Guru Besar UGM Soroti Bencana Berantai Sumatra
Jagad Tani - Guru Besar Geologi Lingkungan dan Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dwikorita Karnawati menyebutkan bahwa rangkaian banjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh yang terjadi merupakan dampak nyata dari kerentanan geologi Indonesia.Berdasarkan Update data dari Balai Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Sabtu (13/12) jumlah korban telah mencapai 1006 jiwa, hal ini diperparah oleh dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Menurutnya kombinasi dampak yang terjadi itulah yang menciptakan bencana geo-hidrometeorologi berantai dengan intensitas dan skalanya jauh melampaui kejadian-kejadian sebelumnya. Dilanjutkan Dwikorita bahwa secara alamiah jika Indonesia berada pada wilayah tektonik aktif yang rentan multi-bencana. Bahkan terjadinya pemanasan global dan kerusakan lingkungan yang akhir-akhir ini sering terjadi membuat hujan ekstrem terjadi lebih sering dengan periode ulang yang semakin pendek.
Baca juga: Gakkum Telusuri Kerusakan Hutan di Hulu DAS
“Data ilmiah menunjukkan bahwa 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan modern, dengan anomali suhu global mencapai +1,55 derajat Celsius di atas periode pra-industri. Dekade 2015–2024 pun menjadi periode sepuluh tahun terpanas yang pernah dialami bumi,” terangnya dilansir dari laman resmi UGM, Sabtu (13/12).
Dalam catatan BMKG menunjukkan bahwa lonjakan signifikan kejadian cuaca ekstrem, seiring waktu melonjak dari 2.483 kejadian pada tahun 2020 menjadi 6.128 kejadian pada tahun 2024. Kawasan barat Indonesia, seperti Sumatra, mengalami peningkatan curah hujan tahunan semakin kuat, sehingga resiko banjir bandang, aliran debris, dan gerakan tanah yang melanda di daerah dengan topografi curam dan perubahan tata guna lahan akan berdampak parah.
Bencana kali ini menurutnya, memiliki karakter yang berbeda dari bencana pada umumnya. Dinamika geologi dan hidrometeorologi saling memicu dan diperparah dengan kerusakan lingkungan, sehingga adanya satu kejadian dapat memunculkan rangkaian bencana susulan.
“Hujan ekstrem yang dulunya jarang, kini mulai muncul berulang. Ini yang menyebabkan banjir bandang di Sumatra datang dengan daya rusak yang jauh lebih besar. Hujan ekstrem yang dulunya jarang, kini mulai muncul berulang. Ini yang menyebabkan banjir bandang di Sumatra datang dengan daya rusak yang jauh lebih besar,” tambah Dwikorita.
Serangkaian banjir bandang, longsor, dan kerusakan infrastruktur di tiga provinsi menimbulkan dampak yang tidak dapat ditangani dengan mekanisme penanggulangan bencana reguler. Sistem yang disusun sejak tahun 2007 itu belum dirancang untuk menghadapi multi-bencana yang lahir dari kompleksitas perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang kini jauh lebih serius.
“Selama musim hujan, potensi banjir bandang lanjutan masih sangat tinggi. Saat rehabilitasi baru dimulai, hujan ekstrem bisa datang lagi dan memaksa daerah terdampak kembali ke fase tanggap darurat kembali” tuturnya.
Situasi ini tentu membutuhkan sistem penanganan bencana yang lebih kuat, terutama dalam pencegahan dan mitigasi jangka panjang, agar prinsip Build Back Better dapat benar-benar diwujudkan dalam pemulihan wilayah terdampak. Karena itu, menurutnya, pemulihan memerlukan mekanisme khusus yang bekerja cepat, taktis, dan masif, terpisah dari pola rutin, agar penanganan darurat tidak menambah korban. Perlunya memperkuat koordinasi lintas sektor yang dapat memaksimalkan penanganan.
Dwikorita juga merefleksikan bahwa Indonesia pernah memiliki model efektif melalui BRR NAD–Nias pasca tsunami 2004, yang secara khusus dibentuk untuk mempercepat rekonstruksi karena bekerja dengan mandat dan kewenangan terintegrasi.
“Dengan skala kerusakan sebesar ini, mekanisme rutin tampaknya tidak lagi memadai. Kita memerlukan lembaga lintas sektor yang mampu bekerja terpadu dan cepat,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia merekomendasikan agar pemerintah segera menyusun kajian komprehensif bersama kementerian teknis, BNPB, pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas kebencanaan. Kajian ini perlu memasukkan faktor perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan proyeksi bahaya hidrometeorologi, sehingga segala kebutuhan rekonstruksi dan rehabilitasi dapat dirumuskan secara tepat.
Dengan adanya pembentukan lembaga ataupun badan khusus bukan sekadar keputusan administratif, melainkan langkah strategis agar negara hadir sepenuhnya dalam membangun kembali Sumut, Sumbar, dan Aceh di tengah perubahan iklim yang semakin meningkatkan risiko bencana.
“Pemulihan harus disiapkan untuk menghadapi kejadian ekstrem yang berpotensi berulang,” tutup Dwikorita.

