Kelola Ekspor Biawak Perlu Diperhatikan
Jagad Tani - Setiap tahun, ratusan ribu ekor biawak diperdagangkan di dalam maupun luar negeri dan mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara eksportir kulit biawak terbesar di dunia. Hal ini tentu harus dibuatkan tata kelola khusus, agar tidak merusak keseimbangan ekosistem kedepannya.
Berdasarkan data dari buku kuota Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024, ada total sebanyak 476.000 ekor biawak yang diperdagangkan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 468.560 ekor di antaranya khusus untuk kebutuhan ekspor kulit. Kuota tersebut tersebar di 18 provinsi, dengan Sumatera Utara sebagai yang terbesar.
Baca juga: Ekspor Benih Lobster Ilegal ke Singapura Gagal
Prof. Mirza Dikari Kusrini selaku Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB) menegaskan bahwa selain untuk ekspor, biawak juga diburu di tingkat lokal.
“Penelitian mahasiswa IPB menunjukkan biawak dimanfaatkan untuk konsumsi daging dan obat tradisional. Hewan ini juga kerap dianggap sebagai hama di beberapa daerah,” ungkapnya dalam keterangan resminya melalui website IPB, dikutip Kamis (23/10).
Padahal keberadaan Biawak (Varanus spp.), khususnya biawak air (Varanus salvator), merupakan predator oportunistik sekaligus pemakan bangkai dan keberadaannya dapat membantu mengendalikan populasi di lingkungan sekitar dengan memangsa ikan, reptil kecil, burung, hingga mamalia kecil.
Secara regulasi, biawak air tidak termasuk ke dalam jenis satwa yang dilindungi, berdasarkan Peraturan Menteri LHK P.106/2018. Akan tetapi, perdagangan internasionalnya dikontrol melalui mekanisme CITES Appendix II.
“Artinya, perdagangan biawak diperbolehkan dengan syarat ada kuota, izin ekspor, dan kajian non-detriment findings (NDF),” ujar pria yang juga dosen di Program Studi (Prodi) Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) IPB ini.
Dilanjutkan oleh Mirza bahwa, meskipun status biawak di International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List masih ‘Least Concern’, pemerintah tetap perlu menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan konservasi. Pengawasan ketat dan kebijakan berbasis sains penting agar tidak berdampak pada keberlanjutan ekosistem.
“Kuota harus berbasis sains, pemasok ekspor harus legal dan memiliki traceability, serta pemburu lokal harus mendapat harga yang adil. Itu kunci agar perdagangan biawak tetap berkelanjutan,” pungkasnya.

