Strategi Presiden Soekarno Lahan Kering Pertanian Indonesia
"Pertanian Indonesia pernah merasakan masa kejayaan dengan penerapan program pemerintah sesuai perintah dari pemimpin negara, seperti presiden Soekarno dengan 'lahan kering' untuk pertanian Indonesia."
Jagadtani - Presiden Sukarno pada masa pemerintahannya memiliki strategi untuk pengembangan pertanian Indonesia. Salah satunya dengan cara memperluas wilayah pertanian yaitu dengan cara menambah luasnya sawah-sawah dan ladang-ladang.
Hal ini dikarenakan di wilayah Pulau Jawa tidak mencukupi lahannya sebagai ladang dan sawah yang hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia.
Sehingga perluasan wilayah untuk pengembangan pertanian Indonesia dilakukan dengan cara masyarakat yang tinggal di pulau Jawa harus bertransmigrasi. Wilayah yang menjadi peluasan petanian Indonesia ada di Kalimantan memiliki wilayah seluas 53.965.000 ha, Sumatera dengan luas 47.360.000 ha, Irian kita yang saat ini disebut Papua memiliki luas wilayah 38.000.000 ha, dan Sulawesi seluas 18.900.000 ha.
Keempat wilayah yang disebutkan, sebelumnya telah dilakukan survey dan observasi oleh Balai Penyelidikan Tanah dalam bahasa Belanda disebut Bodemkundig Instituut. Yang menjadi perhatian khusus Presiden Soekarno yaitu berusaha memperluas daerah pertanian dan menggiatkan usaha pertanian dengan cara seleksi dan pemupukan pertanian nantinya. Sehingga dua jalan inilah yang harus di tempuh untuk pengembangan pertanian Indonesia.
Wilayah Seram disebut juga oleh Presiden Soekarno sebagai pengembangan pertanian Indonesia. Namun belum menjadi fokus utama Presiden Soekarno jika dibandingkan dengan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Presiden Soekarno sempat menyampaikan Pidatonya yang tertuang dalam Almanak Pertanian 1953 di Bogor: “di Jawa janganlah orang mengira bahwa tiap tempat yang sekarang tertutup hutan, atau tiap tempat yang masih kosong dan telihat hijau adalah baik buat pertanian”.
Dari total luas wilayah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian kita yaitu 158.210.000 ha, kira-kira berapa hektar yang baik untuk pertanian?... Sebagian besar dari tanah-tanah itu, dengan dilihat secara kasat mata, ternyata tidak semua memberikan harapan baik untuk pertanian, sehingga harus di riset kembali seperti kualitas tanahnya, bentuk topografinya, keadaan hidrologinya (keadaan airnya) yang tidak sesuai dengan prosedur pertanian yang berlaku.
Hasil survey dan observasi yang telah dilakukan oleh Balai Penyelidikan Tanah pada pemilihan wilayah untuk pertanian, maka data yang sudah didapat oleh Presiden Soekarno dipetakan dan ditinjau yang baik untuk pertanian. Sumatera 5.359.000 ha, di Kalimantan 740.000 ha, Sulawesi 669.000 ha, di Irian kita 965.000 ha, total 7.733.000 ha. Tetapi dari 7.733.000 ha inipun ternyata tidak semua betul-betul baik untuk pertanian. Yang betul-betul baik ternyata hanyalah sedikit, yaitu lebih dari 1.000.000 ha atau hanya 14%. (Almanak Pertanian 1953).
Disamping itu ada jenis tanah seperti gambut dilansir dari International Peatland Society, gambut yaitu ekosistem lahan basah teresterial yang didalamnya kondisi tergenang air mencegah tanaman terurai sepenuhnya. Akibatnya, produksi bahan organik melebihi laju penguraiannya yang menghasilkan akumulasi secara bersih (https://peatlands.org). Sehingga tanah ini dapat dikatakan kesuburannya sangat rendah karena kerap terendam oleh air.
Dilansir dari Jurnal Produksi Bersih (https://www.sciencedirect.com) Ada juga jenis tanah literat yang berwarna kemerah-merahan atau kekuning-kuningan. Tanah laterit kaya akan aluminium dan besi, terbentuk di daerah tropis yang basah dan panas. Hampir semua laterit berwarna merah karat karena adanya oksida besi. Tanah ini terbentuk dari pelapukan batuan induk yang berlangsung lama dan intensif. Sehingga tanah laterit dapat dikatakan sangat tidak subur jika digunakan untuk pertanian.
Hasil survey dan observasi yang telah dilakukan oleh Balai Penyelidikan Tanah pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno wilayah di Indonesia yang banyak didapati tanah berjenis literat adalah Banten Utara, Jakarta Barat, Cihea yaitu antara Cianjur dan Bandung, Cirebon Timur dan Cirebon Barat, Yogya Barat, Solo Timur Laut, Madiun Utara, Kediri Utara, Pasuruan-Bangil, daerah Puwodadi, Lusi-Randublatung, Bojonegoro, Lamongan, Madura, daerah Rapang di Sulawesi Selatan, daerah Bone, Sulawesi Tengah (Almanak Pertanian 1953).
Sehingga hal ini membuktikan bahwa tanah untuk pertanian di Indonesia dengan menggunakan konsep sawah atau ladang sesuai akan tetapi pertanian menggunakan tanah sawah atau ladang juga bukan jalan keluar yang mutlak. Selain itu pertanian mengandalkan lahan basah juga tidaklah solusi sepenuhnya. Sehingga lahan pertanian di Indonesia dengan menggunakan jenis tanah kering pun lebih bisa dilakukan sebagai jalan keluar memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya.
Soekarno juga menyampaikan dalam Almanak Pertanian 1953, bahwa negara Eropa dan Amerika berhasil menggunakan lahan kering untuk pertaniannya. Sehingga Indonesia pun harus bisa menjalankan dan membuktikan pertaniannya dengan menggunakan lahan kering karena dengan menggunakan lahan kering akan lebih luas dan beragam hasil jenis pertaniannya jika dibandingkan dengan lahan sawah-sawah dan ladang-ladang.
Dari penjelasan secara keseluruhan oleh Presiden Soekarno dalam pemetakan wilayah untuk pertanian Indonesia jelas bahwa pertanian Indonesia terus dilakukan secara mandiri yang tidak harus mengandalkan sawah, ladang atau lahan basah saja ternyata dengan lahan kering pun juga bisa dilakukan. Tentunya dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat dalam hal ini para petani dan didukung penuh oleh pemerintah. Jika dikaitkan dengan cita-cita Presiden Soekarno membangun universitas pada bidang pertanian sangat berhubungan dengan pengembangan teknologi dan pertanian untuk bersinergi, yaitu dengan hadirnya ilmu-ilmu pertanian yang terus berkembang dari hasil penelitian pada akademisi guna diterapkan dalam pertanian di Indonesia.