• 5 December 2025

Red Devil, Predator Nikaragua Penguasa Danau Toba

uploads/news/2025/11/red-devil-predator-nikaragua-49785fbbb761db8.jpeg

Jagad Tani - Fenomena ledakan populasi ikan Red Devil (Amphilophus citrinellus) dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi perhatian serius di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara. Spesies invasif yang berasal dari negara Nikaragua, di kawasan Amerika Tengah ini berkembang pesat dan mulai menguasai hampir seluruh wilayah perairan danau, sehingga menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan ekosistem setempat.

Pada tahun 2024, tim dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan pemetaan distribusi serta kelimpahan red devil di lima kabupaten sekitar Danau Toba. Hasil survei menunjukkan spesies ini merupakan ikan yang paling dominan dari tujuh spesies yang ditemukan selama penelitian.

Baca juga: Leuit Kampung Naga, Simbol Ketahanan Pangan Tradisional

Masifnya pertumbuhan red devil di Danau Toba dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya karena spesies ini tidak memiliki predator alami, sehingga populasinya tidak terkendali. Perilakunya yang agresif, kemampuan membangun teritori, serta kebiasaan memijah sepanjang tahun turut mempercepat proses peningkatan populasi. Selain itu, sifat omnivora yang cenderung karnivora membuat red devil mampu memanfaatkan hampir semua sumber makanan, termasuk memangsa anak ikan lokal.

Kondisi tersebut juga ditambah dengan minimnya minat masyarakat untuk memanfaatkan ikan ini sebagai konsumsi. Sebab bentuk tubuhnya yang memiliki duri tajam dan daging yang tipis, justru membuat red devil lebih sering digunakan sebagai pakan ternak. Minimnya penangkapan secara rutin, juga menyebabkan pertumbuhan ikan ini terus meningkat.

Meski demikian, penelitian IPB juga menemukan hal yang menarik, pasalnya sejumlah ikan asli Danau Toba yang awalnya dianggap hampir punah seperti ikan Batak (Neolissochilus soro) dan ikan Manggabai (Glossogobius giuris) ternyata masih bisa terdeteksi keberadaannya. Bahkan ikan pora-pora (Mystacoleucus padangensis) yang dianggap punah sejak tahun 2016, justru kembali ditemukan di beberapa anak sungai. Namun keberadaan spesies-spesies tersebut tetap terancam oleh dominasi red devil yang terus meluas.

Mengutip dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan, koordinator Pengelolaan Sumber Daya Ikan Perairan Daratan, yakni  Novia Tri Rahmawati mengatakan bahwa ikan red devil dianggap paling meresahkan diantara jenis ikan invasif lainnya, karena memiliki sifat yang paling agresif, adaptasi tinggi, dan pertumbuhan paling cepat. Adapun ikan invasif lainnya seperti ikan kaca-kaca (Parambassis siamensis), ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys spp.), dan ikan bawal (Colossoma macropomum).

Menurutnya, strategi jangka pendek untuk mengatasi ikan invasif tersebut yakni menggunakan metode eradikasi (pemusnahan total), melalui penangkapan ikan secara masal untuk non-konsumsi, menggunakan alat penangkapan ikan bubu yang dinilai efektif. Langkah lainnya, berupa penebaran ikan asli/endemik, penguatan reservaat atau pembuatan ekosistem konservasi buatan (Special Area for Conservation and Fish Refugia/SPEECTRA), serta pelibatan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) untuk melakukan pencatatan dan pelaporan guna mengoptimalkan pengawasan sumber perikanan di Danau Toba.

Di tengah berbagai upaya tersebut, muncul pula catatan dari masyarakat lokal. Nelayan di pinggiran Danau Toba merasakan penurunan drastis hasil tangkapan ikan mas, nila, dan spesies lokal lainnya sejak kemunculan red devil sekitar satu dekade lalu. Beberapa warga memperkirakan ikan tersebut awalnya dilepas oleh penghobi ikan hias tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19/2020 yang menegaskan bahwa ikan ini dilarang untuk dimasukkan, dibudidayakan, diperdagangkan, atau dilepasliarkan di perairan Indonesia dan jenis ikan red devil telah dimasukkan ke dalam daftar spesies berbahaya. 

Kemunculan red devil di Danau Toba tentu menjadi peringatan bagi keanekaragaman hayati perairan, karena tanpa pengendalian yang tepat, keberadaan spesies predator invasif ini berpotensi mengubah wajah ekosistem danau terbesar di Indonesia ini. Penelitian yang sedang berlangsung serta langkah-langkah pengelolaan terpadu diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan ekologis Danau Toba dan melindungi kelangsungan hidup ikan-ikan endemik yang tersisa.

Related News