Hasil Hutan Bukan Kayu Maluku Berhasil di Ekspor
Jagad Tani - Produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari kelompok perhutanan sosial di wilayah provinsi Maluku berupa damar dan rempah pala berhasil di ekspor, produk tersebut berasal dari Hutan Desa Rambatu, Hutan Desa Morella, HKm Tawanesiwa, HKm Soribang, serta Hutan Adat Hutumuri.
Sebanyak 30 ton getah damar akan dipasarkan ke India dengan nilai Rp570 juta dan 15 ton rempah-rempah pala dengan tujuan ke Tiongkok melalui Surabaya senilai Rp1,5 miliar di Pelabuhan Yos Sudarso.
Baca juga: Melalui Reforma Agraria Potensi Desa Bandung Hidup
"Kegiatan ekspor perdana ini menjadi salah satu hasil kerja keras dan kolaborasi bersama dalam mensejahtakan rakyat, melalui hasil hutan yang melimpah di Maluku berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti kopal damar dan rempah-rempah," ungkap Gubernur Maluku, Hendrik Lawerissa.
Selain memberikan nilai tambah ekonomi, kegiatan ekspor ini juga menyerap tenaga kerja, khususnya 36 perempuan lokal yang bekerja dalam proses sortir pala dengan penghasilan rata-rata Rp2,5–3 juta per bulan.
Secara nasional, capaian perhutanan sosial telah mencapai ±8,3 juta hektare dengan lebih dari 1,4 juta kepala keluarga penerima manfaat. Khusus di Maluku, telah diterbitkan 171 unit SK Persetujuan Perhutanan Sosial seluas ±240 ribu hektare, melibatkan lebih dari 33 ribu kepala keluarga, serta membentuk 533 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dengan nilai transaksi ekonomi tahun 2025 sebesar Rp3,85 miliar.
Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Rohmat Marzuki yang hadir dalam pelepasan produk ekspor di Kota Ambon tersebut, menegaskan bahwa komitmen pemerintah dalam memperkuat program pembangunan kehutanan, perhutanan sosial dan konservasi sumberdaya alam di wilayah timur Indonesia.
Bahkan saat kunjungannya ke Hutan Adat Negeri Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, Wamenhut disambut dengan prosesi adat, penyerahan bibit tanaman produktif, pameran produk hasil alam masyarakat, serta pelepasliaran satwa endemik Pulau Ambon yaitu burung nuri merah dan nuri bayan.
“Pemerintah akan terus memperkuat perhutanan sosial sebagai strategi nasional untuk membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, sekaligus menjaga kelestarian hutan. Maluku diharapkan menjadi contoh bagaimana hutan dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan oleh masyarakat adat,” ujar Wamenhut.
Hutan Adat Hutumuri memiliki luas ±150 hektare dan ditetapkan melalui SK Menteri LHK Nomor SK.7876/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 tanggal 28 Desember 2020. Wilayah ini menyimpan potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) bernilai ekonomi, seperti Virgin Coconut Oil (VCO), sirup jamale, teh moringamuri, manisan jahe, hingga wine buah.
Produk-produk tersebut dikelola oleh masyarakat hukum adat Hutumuri melalui pendekatan kearifan lokal dan berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat. Selain HHBK, Hutan Adat Hutumuri juga memiliki 9 mata air dan berbagai objek wisata alam, seperti Liang Payer, Batu Labuan Lima, Air Terjun Lawena, dan Benteng Raja. Potensi ini mendukung pengembangan ekowisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan.
Baca juga: Semua Pihak Harus Bekerja Sama Selamatkan Badak
MHA Negeri Hutumuri berhasil mengkombinasikan kearifan lokal, inovasi produk, dan komitmen menjaga lingkungan menjadi contoh inspiratif dalam mewujudkan keseimbangan antara ekonomi dan kelestarian hutan. Atas capaian dan komitmen MHA tersebut, pada Tahun 2025 Hutan Adat Hutumuri mendapat penghargaan Juara I Wana Lestari 2025 dari Kementerian Kehutanan.
Kunjungan kerja ini menandai babak baru pengelolaan hutan di Maluku, di mana nilai ekonomi, ekologi, dan sosial berjalan seiring demi terwujudnya ekonomi hijau nasional.

