• 5 December 2025

Pemuda Baduy di Begal, Botol Madu Dirampas

uploads/news/2025/11/opini-ketika-kemanusiaan-dan-43629cd522a0696.png

Jagad Tani - Kejadian yang menimpa Repan (16), seorang pemuda dari Suku Baduy, membuka ruang diskusi tentang bagaimana hubungan antara identitas adat, hak kemanusiaan, dan pelayanan publik. Repan menjadi korban pembegalan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, oleh empat pelaku bersenjata tajam yang merampas uang Rp 3 juta serta 10 botol madu dagangannya.

Luka fisik bukan satu-satunya penderitaan yang dialami, sebab pada saat hendak meminta pertolongan medis, ia bahkan ditolak oleh pihak rumah sakit karena tidak memiliki KTP. Peristiwa ini jelas memunculkan pertanyaan yang mendasar, apakah hak untuk diselamatkan bergantung pada selembar identitas dan bagaimana posisi masyarakat adat ketika sistem modern menuntut dokumen yang di dalam masyarakat adat tersebut justru merupakan hal dilarang.

Baca juga: Hasan Basri, Petani Inovatif yang Bangkitkan Semangat Bertani

Penolakan terhadap korban kejahatan yang tengah membutuhkan pertolongan medis menunjukkan celah kemanusiaan dalam sistem pelayanan publik. Dalam situasi yang darurat, harusnya nyawa seseorang ditempatkan di atas segalanya, termasuk soal urusan administrasi. Penolakan dengan alasan tidak memiliki KTP merupakan bentuk kegagalan dalam memahami esensi kemanusiaan itu sendiri.

Namun, pada kasus ini juga tidak bisa kita hanya menyalahkan satu pihak saja, sebab di baliknya terdapat sistem birokrasi yang kaku dan belum sepenuhnya adaptif terhadap keragaman sosial dan budaya di Indonesia. Masyarakat adat seperti masyarakat Baduy Dalam, memang memiliki aturan adat yang melarang penggunaan dokumen modern seperti KTP, ketika berhadapan dengan sistem yang menuntut identitas formal, tentu akan muncul benturan antara nilai adat dengan mekanisme negara yang belum menemukan titik temu.

Kerentanan Masyarakat Adat di Ruang Publik

Sebenarnya ada dua persoalan rentan yang tampak pada kasus ini. Pertama, kerentanan fisik, karena masyarakat adat yang masuk ke ruang perkotaan seperti di Jakarta, tidak memiliki perlindungan yang memadai dari potensi kejahatan. Kedua, kerentanan sosial dan struktural, utamanya saat korban justru menemui hambatan dalam mengakses hak dasar akibat perbedaan sistem budaya dan administrasi.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bukan hanya menghadapi tantangan untuk mempertahankan tradisi, tetapi juga untuk diakui secara penuh sebagai warga negara. Ketiadaan dokumen administratif sering kali membuat mereka berada di pinggir sistem hukum dan pelayanan publik, padahal mereka tetap bagian dari bangsa ini.

Masyarakat adat seperti Suku Baduy di Desa Kanekes, Lebak, Banten, tentu memiliki nilai-nilai luhur soal kemandirian, kesederhanaan, dan kelestarian alam. Namun dalam konteks modern, posisi mereka seringkali dipandang berbeda di masyarakat. Padahal, lewat kejadian yang telah dialami Repan, menunjukkan bahwa adanya jarak antara adat dan negara.

Pengakuan terhadap masyarakat adat tidak cukup hanya berhenti pada pengakuan budaya atau tanah ulayat saja. Persoalan administratif dan layanan publik yang inklusif juga harus dijamin. Pemerintah perlu memastikan masyarakat adat tetap bisa mengakses hak dasar tanpa harus mengorbankan putusan adat. Misalnya, dengan menyediakan mekanisme identitas alternatif atau layanan darurat tanpa syarat dokumen.

Membangun Sistem yang Ramah Adat dan Manusiawi

Dari kejadian ini, ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian bersama, mulai dari pelayanan publik yang harus humanis dan responsif terhadap situasi darurat, karena nyawa manusia tidak boleh ditentukan oleh kelengkapan administrasi. Oleh sebab itu negara perlu membangun jembatan komunikasi yang lebih baik dengan komunitas adat, termasuk soal identitas dan akses layanan publik.

Kesadaran aparat, pelayan publik hingga masyarakat umum terhadap keragaman budaya tentu harus ditingkatkan lagi agar tidak ada diskriminasi terselubung terhadap masyarakat adat. Perlindungan masyarakat adat yang sedang beraktivitas di suatu kota juga perlu diperkuat baik dalam aspek keamanan, perlindungan hukum, maupun adaptasi sosial.

Kejadian ini bukan hanya sekadar kisah tentang seorang pemuda yang menjadi korban begal. Tapi menjadi cerminan dari ketegangan antara adat dan sistem publik modern yang belum tuntas kita selesaikan. Adat dan administrasi seharusnya tidak saling meniadakan. Keduanya bisa berjalan berdampingan jika kebijakan mampu bersikap lentur dan inklusif. Karena pada akhirnya, tujuan utama dari semua sistem baik adat maupun birokrasi adalah menjaga martabat manusia.

Related News