• 8 November 2025

Harpa Mulut, Alat Musik Tradisional Sahabat Petani

uploads/news/2025/10/harpa-mulut-alat-musik-590622fc9a183b9.jpeg

Jagad Tani - Indonesia dengan keanekaragaman budaya yang ada, memiliki begitu banyak jenis alat musik tradisional. Tidak hanya digunakan sebagai alat untuk menghibur diri sendiri dan masyarakat, terkadang juga digunakan untuk mengiringi acara ritual adat, bahkan ada pula yang berfungsi sebagai pengusir hama di lahan pertanian, seperti harpa mulut (Mouth Harp). 

"Kalau secara umum saya melihat, Indonesia kan bukan hanya dikenal sebagai negara agraris, akan tetapi juga sebagai negara maritim. Tentu keberadaan alat-alat musik ini tidak menutup kemungkinan untuk mendukung kegiatan pertanian, salah satunya juga bisa digunakan untuk mengusir hama wereng di ladang," ungkap Bejo Sandy, seorang pembuat Rinding sekaligus pelestari harpa mulut yang berdomisili di Kota Malang.

Baca juga: Bersuka Cita Saat Menanam, Lewat Tradisi Sagele

Menurut Bejo, persebaran alat musik harpa mulut ini hampir ada disetiap pulau-pulau besar di Indonesia, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Madura, Sulawesi, Maluku hingga Papua. Di Jawa Barat harpa mulut dikenal dengan nama Karinding, Sumatera Utara mempunyai nama Hodong-hodong, Malang disebut Rinding, Kalimantan Selatan dengan nama Kuriding, Bali dikenal dengan Genggong hingga di Papua disebut dengan nama Pikonane.

Berdasarkan Nomenclature (penamaan), per Januari 2025, setidaknya sudah terdapat 1178 harpa mulut dari seluruh dunia. Bahkan di museum Volkenkunde Belanda sendiri ada sebanyak 158 nama yang tercatat dari Indonesia dan mempunyai sebanyak 95 artefak yang tersimpan dan diarsipkan, yang tertua adalah Pikon atau Pikonane dari Papua bertahun 1831 Masehi, sedangkan yang termuda Karinding bertahun 1967 Masehi.

Pria yang aktif dalam mengenalkan alat musik Rinding ini menuturkan bahwa, penggunaan harpa mulut ini juga bisa digunakan untuk berbagai kegiatan di ranah pertanian dan peternakan, misalkan pada saat berada di sawah ataupun ladang, para petani dan penggembala dapat memainkan instrumen ini untuk mengisi waktu luang dengan bermain harpa mulut.

"Salah satu yang menariknya adalah yang dilakukan oleh kawan-kawan di Jawa Barat dan Banten, misalnya pergerakan dari kawan-kawan Karinding Attack (Bandung) yang begitu luar biasa dalam mengenalkan Karinding, ataupun dengan yang ada di (Kanekes, tempat bermukimnya) masyarakat Suku Baduy, dimana Karinding ini memang masih dilestarikan dan biasanya digunakan untuk mengusir hama di ladang. Dan itu cukup konsisten dilakukannya," ujarnya saat dihubungi oleh tim Jagad Tani via telepon, Jumat siang (17/10).

Merupakan jenis instrumen Lamelafon yakni alat musik yang akan berbunyi apabila digetarkan dengan rongga mulut sebagai pembentuk bunyinya dan menjadi alat musik idioglot (satu kesatuan bahan). Bahan bakunya pun berasal dari tanaman seperti bambu atau pelepah aren untuk Indonesia. Sementara itu ada pula yang terbuat dari bahan logam dan masuk ke jenis alat musik hetroglot (dua bahan yang disatukan) dengan persebarannya di Asia dan Eropa. Cara memainkannya pun dapat dilakukan dengan tiga cara berdasarkan karakteristik dari harpa mulutnya, sebab ada jenis yang bisa dimainkan dengan cara ditarik, ditowel dan dipukul.

Adapun jenis bambu yang biasa digunakan dalam pembuatan harpa mulut di Indonesia yakni dari Bambu Hitam (Gigantochloa Atroviolacea), Bambu Tutul (Bambusa Maculata), serta penggunaan Bambu Petung (Dendrocalamus Asper). Bejo Sandy menambahkan jika bambu petung biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan karinding, karena batang bambunya memiliki ketebalan yang lebih jika dibandingkan dengan jenis bambu yang lainnya, sedangkan penggunaan pelepah aren biasanya digunakan untuk Genggong di Bali dan Kuriding di Kalimantan Selatan.

"Menariknya, ada kepercayaan tentang larangan menebang bambu pada saat weton legi dan wage apalagi saat bulan purnama, karena ternyata itu bambunya mengandung air, dan pemotongannya pun kalau bisa diatas jam 12 siang, sebab tunas bambu itu dipercaya tumbuh sebelum waktu itu, jadi biar tidak menyakiti proses pertumbuhannya juga. Dan bambu yang digunakan itupun harus bambu yang kering," tukas pemilik dari Galeri Bejo (Galejo) ini.

Seorang arkeolog sekaligus sejarawan dan akademisi dari Universitas Negeri Malang (UM), yakni Dwi Cahyono dalam tulisannya yang berjudul “Alat Musik Agraris yang Hilang Ditelan Zaman” menyebutkan bahwa Instrumen musik dari bambu sejenis Rinding sudah tertera dalam Kitab Ramayana (200 M), Kitab Subadra Wiwaha (700 M) dan Kitab Sumana Santaka (1200 M).

Beberapa artefak harpa mulut juga tidak hanya ditemukan di Indonesia saja, tapi ditemukan juga di berbagai negara, seperti penemuan artefak sejak abad keempat sebelum masehi pada sebuah lukisan di China, kemudian penemuan artefak di Upsala (Swedia) yang berasal dari abad ke 13 Masehi, lalu temuan pada relief di Capel New College-Oxford dari abad ke 14, hingga ditemukannya tulisan dengan kata Jue Harpes pada "nota jual beli" di Belgia dari abad ke 15 Masehi.

Baca juga: Nyahi, Budaya Minum Teh Ala Orang Betawi

"Kita bahkan pernah memainkan alat musik ini di tengah belantara dan juga pernah di kawasan hutan pinus, yang ada di Wlingi, Blitar. Itu rasanya luar biasa, seolah-olah alam pun merespon hasil bunyi-bunyiannya, bahkan tonggeret pun langsung merespon dengan saling bersahut-sahutan. Apalagi dengan jenis-jenis hewan kecil lainnya yang memiliki sensitifitas terhadap resonansi nada dan bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh harpa mulut ini," tukasnya.

Dengan kekayaan khazanah yang ada, melalui fungsi harpa mulut yang sudah digunakan oleh sebagian masyarakat di bidang pertanian ini menjadi bukti konkrit bahwa pengetahuan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang sejak zaman dahulu, memberikan kita kesadaran bahwa pengetahuan tentang resonansi dan frekuensi suara yang mampu didengarkan oleh jenis-jenis hewan tertentu sudah dilakukan sejak lama.

Melalui alat musik sederhana dengan suara khas yang dihasilkan ini pula, ternyata bisa menjadi sebuah solusi bagi petani dalam menghadapi hama wereng di lahan pertanian, tentu ini akan menjadi suatu perpaduan yang otentik, jika kedepannya para peneliti dan ahli bisa saling bahu membahu mengembangkan dan meneliti soal keterkaitan antara musik, pertanian dan suara dalam memajukan dunia pertanian Indonesia yang berbasis budaya. 

Related News