Revolusi Pertanian Alamiah Masanobu Fukuoka
Jagad Tani - Di tengah gempuran arus industri dan gaya pertanian modern. Masanobu Fukuoka justru muncul sebagai sosok yang menawarkan pendekatan pertanian yang alami atau dikenal dengan istilah Natural Farming. Gagasan Fukuoka bukanlah sekadar metode bercocok tanam, melainkan sebuah filsafat hidup yang menekankan keselarasan antara manusia dengan alam.
Masanobu Fukuoka (1913–2008) merupakan seorang ahli mikrobiologi sekaligus petani asal Jepang. Setelah bekerja di bidang riset penyakit tanaman, ia mengalami krisis eksistensial, sehingga membuatnya mempertanyakan peran manusia dalam mengatur alam. Karyanya yang terkenal, The One-Straw Revolution (Revolusi Sebatang Jerami), menjadi manifesto penting bagi para petani, pecinta lingkungan, dan penggiat permaculture di seluruh dunia.
Baca juga: Resign Kerja dan Memilih Hidup Slow Living Sebagai Petani
Di dalam buku tersebut, memaparkan keyakinan Fukuoka tentang cara bertani, hidup, dan makan. Sebuah buku yang ditulis ketika Fukuoka berusia 61 tahun, buku ini dimulai dengan kisah singkat mengapa ia meninggalkan karier di bidang patologi tanaman sekitar tiga puluh lima tahun sebelumnya.
Saat belajar di Yokohama, di bawah bimbingan seorang profesor yang dianggapnya menginspirasi, karena meneliti tentang sebuah jamur yang menginfeksi pohon jeruk, sebuah penelitian yang sangat membuatnya terkesima oleh betapa miripnya dunia kecil ini dengan dunia yang di alam semesta yang tak terbatas.
Fukuoka memandang bahwa pertanian Jepang telah meninggalkan praktik pertanian kuno demi model agribisnis setelah Perang Dunia II. Ia mempercayai jika sikap kontemporer bahwa alam tidak dapat menyediakan cukup makanan bagi manusia tanpa masukan teknologi yang besar, adalah keliru. Melalui bukunya diperkenalkanlah empat prinsip utama pertanian alami yang sederhana namun revolusioner, yakni:
1. Tidak Mengolah Tanah (No Till)
Fukuoka berpendapat bahwa tanah adalah organisme hidup yang kompleks. Proses pengolahan tanah justru merusak struktur alami tanah serta kehidupan mikroorganisme di dalamnya. Ia memilih membiarkan tanah bekerja secara alami melalui aktivitas akar tanaman, cacing, dan mikroba. Dengan cara ini, kesuburan tanah justru meningkat tanpa campur tangan manusia.
2. Tidak Menggunakan Pupuk (No Fertilizer)
Kesuburan tanah, menurut Fukuoka, dapat dipertahankan melalui daur ulang alami. Jerami, daun gugur, dan kotoran hewan dikembalikan ke tanah untuk menjaga keseimbangan nutrisi. Ia menolak pupuk kimia dan kompos buatan karena keduanya mengganggu keseimbangan ekologi yang sudah diatur oleh alam.
3. Tidak Menyiangi Tanah (No Weeding)
Bagi Fukuoka, rumput dan gulma bukanlah musuh. Mereka justru berperan menjaga kelembapan tanah dan mencegah erosi. Alih-alih mencabut habis gulma, ia hanya mengatur pertumbuhannya. Strategi utama Fukuoka yakni melakukan kompetisi tanaman, sebab pengolahan tanah hanya akan menguntungkan benih gulma karena membiarkannya terkena cahaya. Oleh karena itu, benih yang ditanam, seharusnya dilakukan tepat sebelum waktu terbaik perkecambahan gulma di musim panas, benih tersebut akan tumbuh lebih cepat daripada gulma, dan jerami yang disebar di atas benih juga akan menekan pertumbuhan gulma.
4. Tidak Menggunakan Pestisida atau Herbisida (No Pesticides)
Fukuoka melihat hama dan penyakit sebagai bagian dari keseimbangan alam. Ia menolak cara konvensional yang berupaya membasmi hama dengan bahan kimia, dan justru menciptakan ekosistem seimbang antara predator dan mangsa. Dalam sistem yang beragam dan sehat, populasi hama akan terkendali secara alami.
Menggunakan Metode Do-Nothing Farming
Metode Do-Nothing Farming sering disalahartikan sebagai tindakan yang tidak melakukan apa pun pada lahan pertanian. Padahal, yang dimaksud Fukuoka adalah tidak melakukan hal yang tidak perlu. Manusia hanya perlu membantu alam bekerja dengan cara yang efisien tanpa merusak proses alaminya.
Salah satu contoh penerapan prinsip ini yakni penggunaan seed balls atau bola biji dari campuran tanah liat, dan benih. Bola-bola ini disebarkan di lahan tanpa perlu ditanam satu per satu. Tanah liat tersebut akan melindungi benih dari burung dan serangga hingga hujan turun dan merangsang pertumbuhannya secara alami. Cara ini terbukti efisien dan ramah lingkungan.
Melalui metode sederhana tersebut, pada akhirnya Fukuoka berhasil menunjukkan bahwa lahan kecil pun dapat menghasilkan panen yang setara, bahkan lebih baik, dibanding pertanian modern. Lahan padinya di Shikoku, Jepang, yang tidak dibajak dan tidak diberi pupuk kimia, tetap subur dan produktif selama bertahun-tahun.
Metode Fukuoka kemudian menyebar luas ke berbagai negara seperti India, Thailand, dan Indonesia. Banyak petani muda dan pegiat agroekologi mengadopsi prinsip ini sebagai alternatif pertanian berkelanjutan yang rendah biaya namun tinggi manfaat ekologis. Lebih dari sekadar teknik bertani, gagasan Fukuoka berakar pada nilai-nilai Zen dan Taoisme.
Fukuoka menekankan pentingnya kesadaran untuk tidak bertindak berlebihan, dan bukan berarti pasif, melainkan peka terhadap keseimbangan alam. Sebab menurutnya manusia terlalu sering mencoba memperbaiki alam, padahal sering kali justru merusaknya. Baginya, pertanian sejati merupakan bentuk kolaborasi dengan alam, bukan eksploitasi terhadap alam. Ketika manusia berhenti berpikir bahwa mereka lebih tahu dari alam, maka bumi akan memulihkan kesuburannya sendiri.
Di tengah krisis iklim, degradasi tanah, dan ketergantungan tinggi terhadap bahan kimia pertanian, gagasan Fukuoka justru semakin relevan. Prinsip pertanian tanpa campur tangan manusia ini menawarkan jalan pendekatan yang bukan hanya menjadi sebuah solusi teknis, tetapi juga ajakan moral agar manusia kembali percaya pada kebijaksanaan alam.

