• 12 July 2025

BRIN Ungkap Tantangan Sistem Pertanian Padi Hadapi Polusi

uploads/news/2025/06/brin-ungkap-tantangan-sistem-3416722eab742dc.png

Jagadtani - Tantangan sistem pertanian padi di tengah ancaman perubahan iklim dan tekanan produksi global diungkap Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari, dijelaskan bahwa pentingnya padi sebagai sumber pangan utama bagi lebih dari setengah populasi dunia.

“Perubahan iklim, degradasi sumber daya alam, dan melonjaknya permintaan pangan global menjadikan riset dan inovasi lebih penting dari sebelumnya,” ujarnya, dalam Webinar PRTP Sharing Session #4, bertema “Research and Innovation to Improve the Efficiency and Sustainability of Rice Production”.

Hung Nguyen Van dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina berbagi praktik terbaik dari Vietnam melalui program satu juta hektare padi berkualitas tinggi dan rendah emisi. Inisiatif ini memadukan database iklim, teknologi pertanian presisi, mekanisasi yang efisien untuk memitigasi emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan produktivitas.

Strategi ini mencakup teknik alternate wetting and drying (AWD), manajemen pupuk spesifik lokasi, serta pendekatan pertanian sirkular pascapanen dengan manajemen jerami.

“Kami juga mengembangkan aplikasi EasyFarm sebagai sarana petani dalam mengakses jadwal tanam, pupuk, dan alat pertanian,” terang Hung. Model ini membuka peluang kolaborasi adaptif bagi Indonesia melalui transfer pengetahuan dan pengembangan sistem pertanian rendah karbon.

Ando M. Radanielson dari IRRI menambahkan kontribusi signifikan pertanian padi terhadap emisi gas rumah kaca global. Sistem tradisional seperti perendaman lahan dan pembakaran jerami menjadi penyumbang utama metana dan nitrogen dioksida.

Untuk itu, IRRI mendorong pendekatan seed, scale, dan sustain (3S) sebagai kerangka integratif produksi padi rendah emisi.

Teknologi irigasi seperti AWD dan sistem pemupukan berbasis sensor serta direct-seeded rice (DSR) menjadi andalan IRRI dalam menurunkan emisi dan penggunaan air tanpa mengorbankan hasil panen.

“Inovasi seperti ini menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan sistem pertanian sekaligus mendukung pencapaian target iklim global,” ujar Ando.

Di sisi lain, Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, memaparkan bahwa Indonesia mengalami surplus beras sebesar empat juta ton pada 2024.

Namun, menurutnya, biaya produksi beras Indonesia per hektare masih tinggi, di atas rata-rata regional Asia.

“Biaya produksi beras di Indonesia masih sangat tinggi, yakni sekitar Rp12,5 juta per hektare. Ini menghambat daya saing kita dibandingkan negara-negara Asia seperti Thailand atau Vietnam,” jelas Yudhistira.

Dia menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih adaptif terhadap iklim, efisien dalam sumber daya, dan ramah lingkungan demi menekan beban produksi. Mengingat, tantangan yang dihadapi saat ini mencakup tingginya konsumsi input, degradasi tanah, perubahan iklim, hingga rendahnya efisiensi pascapanen.

“Oleh karenanya, produktivitas saja tidak cukup. Kita harus memahami lingkungan dan mendorong pengembangan padi secara efisien dan ramah lingkungan untuk mengejar pembangunan berkelanjutan,” pungkasnya. 

Related News