Pemanfaatan Kayu Indonesia Harus Legal dan Terukur
Jagad Tani - Pemanfaatan hasil hutan, yang berupa kayu di Indonesia sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Perhutanan Sosial, dan Hak Pengelolaan di kawasan hutan, serta izin pemanfaatan kayu untuk kegiatan non-kehutanan (PKKNK) di Areal Penggunaan Lain (APL) dan merupakan wilayah berhutan yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan.
“Berdasarkan peraturan perundangan, kayu yang dihasilkan dari PBPH di kawasan hutan maupun dari izin PKKNK di areal penggunaan lain merupakan hasil dari proses legal yang diawasi dan diverifikasi ketat oleh Pemerintah melalui Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK),” tutur Laksmi Wijayanti, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL).
Baca juga: Menata Hutan, Menggapai Masa Depan Reforma Agraria
Menurut Laksmi, dalam kebijakan kehutanan Indonesia, pemanfaatan kayu tersebut diatur guna memastikan sumber daya alam (SDA) yang dapat diperbaharui (renewable natural resources) bisa digunakan secara lestari dan optimal memberikan manfaat. Sehingga kegiatan pembukaan hutan tidak semuanya dapat dikategorikan sebagai deforestasi dan berimplikasi ilegal. Sehingga tiap pemegang izin PBPH, wajib melaksanakan kegiatan penanaman kembali, konservasi keanekaragaman hayati, serta pelibatan masyarakat sekitar hutan.
Hal itu dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi mewajibkan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL).
“Pembukaan lahan pada areal PBPH Hutan Tanaman dan PKKNK merupakan bagian dari proses pengelolaan lanskap yang legal dan terukur. Dalam konteks PBPH Hutan Tanaman, kegiatan tersebut diikuti oleh penanaman kembali (reforestasi) sehingga fungsi hutan tetap terjaga dalam siklus pengelolaan yang berkelanjutan,” lanjut Laksmi.
Pelaksanaan inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB) guna meningkatkan potensi hasil hutan; perencanaan pengelolaan hutan jangka panjang melalui Rencana Kerja Usaha demi memaksimalkan pencapaian ekonomis, ekologis dan sosial secara berkelanjutan; dan perencanaan operasional melalui Rencana Kerja Tahunan yang rinci dan terukur untuk mendeteksi hal-hal diluar kewajaran, merupakan tiga langkah utama yang harus diperhatikan saat pemberian izin.
“Dalam rangkaian rantai pasok industri dan pasar produk berbasis kayu, instrumen izin dan penaatannya merupakan tulang punggung. Oleh sebab itu, dua hal penting harus dilakukan selaras satu sama lain, yaitu mendudukkan konteks dan fakta atas klaim tindakan deforestasi ilegal, dan konsistensi penegakan hukum mandat peraturan perundangan," tukas Laksmi.

