• 20 April 2024

Gemerlap Desa Adat Nelayan Kedonganan

Selain sumber daya ikan, desa adat nelayan bernama Kedonganan juga terkenal di kalangan wisatawan karena gemerlap kafe milik masyarakat setempat.

BADUNG - Di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, terdapat desa nelayan yang dikenal luas oleh wisatawan domestik bahkan mancanegara.

Desa tersebut bernama Desa Adat Kedonganan.

Desa adat di Bali sendiri merupakan unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak ulayat atau hak untuk mengurus wilayah dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa adat.

Baca juga: Kokohnya Bisnis Bambu Penjor

Berbeda dengan ‘desa dinas’ yang berada di bawah pemerintahan secara administratif, pengelolaan desa adat dilaksanakan dengan mandiri dengan memegang pinsip adat.

Desa Adat Kedonganan merupakan desa pesisir dengan luas hanya satu kilometer persegi yang diapit laut di sisi barat dan timurnya.

Letak geografis tersebut merupakan alasan utama bagi sebagian besar profesi penduduk desa itu menjadi nelayan, sementara sisanya berprofesi sebagai buruh dan pedagang.

Meski berada di pesisir dan termasuk dalam Kecamatan Kuta, namun hingga 1990, Desa Adat Kedonganan tidak mendapat kategori sebagai tempat wisata.

Hal itu dikarenakan Desa Adat Kedonganan memiliki banyak kafe yang tidak beraturan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang membuat suasana kumuh sampai 1990.

Barulah pada 1995, setelah pengaturan dan munculnya beberapa peraturan, Desa Adat Kedonganan menjadi bagian dari objek wisata di Kuta.

Titik Balik Pengembangan

Potensi Desa Adat Kedonganan dalam hal perikanan inilah, yang membuat masyarakat tergerak untuk mengembangkannya sebagai tempat wisata kuliner pesisir.

Sebelumnya, masih terdapat beberapa kafe yang berdiri di dekat pantai.

Namun, karena tidak dikelola secara maksimal dan professional, banyak yang gulung tikar dan mempengaruhi kehidupan warga Desa Adat Kedonganan secara ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan sekitar pantai.

Pada 2007, dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Badung dan tokoh masyarakat, Desa Adat Kedonganan pun mulai menata kawasan Pantai Kedonganan.

Penataan pantai pun melibatkan seluruh warga, mulai dari perencanaan, hingga pelaksanaan dan pengelolaannya.

Termasuk keenam banjar atau setingkat Rukun Warga (RW) yang ada di Desa Adat Kedonganan, yaitu: Banjar Kubu Alit, Banjar Ketapang, Banjar Anyar Gede, Banjar Kertayasa, Banjar Pasek, dan Banjar Pangenderan.

Dari enam banjar tersebut, berhasil membangun 24 kafe dengan masing-masing banjar mengelola empat kafe.

Semuanya disponsori oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) setempat, dengan pemberian investasi merata sebesar Rp500.000.000 untuk setiap kafe.

Sejak saat itulah Desa Adat Kedonganan pun memberdayakan diri dan berani mengembangkan potensi, tanpa meninggalkan pekerjaan utama sebagai nelayan.

Secara berkala, kehidupan sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan di Desa Adat Kedonganan juga semakin membaik.

Cara menarik wisatawan yang datang ke kafe Desa Adat ini yaitu dengan cara, para wisatawan bisa memilih aneka hidangan dari berbagai hasil laut yang masih hidup, termasuk cara pengolahan dan penyajian yang diinginkan.

Omset dan Perputaran Uang

Dalam kondisi normal di 2018, Desa Adat Kedonganan bisa menghasilkan tangkapan ikan hingga 18 ton sehari dengan puncaknya di Mei-Agustus.

Baca juga: Mengenal Esensi Sesajen Canang

“Hari ini saya dapat hasil kurang lebih 2 ton, termasuk tuna besarnya. Habis ini tunanya saya lelang di depan, lumayan beratnya lebih dari satu kuintal. Tuna masih jadi ikan yang paling sering dicari, tidak pernah kehabisan pasar. Karena dagingnya bagus, tebal, dan mengolahnya gampang,” ujar salah satu nelayan.

Sementara itu, para pembeli ikan sudah menyiapkan kotak sterofoam sambil menanti kedatangan nelayan, sembari menyeruput kopi di warung terdekat dari TPI.

Saya sudah menunggu dari 05.30 di sini, bawa mobil bak terbuka sama yang bantu dua ibu-ibu, biar rapi menyusun ikannya ke dalam kotak. Setiap dua hari sekali, saya ke sini untuk dijual lagi secara eceran. Kadang ke rumah-rumah, kadang ke penjual makanan olahan ikan,” ujar Samsul, salah satu pengecer ikan.

Kalau tuna, per kilogramnya saya jual lagi antara Rp90.000-100.000. Untuk ikan yang lain biasanya harganya di bawah harga tuna per kilogramnya. Tapi karena saya juga menerima pesanan, biasanya harga ikan pesanan juga agak mahal. Apalagi ikan pesanannya yang sedang tidak musim,” tutupnya.

Hal tersebut tentu membantu perputaran uang dari distribusi ikan ke kafe-kafe yang mereka kelola, selain pasar ikan yang mayoritas dibeli oleh warga lokal.

Jumlah tangkapan ikan tersebut berbanding lurus dengan data yang tercatat di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan yang menyebutkan, pada Juli 2017, perputaran uang dari hasil laut mencapai Rp15,3 miliar. 

Related News