• 5 December 2025

Enam Tahun Bergerak Edukasi Penyu Cilacap

Jagad Tani - Upaya penyelamatan penyu yang dilakukan oleh Kelompok Konservasi Penyu Nagaraja Cilacap sejak tahun 2019 hingga kini akhirnya mulai menunjukkan hasil. Perdagangan telur penyu yang dulunya marak dilakukan di wilayah pesisir selatan Cilacap kini sudah mengalami penurunan berkat patroli rutin, edukasi masyarakat, dan kerja sama dengan nelayan.

Jumawan selaku pendiri kelompok konservasi, menceritakan bahwa kegiatan ini bermula dari kebiasaan masyarakat menjual dan memperdagangkan telur penyu, bahkan dijual hingga ke media sosial.

Baca juga: Masyarakat Adat Pengawal Hutan Indonesia

“Saya merasa iba melihat telur penyu dijual bebas, sehingga sejak 2019 kami mulai menyadarkan masyarakat dan melakukan konservasi,” ujar Jumawan saat dihubungi oleh tim Jagad Tani Rabu (19/11).

Di tahun pertamanya, patroli yang dilakukan hanya mencakup Pantai Sodong, Pantai Srandil, hingga ke Welahan Wetan atau Pantai Wagir Indah dengan total jarak sekitar 6 kilometer dan masih dilakukan dengan berjalan kaki. Namun sejak tahun 2021 akhirnya patroli dilakukan dengan menggunakan motor pribadi hingga kemudian mendapat bantuan kendaraan pada tahun 2023 dan wilayah patroli diperluas hingga Pantai Jetis, total mencapai 25 kilometer garis pantai.

Patroli dilakukan setiap malam pada musim penyu bertelur (April–September). Saat momentum puncak, terutama pada bulan Juni–Juli, dalam semalam bisa ditemukan 2–4 induk penyu naik ke pantai. Di wilayah Pantai Sodong hingga Pantai Jetis, spesies yang banyak ditemukan adalah penyu lekang (Lepidochelys olivacea), yakni jenis penyu bertubuh kecil. Selain itu, juga ditemukan penyu hijau dan penyu sisik, sedangkan penyu belimbing muncul dalam siklus 8–9 tahunan. Setiap induk penyu dapat menghasilkan 78–140 butir telur, bergantung ukuran dan usia indukan.

Kelompok Konservasi Penyu Nagaraja Cilacap menggunakan tiga metode penetasan, yakni yang pertama menggunakan metode Semi-alami terbuka yang mengandalkan pasir dan cahaya matahari langsung pada metode ini telur menetas dalam rentang waktu 45–47 hari, dan cenderung menghasilkan penyu betina.

Lalu untuk metode kedua yakni Semi-alami terlindung (bis beton) yang menggunakan pasir dalam bis beton dan menetas pada rentang waktu 56–57 hari. Sedangkan yang terakhir menggunakan metode Toples Donat, dan biasanya digunakan untuk memonitor perkembangan embrio. Menetas lebih lama, 67–69 hari, cenderung menghasilkan penyu jantan. Keseimbangan jenis kelamin ini penting karena faktor suhu penetasan menentukan kelamin tukik. 

Kelompok ini aktif memberikan penyadaran kepada nelayan dan sekolah-sekolah pesisir, terutama anak-anak nelayan di jalur selatan.

Hasilnya kini mulai terlihat, perdagangan telur penyu menurun drastis, kesadaran nelayan meningkat, bahkan mereka kini melaporkan temuan telur kepada petugas konservasi Jumlah penyu bertelur tercatat stabil dan cenderung meningkat. Selain 10 anggota inti, konservasi ini memiliki kader konservasi di setiap desa untuk memperkuat jaringan informasi.

Meski terus berkembang, konservasi masih menghadapi keterbatasan dana operasional, terutama untuk patroli, konsumsi malam hari, dan bentuk apresiasi kepada nelayan yang menyerahkan telur temuan. Sejak pendirian pada 2019 hingga 2024, kelompok ini berada dalam pembinaan BKSDA. Namun aturan baru pada 2025 menetapkan bahwa konservasi satwa laut harus berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Saat ini Kelompok Konservasi Penyu Nagaraja dalam proses pembinaan di bawah dinas kelautan, sekaligus berharap dapat meningkat menjadi yayasan agar memiliki legalitas yang lebih kuat.

“Dengan status yayasan, kami berharap pengelolaan konservasi lebih kuat dan tidak mudah diintervensi berbagai kepentingan,” tutup Jumawan.

 

Related News