Jagad Tani, JAKARTA – Pemerintah Indonesia resmi menyerahkan 394.000 hektare lahan perkebunan hasil sitaan kepada perusahaan negara, Agrinas Palma Nusantara (09/07), sebagai bagian dari upaya penataan ulang pengelolaan sumber daya alam di sektor kelapa sawit. Penyerahan ini mencakup lahan di empat provinsi: Kalimantan Tengah, Riau, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara.
Penertiban ini merupakan tindak lanjut dari operasi hukum terhadap 232 perusahaan yang sebelumnya mengelola lahan sawit secara ilegal di kawasan hutan lindung. Agrinas ditugaskan mengelola lahan tersebut secara profesional dan berkelanjutan, dengan fokus pada efisiensi produksi dan kepatuhan terhadap kebijakan lingkungan.
Baca Juga : Kemenhut Resmi Kelola Persemaian Mentawir IKN
Sejak awal tahun 2025, total lahan yang dikuasai Agrinas mencapai 833.000 hektare, termasuk 221.000 hektare yang lebih dahulu diserahkan Maret lalu. Penambahan ini menempatkan Agrinas dalam posisi strategis sebagai salah satu pengelola perkebunan sawit terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Langkah ini tidak lepas dari upaya pemerintah memberantas kejahatan kehutanan dan tata kelola lahan yang tidak sah. Menteri Pertahanan, yang juga Ketua Satgas Penertiban Kawasan Hutan, Sjafrie Sjamsoeddin, menyebutkan "bahwa total 2 juta hektare lahan ilegal telah berhasil disita hingga pertengahan 2025. Target nasional menyasar 3 juta hektare pada Agustus 2025".
Sebagian besar lahan yang diserahkan sebelumnya berada di wilayah gambut dan hutan tropis dataran rendah. Lembaga lingkungan menyoroti potensi dampak ekologis dari eksploitasi berkelanjutan terhadap lahan sensitif tersebut. Mereka mendorong pendekatan kehati-hatian agar pengelolaan lahan tidak memperparah emisi karbon dan kerusakan ekosistem.
Warga di Kabupaten Pelalawan, Riau, menyampaikan kekhawatiran terhadap alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit. “Kami berharap ada pemulihan ekosistem gambut, bukan justru melanjutkan eksploitasi,” ujar Rudi Hartono, aktivis lingkungan dari Forum Riau Hijau.
Hal serupa disampaikan oleh Direktur WALHI Riau, Boy Susanto, yang menyebut bahwa pengelolaan lahan sitaan harus mempertimbangkan pemulihan ekosistem dan hak masyarakat adat. “Kami meminta pemerintah membuka data dan melibatkan masyarakat sipil dalam proses verifikasi dan pengelolaan lahan,” katanya.
Namun dari sisi ekonomi, kehadiran Agrinas dipandang sebagai peluang menciptakan lapangan kerja dan membangkitkan sektor sawit pasca-operasi penertiban. Beberapa petani berharap Agrinas bisa bermitra dengan koperasi lokal dan memberikan pelatihan produksi yang ramah lingkungan.
Pemerintah menyatakan bahwa sebagian lahan yang rusak akan dialihkan menjadi zona pemulihan, termasuk untuk program reforestasi dan konservasi. Model tata kelola baru juga akan mengutamakan transparansi, audit lahan digital, serta keterlibatan masyarakat adat dalam proses verifikasi lahan.
Diperlukan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pengelolaan lahan ini. Pemerintah berjanji akan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan akademisi, dalam merancang masa depan pengelolaan sawit negara. Model integratif ini diharapkan mampu mengubah paradigma tata kelola sawit Indonesia menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan.

