Emas Hijau dari Indonesia Itu Bernama Cengkeh
Jagad Tani - Perkebunan merupakan sumber utama dari emas hijau di Indonesia, salah satunya yakni melalui perkebunan cengkeh. Tanaman cengkeh tidak hanya berfungsi sebagai rempah-rempah, tetapi juga dapat digunakan untuk pembuatan aroma terapi, bumbu masakan, obat tradisional, hingga menjadi bahan campuran rokok kretek.
Cengkeh (Syzygium aromaticum) merupakan tanaman perdu yang mempunyai bentuk pohon besar, berbatang keras dengan banyaknya cabang serta ranting, dan masuk ke dalam famili Myrtaceae (Jambu-jambuan). Persebaran lokasi penanaman cengkeh ada di seluruh wilayah Indonesia dan untuk provinsi Riau, DKI Jakarta serta Kalimantan Tengah, bisa dibilang tidak memiliki wilayah perkebunan cengkeh.
Baca juga: Kebun Tebu Terbakar Bukan Karena Meteor Cirebon
Memang tanaman rempah-rempah ini sudah dikenal dari sebelum masehi. Bahkan, cengkeh juga menjadi motivasi bagi Vasco Da Gama, yakni seorang penjelajah terkenal asal Portugal, untuk melakukan perjalanan mengelilingi dunia.
Nicolo Conti, seorang pedagang dari Venesia meyakini bahwa cengkeh berasal dari Pulau Banda dan sekitarnya. Para ahli botani juga berpendapat bahwa cengkeh berasal dari Kepulauan Maluku, termasuk Pulau Ternate, Tidore, Makian, Moti, Weda, Maba, Bacan, dan bahkan Pulau Rote di selatan.
Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia merupakan negara eksportir cengkeh terbesar di dunia dengan rata-rata volume ekspor di tahun 2017-2021 sebesar 24,45 ribu ton atau memberikan kontribusi sebesar 32,18% dari total volume ekspor cengkeh dunia. Dengan negara tujuan seperti Saudi Arabia, Cina, Uni Emirat Arab, India, Pakistan, Amerika, Bangladesh dan Singapura.
Setidaknya terdapat lima negara dengan volume ekspor cengkeh terbesar di dunia yakni Indonesia, Madagaskar, Tanzania, Kenya, dan Brasil, kontribusi kumulatifnya sebesar 80,79% terhadap total volume ekspor cengkeh. Adapun daerah seperti Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Utara dan Maluku Utara merupakan daerah penghasil cengkeh terbesar di Indonesia.
Jika berkaca dari sejarah, setelah berhasil menyingkirkan Portugis, perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur (merujuk ke wilayah ASEAN) yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bahkan sampai memonopoli perdagangan cengkeh dan mendapatkan keuntungan besar dari situ. Komoditas ini bernilai tinggi, sehingga VOC menempatkan markas besar mereka di Ternate selama tiga masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Both (1610–1614), Gerard Reynst (1614–1615), dan Dr. Laurens Learel (1615–1619).
Pada akhirnya, VOC mengendalikan perdagangan dan harga cengkeh melalui sistem Stelsel Hongi Tocten atau pelayaran Hongi, dalam rentang tahun 1625 hingga 1824, kebijakan seperti penghancuran kebun cengkeh milik rakyat, kerja paksa, tanam paksa, dan penyerahan hasil perkebunan secara paksa terus dilakukan, sampai akhirnya memunculkan berbagai perlawanan, salah satunya perlawanan dari Thomas Matulessy atau lebih dikenal sebagai Kapitan Pattimura.
Beralih ke masa sekarang, komoditas cengkeh Indonesia, melalui Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian tahun 2023, menyebutkan bahwa pada periode tahun 2010-2023 luas areal perkebunan cengkeh sebesar 7,55 juta ha, 60,38% merupakan luas areal tanaman menghasilkan, 25,46% merupakan luas tanaman yang belum menghasilkan dan 14,16% ialah luas tanaman rusak.
Adapun bentuk perkebunan cengkeh di Indonesia dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN), dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Dari ketiga jenis perkebunan tersebut, pada tahun 2021, cengkeh mampu memberikan kontribusi sebesar 0,96 juta Dollar AS dan angka tersebut berkontribusi sebanyak 0,23% terhadap nilai ekspor perkebunan, dibawah kelapa sawit, kopi, kakao dan karet.
Baca juga: Target 52,4 Ribu Ton Jagung Mulai Disalurkan
Sementara itu, bila ditinjau dari jumlah produksi dalam kurun waktu 10 tahun, mulai dari tahun 2014-2023, produksi cengkeh Indonesia mengalami peningkatan, yaitu dari 122,13 ribu ton (2014) menjadi 133,95 ribu ton (2022) dan tahun 2023 di estimasi naik 4,52% menjadi 140,01 ribu ton dan rata-rata produksi mengalami peningkatan sebesar 2,05% pada periode tahun 2014-2023.
Melihat data di atas, tentu bukan suatu keanehan jika cengkeh disebut sebagai salah satu komoditas yang menjadi emas hijau dari Indonesia. Sebab dari segi sejarah, sosial hingga ekonomi cukup memberikan dampak, dan mempunyai daya pikat tersendiri, sampai-sampai membuat para penjelajah dan para pedagang untuk datang memburunya hingga ke Kepulauan Nusantara. Hingga saat ini, komoditas cengkeh masih memiliki nilai dalam dunia industri termasuk di industri rokok dan farmasi.

