• 23 November 2024

Menantikan Masa Depan Daging Buatan

uploads/news/2020/12/menantikan-masa-depan-daging-28880404c6c3dee.jpg

Jadi memang sangat wajar jika pemenuhan akan daging ini harus dilakukan. Tidak saja melalui sistem peternakan komersil yang ada saat ini, namun juga melalui berbagai alternatif lain seperti misalnya daging buatan.”

JAKARTA - Lampu hijau telah diberikan Pemerintah Singapura kepada perusahaan rintisan Amerika Serikat, Eat Just, unutk menjual daging ayam yang dibudidayakan di laboratorium.

Jika benar disetujui, maka hal tersebut menjadi regulasi pertama di dunia untuk “daging bersih yang tidak berasal dari hewan yang disembelih.”

Daging yang dijual akan berbentuk nugget dan akan dihargai setara dengan harga ayam premium.

Baca juga: Alasan Daging Sapi Australia Berkualitas

Menurut salah satu pendiri dan CEO Eat Just, Josh Tetrick, daging ayam tersebut akan diluncurkan di salah satu restoran di Singapura dalam waktu terdekat.

Peluncuran daging buatan tersebut menjadi jawaban atas permintaan alternatif lain dari daging biasa, karena kekhawatiran mengenai kesehatan, kesejahteraan hewan, dan lingkungan.

Pengganti nabati juga dipopulerkan oleh sejumlah perusahaan seperti Beyond Meat, Impossible Foods, dan Quorn.

Hal itu terlihat dari makin banyaknya daging buatan di rak supermarket dan menu restoran.

Namun, daging buatan yang berasal dari sel otot hewan yang ditanam di laboratorium masih dalam tahap awal, mengingat biaya produksinya yang tinggi.

Singapura, negara dengan penduduk sebanyak 5,7 juta jiwa, saat ini hanya mampu menghasilkan sekitar 10% produktivitas makanan.

Karena itu, Pemerintah Singapura pun sudah menetapkan rencana ambisiusnya untuk meningkatkan produktivitas makanan dengan mendukung pertanian berteknologi tinggi dan cara baru memproduksi makanan.

Tetrick menyebut, perusahaan yang berbasis di San Fransisco itu sebelumnya juga sudah berbicara dengan Pemerintah AS, namun menurutnya Singapura “sedikit lebih baik” daripada AS.

Saya membayangkan apa yang akan terjadi adalah, AS, Eropa Barat, dan lainnya akan melihat apa yang Singapura dapat lakukan, kerasnya kerangka kerja yang mereka susun. Saya akan membayangkan, mereka akan menggunakannya sebagai contoh untuk menyusun kerangka mereka sendiri,” ujar Tetrick kepada Reuters seperti melansir ANTARA belum lama ini.

Eat Just mengatakan, mereka juga akan memproduksi produk tersebut di Singapura.

Selain itu, mereka juga brencana untuk mulai membuat pengganti telur berbahan dasar kacang hijau yang sebelumnya telah dijual secara komersial di AS.

Eat Just sendiri didirikan pada 2011 dengan didukung oleh pengusaha asal Hong Kong, Li Ka-shing dan investor asal Singapura, Temasek.

Tetrick menyebut, perusahaannya telah mengumpulkan lebih dari USD300.000.000 sejak awal dan kini bernilai sekitar USD1,2 miliar.

Secara internasional, perusahaan tersebut telah mengujicoba pembuatan daging ikan, sapi, dan ayam di laboratorium.

Mereka pun berharap dapat menembus segmen pasar daging alternatif, yang diperkirakan Barclays, bank asal Inggris, dapat bernilai USD140 miliar pada 2029.

Di sisi lain, Badan Pangan Singapura (Singapore Food Agency/SFA) mengatakan, mereka telah meninjau data yang berkaitan dengan proses, kontrol manufaktur, dan menguji keamanan sebelum memberikan persetujuan.

Demi memenuhi protein hewani

Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Fakultas Peternakan, Prof. Ronny R. Noor mengatakan jika isu daging buatan tidak dapat dikesampingkan.

Menurutnya, fenomena tersebut terkait erat dengan pemenuhan protein hewani yang menjadi masalah di masa depan.

Apalagi, pada 2050 nanti, diperkirakan penduduk dunia akan mencapai 9 miliar jiwa.

Dengan tingkat produktivitas yang telah dicapai saat ini, dunia hanya mampu memberi makan untuk sekitar 8 miliar jiwa.

Ia menyebut, di tengah tekanan peningkatan penduduk dunia, industri peternakan harus meningkatkan produksi daging sekitar 65% di 2020 untuk memenuhi kebutuhan daging dunia.

Jadi memang sangat wajar jika pemenuhan akan daging ini harus dilakukan. Tidak saja melalui sistem peternakan komersil yang ada saat ini, namun juga melalui berbagai alternatif lain seperti misalnya daging buatan,” ujarnya dalam keterangan resmi IPB university.

Prof. Ronny juga menyatakan, isu terkait daging buatan bukanlah sesuatu yang baru.

Bukan barang baru

Era daging buatan sudah dimulai pada 1998 lalu, ketika Jon Vein mempatenkan daging buatan yang dikembangkan di laboratorium dengan menggunakan teknik kultur sel dan jaringan, untuk tujuan konsumsi manusia.

Sejak saat itu daging buatan mendapat perhatian dan teknologinya mengalami perkembangan yang pesat.

Bahkan di 2009, majalah TIME menjuluki daging buatan sebagai terobosan besar.

Pada 2013 lalu, perhatian dunia pun terpusat pada pengumuman keberhasilan pembuatan burger berbahan daging buatan pertama yang ditumbuhkan dengan menggunakan kultur jaringan di laboratorium dengan total biaya penelitian dan pengembangan mencapai USD300.000.

Keberhasilan ini tentunya membawa imajinasi masyarakat, jika nantinya kemungkinan daging buatan akan dapat menggantikan peran daging tradisional yang didapat dengan cara beternak.

Perkembangan teknologi daging buatan memang sangat pesat. Sebagai contoh di tahun 2015 Maastricht University melakukan konferensi internasional pertama yang khusus membahas perkembangan teknologi daging buatan ini,” imbuhnya.

Di 2018 lalu, salah satu perusahaan bernama Meattable juga menyatakan akan memproduksi daging buatan secara komersil yang dikembangkannya melalui teknologi kultur jaringan yang berasal dari tali pusar ternak.

Melalui pengamatan perkembangan teknologi, daging buatan umumnya dapat dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu daging alternatif (alternative meat) yang umumnya dibuat dengan menggunakan sumber protein dari tanaman dan jamur atau yang disebut juga dengan mycoprotein.

Sedangkan kelompok kedua dinamakan daging substitusi (meat substitute) atau dikenal juga dengan in vitro meat yang dibuat berbasis pengkulturan sel dan jaringan di laboratorium.

Kelompok ketiga melibatkan rekayasa blueprint genetik ternak untuk menghasilkan daging dengan spesifikasi tertentu, yang biasanya disesuaikan dengan keinginan konsumen atau pun kebutuhan kesehatan.

Kategori keempat didapat dengan cara melakukan kloning dengan menggunakan teknologi somatic cell cloning, yaitu menggandakan ternak dengan cara men-copy ternak untuk menghasilkan ternak lainnya tanpa melalui teknik perbuahan alami untuk memproduksi daging dengan spesifikasi dan kualitas tertentu.

Dalam pemenuhan kebutuhan daging di dunia, menurut Prof Ronny, harus dicari alternatif lain selain yang sudah dilakukan saat ini.

Termasuk, mencari alternatif sumber protein lainnya, seperti, protein yang berasal dari tanaman, jamur, ganggang dan juga serangga, yang semuanya memiliki kandungan protein yang tinggi dan bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Prof. Ronny juga berpendapat, sangat wajar jika banyak kalangan yang berpendapat jika keberadaan daging buatan dapat mengurangi risiko kita tertular penyakit dari ternak.

Meski begitu, menurutnya harus memperhatikan dampak positif dan negatif dari keberadaan teknologi ini.

"Secara teoritis proses pembuatan daging buatan memang memerlukan kontrol proses dan lingkungan yang sangat ketat dan berdampak pada pengurangan tingkat kontaminasi dan bakteri pathogen yang ditularkan melalui makanan seperti Salmonella dan E. Coli,” jelasnya.

Namun demikian, dalam melakukan kultur sel dan jaringan, dampak negatifnya tidaklah dapat 100% dikontrol secara pasti, karena melibatkan proses biologi yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, sesuatu yang berdampak negatif dapat saja terjadi walaupun prosesnya sudah dikontrol secara ketat, " tambahnya.

Menurutnya, kekhawatiran sel mengalami modifikasi melalui proses epigenetic, tetap saja dapat terjadi selama proses pengkulturan jaringan dan bisa saja berdampak negatif pada metabolisme serta kesehatan manusia.

Terkait dengan kemungkinan beredarnya daging buatan di Indonesia, Prof. Ronny berpendapat, konsumen umumnya akan membeli daging dengan bentuk, warna, dan tekstur yang sudah biasa dikonsumsi.

Karena itu, hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi produsen daging buatan untuk membuat daging buatan yang mirip dengan daging yang ada di pasaran.

Tantangan lain yang akan dihadapi oleh daging buatan ke depan menurutnya yaitu, aturan dan sertifikasi yang harus secara jelas menyatakan jika daging buatan itu aman untuk dikonsumsi, tidak membahayakan kesehatan, dan harus halal.

Di pasaran, daging buatan harus dapat bersaing dengan daging tradisional dari segi penerimaan konsumen, rasa, dan tekstur.

Sehingga menurutnya saat ini daging buatan berbasis protein tumbuhan masih sangat terbatas, seperti misalnya untuk vegetarian.

Saat ini dunia peternakan yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan animal welfare memang menjadi keharusan. Perkembangan teknologi peternakan ke depan mamang harus mengakomodasi isu ini,” jelasnya.

Ia mencontohkan, Uni Eropa di abad 21 mendatang akan menerapkan konsep agroecology dan industrial ecology dalam dunia peternakan.

Melalui konsep ini, peternakan hanya akan menggunakan jenis ternak yang telah diseleksi dan dikembangkan selama ratusan tahun dan dinilai cocok pada lingkungan peternakan dan juga sistem produksi yang akan diterapkan.

Baca juga: Mengolah Daging Kurban yang Benar

Dengan visi baru ini, ia berharap industri peternakan mendatang diharapkan akan lebih ramah lingkungan dan juga memperhatikan dengan baik animal welfare yang menjadi kunci industri peternakan masa depan.

Arah perbaikan industri peternakan dalam menghasilkan susu, daging dan telur yang ramah lingkungan ini memang menjadi keharusan, mengingat peternakan akan tetap menjadi tulang punggung dunia dalam pemenuhan akan protein hewani,” ujarnya.

Ke depan diperkirakan walaupun teknologi daging buatan akan terus berkembang dan tingkat penerimaan konsumen meningkat, namun peran daging tradisional tidak akan pernah tergantikan,” tutupnya.

Related News