Kebangkitan Vietnam dari Virus ASF
Akibat adanya wabah demam babi afrika (ASF) industri perternakan lumpuh, sehingga Vietnam berencana untuk membangun kembali industri pertanian.
JAKARTA - Setelah berperang melawan wabah demam babi afrika (ASF) yang membuat industri peternakan Vietnam lumpuh.
Vietnam akhirnya memutuskan mengimpor 20.000 babi dari Thailand demi membangun kembali industri peternakan yang sempat lumpuh.
Wabah ASF sendiri pertama kali ditemukan di Vietnam pada Februari 2019.
Akibat penyakit itu, pemerintah Vietnam memutuskan untuk memusnahkan sekitar enam juta babi atau 20% dari total babi ternak di Vietnam.
Langkah itu pun menyebabkan naiknya harga babi dan menekan nilai inflasi.
Walau penyakit tersebut tidak berbahaya bagi manusia, namun ASF sangat mematikan bagi babi.
Apalagi, hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada vaksin untuk mencegah ASF.
Setelah wabah ASF mulai menghilang, Vietnam memutuskan mengimpor 250 ekor babi dari Thailand pada tahap pertama.
Mengutip ANTARA, dari Vietnam News Agency (VNA), Wakil Menteri Pertanian Vietnam, Phung Duc Tien berharap, ratusan babi itu akan bereproduksi pada akhir tahun ini.
Pemerintah Vietnam juga mengatakan, babi ternak itu diimpor dari kisaran harga 13 juta sampai 15 juta dong Vietnam atau sekitar Rp8,3 juta sampai Rp9,5 juta.
Tien menjelaskan, perusahaan di Vietnam juga telah mengajukan izin mengimpor total 110.000 babi ternak tahun ini.
Pada Maret lalu, Pemerintah Vietnam mengatakan, inflasi dapat mencapai 4,22% pada tahun ini, apabila harga daging babi turun.
Pasalnya, daging babi menguasai tiga perempat dari total konsumsi daging di Vietnam.
Sejarah Virus ASF
Demam babi afrika atau african swine fever (ASF) pertama kali diidentifikasi pada 1921 di Kenya, Afrika Timur, walaupun wabahnya telah terjadi sejak 1909.
Kasus penyakit ini tetap terbatas di benua Afrika, hingga 1957 kasus ASF dilaporkan dilaporkan terjadi di Portugal.
Kemudian, selanjutnya menyebar ke berbagai negara di Eropa (Italia, 1967; Spanyol, 1969; Prancis, 1977; Malta, 1978; Belgia, 1985; dan Belanda, 1986), hingga ke Kepulauan Karibia (Kuba, 1971 dan 1980; Republik Dominika, 1978; dan Haiti, 1979) serta Amerika Selatan (Brasil, 1978).
Pada 2010, virus ASF ditemukan pada babi liar di Iran, tetapi setelah itu tidak ada laporan kasus lagi di wilayah Timur Tengah.
Pada Agustus 2018, Cina melaporkan wabah ASF di Provinsi Liaoning, di mana kasus ini merupakan yang pertama di Asia Timur.
Kasus ASF pun menyebar ke negara Asia lainnya, yaitu Mongolia, Korea Utara, dan Korea Selatan.
Beberapa ilmuwan di Universitas Nankai, Cina, mendeteksi virus ASF pada Dermacentor, caplak keras pada kambing dan sapi.
Pada Februari 2019, Vietnam mengonfirmasi kasus ASF.
Hal ini menjadikanya sebagai negara Asia Tenggara pertama yang terinfeksi penyakit ini.
Secara berturut-turut, ASF juga ditemukan di Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar, dan Timor Leste.
Hingga Desember 2019, tujuh negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF.
Flu babi afrika sendiri merupakan penyakit menular pada babi yang disebabkan virus ASF.
Virus ini dapat menginfeksi anggota famili Suidae, baik babi yang diternakkan maupun babi liar.
Virus ASF dapat menyebar dengan cepat dengan tingkat kematian yang tinggi, sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Virus ASF sendiri merupakan satu-satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus.
Virus ini dikelompokkan dalam grup I dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus DNA dengan untai ganda.