkan (domestikasi), juga dapat menulari babi liar yang tetap tahan dan dapat menjadi reservoir virus.
Penyakit babi sendiri dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada sektor peternakan babi. Selain itu, virus ASF juga dapat menyebar dengan mudah, baik melalui kontak langsung dengan babi maupun ektoparasit (caplak) yang terkontaminasi, pemberian pakan babi yang berasal dari sisa daging babi atau produk olahannya yang tidak dimasak sempurna, materi pembawa (fomites) termasuk pekerja, pengunjung, petugas, peralatan peternakan, dan kendaraan serta pakan mentah yang terkontaminasi.
Untuk menilai potensi risiko masuk dan menyebarnya ASF di Indonesia, Fadjar mengungkapkan jika Kementan sebelumnya telah melakukan pertemuan antar sektor tingkat daerah dan nasional di Sumatera Utara pada 7-8 Oktober 2019. Pertemuan ini sendiri bertujuan untuk merancang rekomendasi mitigasi risiko pengendalian kasus apabila terjadi nantinya.
Berbagai sektor dari lingkup Kementan seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, serta Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, bersama dengan pemerintah daerah di Sumatera Utara, pihak bandara, pelabuhan, dan peternak babi ikut serta melakukan analisis risiko dan estimasi risiko dari wabah ASF.
“Risiko terjadinya ASF harus kita petakan dan nilai, sehingga Indonesia siap untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mencegah masuknya penyakit, dan juga siap untuk mengendalikan apabila nanti terjadi,” ungkapnya.
Selain itu, Fadjar juga menjelaskan jika mitigasi risiko yang efektif, komprehensif dan terintegrasi antar sektor terkait merupakan kunci untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ASF di Indonesia. Menurut Fadjar, langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk tim surveilans untuk melakukan pengawasan dan respon penyakit secara partisipatif bersama masyarakat dengan edukasi, pendampingan, dan penyeliaan peternak/rumah tangga peternak babi.
Fadjar juga menyampaikan pentingnya melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada bupati/walikota untuk penerbitan peraturan bupati/walikota untuk pembatasan lalu lintas babi dan produk babi, penutupan wilayah serta mengupayakan dana tanggap darurat pada pemerintah kabupaten/kota.
“Kita juga harus melakukan tindakan mencegah masuknya ASF ke wilayah dan peternakan yang belum tertular dengan memperketat kebijakan impor, dan mengontrol setiap produk babi yang masuk ke Indonesia,” tambahnya.
Selain itu, diperlukan juga program komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) untuk peningkatan pengetahuan yang baik di kalangan peternak dan masyarakat umum terutama di daerah dengan populasi babi yang banyak. Hal penting lain menurut Fadjar yaitu pentingnya pemahaman mengenai ASF dan penerapan biosekuriti yang ketat dan berkelanjutan oleh peternak babi dan peternak komersial. Hal ini dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui bimbingan teknis terstruktur.
“Pemerintah daerah juga harus mulai mengidentifikasi dan meregistrasi pedagang/pengepul dan pemotong babi serta alat angkut yang digunakan. Hal ini diperlukan agar tidak ada kontaminasi oleh virus ASF dan mengurangi risiko penularan/penyebatan,” jelasnya.
Untuk menghindari keresahan masyarakat terhadap bahaya ASF, Fadjar pun menegaskan jika penyakit ini tidak berbahaya bagi manusia atau bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat (non-zoonosis). Meski demikian, virus ini dapat bertahan lama dalam suhu dingin maupun panas dan relatif tahan terhadap disinfektan serta sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif melawan virus ASF.
“Setelah babi terinfeksi, cara paling efektif untuk mencegah penyebaran adalah dengan memusnahkan populasi babi yang tertular,” pungkasnya.