Bersuka Cita Saat Menanam, Lewat Tradisi Sagele
Jagad Tani - Saat musim tanam tiba, masyarakat di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, biasanya akan menggelar prosesi penanaman secara bersama-sama dengan diiringi musik dan syair, sebuah tradisi yang biasa disebut sebagai Sagele. Tradisi ini menjadi sebuah sarana dalam mempererat kebersamaan, gotong royong, serta menjaga silaturahmi di antara keluarga dan tetangga.
Zaitun, yang merupakan warga asli Kecamatan Wawo, menjelaskan bahwa kegiatan ini biasanya melibatkan alat musik tradisional seperti Sarone (atau Serunai), Silu (alat musik tiup khas Bima), Biola, dan Gambo, yaitu alat musik gambus berukuran kecil. Akan tetapi yang lebih dominan digunakan oleh masyarakat biasanya berupa biola serta gambo, dan kadangkala cuma biola ataupun gambo saja.
Baca juga: Nyahi, Budaya Minum Teh Ala Orang Betawi
“Biasanya yang nyanyi itu ibu-ibu yang sudah berpengalaman, umur 40 tahun ke atas. Mereka mengiringi penanaman dengan pantun-pantun atau syair yang mengandung ungkapan rasa syukur sekaligus hiburan,” ujar Zaitun saat dihubungi oleh tim Jagad Tani via Telepon.
Sagele sudah hidup dan berkembang selama berabad-abad di Bima. Tradisi ini tentunya menjadi bentuk kelanjutan dari sistem gotong royong masyarakat Bima yang dulunya diwujudkan lewat tradisi Weha Rima dan Cepe Rima. Weha Rima berarti membantu keluarga dan kerabat saat tanam dan panen, sementara Cepe Rima adalah membalas bantuan tersebut dengan ikhlas.
Pada saat prosesi Sagele, keluarga dan handaitaulan yang datang biasanya membawa bekal berupa makanan, dan bahan rujak. Mereka berkumpul bukan hanya untuk menanam, tapi juga mempererat hubungan sosial. Bahkan anak-anak kecil pun turut hadir, bukan sebagai pekerja, melainkan untuk belajar dan mengenal tradisi leluhur agar mereka kelak mencintai budayanya dan bisa terus melestarikan.
Dalam jurnal yang berjudul "Mengulik Nilai-Nilai dan Eksistensi Sagele dalam Tradisi Ngguda pada Masyarakat Kabupaten Bima" yang ditulis oleh Nurfah dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dijelaskan bahwa Irama atau Ntoko yang dinyanyikan dalam sagele bermacam-macam bentuk irama yang dilontarkan, sehingga tidak jarang akan mengundang gelak tawa, serta penuh dengan nuansa kekeluargaan.
Kegiatan bercocok tanam tersebut biasanya dilakukan secara berkelompok, yang terdiri dari kaum perempuan dan dilakukan oleh 10-20 orang, bahkan jumlahnya bisa lebih dari itu. Adapun peralatan tanam yang digunakan saat melakukan sagele yakni Cua (tongkat kayu dengan ujung runcing yang berfungsi untuk menggali tanah), Bajo Dei ataupun Kadudu Dei (wadah penyimpanan benih) dan baju serta tutup kepala yang biasa disebut Rimpu.
Menariknya, syair dan pantun yang dilantunkan oleh ibu-ibu secara bergantian dengan iringan alat musik seperti Biola dan Gambo sekaligus menjadi hiburan serta penyemangat saat prosesi penanaman. Menurut Zaitun, semakin cepat lagu dan musik yang dimainkan, maka semakin cepat pula tempo menanam padi.
"Musik ini seperti hiburan agar pekerjaan tidak terasa berat, dan jadi cepat selesai saat musim tanam. Terus biasanya yang bersyair itu tidak cuma satu orang. Biasanya saling sambung-menyambung. Misalnya aku duluan, terus itu disambung lagi sama yang disebelah. Tergantung orangnya bisa apa tidak, tapi rata-rata kalau di kampungku itu ibu-ibu yang nyanyi seperti itu bisa, dan ganti-gantian,” pungkas Zaitun.

