• 21 May 2024

Jalak Bali Bangkit Kembali

uploads/news/2020/10/jalak-bali-bangkit-kembali-27686f5eee7f118.jpg

DENPASAR - Indonesia memiliki aneka ragam fauna endemik yang mendiami suatu wilayah tertentu dan tidak dapat ditemukan di wilayah lainnya.

Fauna khas tersebut kerap kali dijadikan maskot atau patung khas daerah yang bersangkutan.

Dengan alasan yang sama, fauna endemik sering juga menjadi buruan banyak orang.

Salah satu fauna endemik ikonik yaitu jalak bali yang resmi menjadi maskot fauna Bali sejak 1910.

Baca juga: Arti Sebenarnya Janur Kuning

Burung yang oleh warga lokal disebut “curik putih” ini memiliki ciri fisik yang mudah dikenali.

Bulunya berwarna putih dengan jambul indah yang disebut surai, sementara bola matanya berwarna cokelat tua, daerah kelopaknya tidak memiliki bulu, dan kelopaknya berwarna biru, sementara ujung ekornya berwarna hitam.

Ukurannya cenderung kecil dengan panjang tubuh sekitar 21-25 sentimeter saat dewasa.

Ditambah, kicauan merdunya yang terdengar bersamaan dengan menegaknya jambul.

Habitat asli burung dengan nama latin Leucopsar Rothschild ini berada di ketinggian 210-1.144 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan lingkungan yang dikelilingi banyak pohon dan air seperti hutan pantai, hutan mangrove, hutan savana, hutan rawa, dan hutan dataran rendah.

Status kelangkaan jalak bali

Populasi jalak bali yang signifikan menurun disebabkan faktor alami dan non-alami.

Faktor alami berupa, adanya predator alami, penyakit, dan satwa pesaing yang memperebutkan tempat hidup atau makanan, bencana alam, dan mati saat usia jalak bali sudah tua.

Namun yang paling mengancam menyempitnya populasi jalak bali yaitu faktor non-alami, yang disebabkan oleh ulah manusia.

Seperti, perburuan liar yang berujung pada ketidakseimbangan jumlah jantan dan betina, deforestasi, dan pertambahan penduduk yang menggusur habitat hewan ini.

Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, ruang hunian atau biasa dikenal dengan home ring satwa ini tidak lebih dari 1.000 hektare.

Bahkan, ancaman kepunahan terhadap burung jalak bali dimasukkan ke dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Menurut CITES, jalak bali termasuk kategori Appendix I, artinya satwa ini tidak boleh diperdagangkan dan dilarang untuk mengambil dan memperjualbelikannya karena terancam punah.

Sementara menurut IUCN, jalak bali termasuk dalam kategori ‘kritis’ (critically endangered), yang berarti terdapat risiko besar yang dialami jalak bali terhadap kepunahan dalam waktu dekat di alam liar.

Oleh sebab itu, pemerintah setempat pun melakukan beberapa hal untuk menekan populasi jalak bali yang merosot tajam.

Diantaranya dengan menetapkan burung ini sebagai satwa liar yang dilindungi undang-undang melalui perlindungan hukum Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 tanggal 26 Agustus 1970.

Perlindungan hukum lainnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Jalak Bali yang menyebutkan larangan perdagangan satwa kecuali hasil dari penangkaran generasi ketiga atau bukan berasal dari indukan burung alam.

Selain itu, ada juga metode in-situ dan ex-situ.

In-situ yaitu pelestarian atau konservasi yang dilakukan di habitat aslinya, salah satunya ada di Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Adapun ex-situ yaitu metode pelestarian atau penangkaran burung di luar habitat aslinya, salah satu tempat yang melakukan ex-situ yaitu Bali Bird Park yang bertempat di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat, Agus Ngurah Krisna, menjelaskan sebab dan akibat semakin sedikitnya populasi jalak bali.

Faktor kepunahan Jalak Bali terbesar memang perburuan liar dan faktor alam. Dulu tahun 1970-an, jalak bali biasa hidup di kebun-kebun warga dari Seririt Buleleng hingga Melaya, Jembrana. Kemudian pertumbuhan pemukiman dan pembangunan membuat jalak bali terdesak hingga habitat yang tersisa hanya di TNBB. Maka dari itu, TNBB melakukan berbagai cara untuk melestarikan burung khas Bali ini,” jelasnya kepada Jagadtani.id belum lama ini.

Usaha TNBB pun menghasilkan kabar baik yang ditunggu-tunggu.

Pada 1974, populasi jalak bali di alam liar tercatat berjumlah 112 ekor, bahkan menyentuh angka 0 pada 2006.

Di 2015, titik balik peningkatan jumlah jalak bali mulai bertambah sejumlah 57 ekor.

Pada 2019 berjumlah 256 ekor dan puncaknya pada 2020 berjumlah 303 ekor yang sebagian dilepasliarkan ke alam.

Pada Juni 2020 lalu, TNBB berhasil melepasliarkan 52 burung jalak bali dan hal tersebut diklaim merupakan prestasi terbaik yang dicapai sejak 1975 lalu.

Restocking populasi melalui pelepasliaran burung hasil penangkaran, menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan populasi di alam. Selain itu, sekarang sudah ada izin untuk menangkarkan burung jalak bali secara legal untuk membantu pelestarian dan membuka kesempatan untuk mata pencaharian warga. Nanti, pemerintah akan membantu perizinannya melalui BKSDA,” ucapnya.

Baca juga: Gurih Rumput Laut Nusa Lembongan

Sekedar info saja, harga sepasang burung jalak bali pada awal 2000-an mencapai Rp30.000.000. Sementara, sejak diizinkannya penangkaran legal, harga per pasangnya mulai dari Rp3.300.000.

Bagaimana pun, tahun ini menjadi tahun yang berkesan bagi populasi jalak bali di tempat ikonisnya.

Apa yang menjadi titik balik dari keberhasilan peningkatan populasi burung jalak bali di alam tidak terlepas dari sinergitas di luar habitat dan di dalam habitat,” tutupnya. 

Related News