Perjuangan Tisno Mengolah Limbah Cangkang Kerang Hijau
Jagad Tani - Di pesisir Kali Baru, Jakarta Utara, nama Tisno kini mulai dikenal bukan hanya sebagai nelayan, melainkan sosok yang mempelopori perubahan. Besar di lingkungan nelayan, Tisno pun telah menghabiskan waktunya di laut. Ia juga merupakan anggota sekaligus pengurus Koperasi Nelayan Kalibaru Timur yang membina lebih dari 274 nelayan, 600-700 pembudidaya kerang hijau melalui kerambah, yang seluruhnya menggantungkan hidup pada hasil laut.
Namun, ada masalah besar yang selama puluhan tahun tak pernah terselesaikan, yakni limbah cangkang kerang hijau. Setiap hari, para pembudidaya mengolah kerang, mengambil dagingnya, dan membuang cangkang begitu saja di garis pesisir. Hasilnya, 3-4 ton limbah cangkang menumpuk setiap harinya sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan, sekaligus mencemari laut.
Baca juga: Sulap Lahan Bekas TPS Jadi Urban Farming
“Rutinitas itu sudah puluhan tahun. Saya sendiri tiap melaut dan pulang melihat tumpukan cangkang, bingung, ini harus diapain,” ungkap Tisno saat ditemui oleh Jagad Tani Rabu (27/11).
Tahun 2018 akhirnya menjadi titik balik. Pada saat pembangunan breakwater tengah berlangsung, proyek yang diawasi langsung oleh Tisno sebagai perwakilan nelayan, disitu ia mulai memikirkan kembali persoalan limbah cangkang yang ada di pesisir.

Bahkan di sela-sela kesibukannya melaut saat itu, Tisno mulai mencoba sesuatu yang sederhana, yakni dengan menumbuk cangkang kerang hijau. Dari serpihan-serpihan kecil itu, ia melihat pantulan cahaya yang membuatnya berpikir lebih jauh.
“Tiba-tiba kepikiran, apa bisa ya ini jadi pasir. Kalau bisa, bisa nggak kita jadikan paving block?,” terangnya.
Percobaan-percobaan kecil yang dilakukan sendiri alias otodidak tersebut, menurutnya dilakukan tanpa tujuan yang besar, sebab, ia hanya ingin mencari jalan keluar dari masalah limbah yang menggunung di wilayah tempatnya bermukim. Selama berbulan-bulan, Tisno terus mencoba memadukan berbagai tingkat kematangan cangkang, mulai dari cangkang muda, setengah tua, hingga cangkang tua untuk mendapatkan komposisi terbaik.
Upayanya tersebut bahkan menarik perhatian mahasiswa KKN yang sedang melakukan kunjungan ke pesisir. Mereka datang, melihat prosesnya, dan mulai ikut bereksperimen. Saat itulah ide Tisno semakin berkembang. Awalnya ia membuat kerajinan tangan, namun nilai jualnya rendah. Lalu ia mencoba membuat tatakan menggunakan campuran cacahan cangkang dan lem fox, namun hasilnya mudah rusak.
Baru setelah menggantikan perekat tersebut dengan semen, bentuk-bentuk baru mulai tercipta, mulai dari paving block, material kriya, plakat, hingga kloset jongkok yang dibuat dari campuran cangkang yang digiling halus hingga menyerupai pasir dan “apu” cangkang sebagai perekat.

“Intinya, saya ingin cangkang ini punya nilai manfaat. Dari limbah, jadi bahan material,” ujarnya.
Untuk menghasilkan cangkang yang bisa diolah, dibutuhkan proses panjang. Mulai dari cangkang yang dibuang ke pesisir, lalu terurai terlebih dulu oleh air laut agar cangkang menjadi lebih bersih. Lalu, setelah itu Tisno dan kelompoknya mengambil cangkang, menyortirnya. Kemudian cangkang dicuci, disikat, dijemur hingga benar-benar kering dan inilah proses dari nama Cangkring (cangkang kering).
Setelah kering, cangkang masuk ke tahap pencacahan hingga menjadi pasir cangkang, dan apu cangkang, bubuk sangat halus yang berfungsi sebagai perekat alami. Dari sinilah lahir berbagai produk, dari paving block, plakat, hingga material beton ramah lingkungan.
Bukan hanya bermanfaat untuk lingkungan, kegiatan ini juga membantu warga sekitar. Banyak ibu-ibu pesisir yang ia rekrut untuk memilah, mencuci, hingga menjemur cangkang. Beberapa pemuda ikut membuat kerajinan kriya. Dalam beberapa kesempatan, program TGSL/CSR dari perusahaan-perusahaan sekitar bahkan membeli produk kloset dari Tisno untuk disalurkan kepada warga yang membutuhkan fasilitas sanitasi.
“Nilai manfaatnya kembali ke masyarakat. Kami jual lebih murah dari harga material pabrik, tapi kualitas tetap kami jaga,” paparnya.
Harga paving block buatannya berkisar Rp3.000–Rp4.000 per satuannya, lebih murah dari paving block konvensional namun punya karakter unik karena permukaan cangkang memantulkan cahaya seperti “trelep-trelep”. Sedangkan untuk harga kloset Rp 100.000 per satuannya.

Meski sudah berjalan lebih dari lima tahun, Tisno mengakui produksi masih terbatas. Beberapa kendala yang dihadapi seperti keterbatasan tempat untuk menampung 3-4 ton limbah per hari, proses sterilisasi dan pengeringan yang harus benar-benar higienis, banyaknya limbah campuran dari masyarakat yang harus disortir, serta belum adanya alat untuk produksi berskala besar.
“Kita baru bisa olah sekitar satu ton. Padahal limbah harian itu bisa tiga sampai empat ton,” ujarnya.
Meski begitu, semangat Tisno tidak pudar. Dari pesisir, ia membangun harapan. Apa yang dimulai dari iseng kini telah berubah menjadi inovasi lingkungan, membuka lapangan kerja kecil bagi warga, serta mengurangi beban limbah pesisir.
Tisno mungkin tak pernah membayangkan dirinya menjadi inovator. Tapi bagi warga Kali Baru, langkah kecilnya telah mengubah cara pandang seseorang dalam melihat limbah yang selama ini hanya dianggap masalah.
“Yang penting, limbah ini jangan cuma numpuk. Harus bisa jadi manfaat, dan lewat pengolahan limbah ini saya berharap orang-orang jadi tahu, jika di Utara Jakarta juga punya cerita, salah satunya lewat pemanfaatan limbah yang bernilai guna,” tutupnya.

