• 7 May 2024

Trenggiling, Mamalia Terduga Pembawa Virus

uploads/news/2020/12/trenggiling-mamalia-terduga-pembawa-247546e1cfcdc0d.jpg

Penelitian tentang trenggiling jarang dilakukan, karena mahalnya biaya perawatan, serta panjangnya proses perizinan karena statusnya sebagai satwa dilindungi

JAKARTA - Pada saat awal pandemi COVID-19, peneliti South China Agricultural University (SCAU), mencurigai trenggiling (Pholidota) sebagai inang perantara virus corona dari kelelawar ke manusia.

Namun, menurut peneliti Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ir. Wirdateti, M.Si., penelitian intensif mengenai hal tersebut masih terbatas pada dua dari delapan jenis trenggiling yang ada di dunia.

Dua jenis trenggiling tersebut yaitu, Manis javanica yang tersebar di Asia Tenggara dan Manis pentadactyla yang ada di wilayah Indocina.

Baca juga: Urgensi Zoonosis Perdagangan Satwa Liar

Hasil penelitian tersebut juga menggunakan trenggiling hasil sitaan yang berasal dari Malaysia (Malayan pangolin) jenis Manis javanica.

Menurut Wirdateti, penelitian yang dilakukan oleh SCAU sebenarnya belum final.

Penelitian SCAU hanya mengambil sebagian dari genom yang ada, dan sampai saat ini hal ini masih diperdebatkan. Bisa jadi inang perantara virus corona yang ada pada manusia saat ini adalah satwa liar lain yang ditularkan kelelawar yang mengalami mutasi gen, misalnya musang atau hewan lainnya. Sehingga masih diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikan kebenarannya,” kata Teti.

Teti mengaku khawatir mengenai maraknya pemberitaan trenggiling, justru akan berimbas terjadinya perburuan trenggiling dan dibunuh atau dimanfaatkan oleh para pedagang ilegal. 

Seperti pada kasus kelelawar yang dibunuh dan dibakar di beberapa daerah di Indonesia karena dianggap pembawa virus tersebut, sebagai suatu hal yang bersifat misinformation dalam situasi yang semakin paranoid, baik pada tingkat masyarakat maupun aparat pemerintahan. Pemusnahan satwa liar di alam akan berdampak negatif terhadap rantai ekologi di alam,” terang Teti.

Morfologi

Trenggiling sendiri merupakan jenis mamalia bersisik satu-satunya dari famili Pholidota.

Trenggiling tidak punya gigi atau ompong (giginya lembut), moncongnya panjang, lidahnya panjang,  mempunyai rambut tapi satu satu (sangat sedikit) dan tubuhnya bersisik sampai ke ekor,” ungkap Teti.

Pada trenggiling dewasa berat dapat mencapai 8-10 kilogram dan ada yang mencapai 12 kilogram. Umumnya trenggiling jantan lebih besar daripada trenggiling betina,” lanjutnya.

Teti juga menjelaskan trenggiling merupakan hewan pemakan semut dan telurnya, rayap, dan serangga kecil lainnya.

Makanan itu diambil dengan lidahnya yang panjang dan ditelan, sehingga tidak perlu mengunyah. Ciri lainnya, dalam keadaan bahaya trenggiling akan menggulung seperti bola. Trenggiling jarang menyerang musuhnya, tapi dalam keadaan terdesak trenggiling dapat menyerang musuhnya dengan cakarnya, atau menyabet musuhnya dengan ekornya yang kuat dan bersisik,“ tuturnya.

Selain itu, trenggiling merupakan satwa mamalia yang bereproduksi atau berkembang biak secara seksual dengan cara melahirkan (vivipar).

Ia mempunyai tingkat reproduksi yang sangat rendah, karena dalam setahun hanya mampu melahirkan 1-2 kali pada musim kawin.

Satu kelahiran hanya menghasilkan satu anak trenggiling dan siklusnya setelah 18-24 bulan baru melahirkan lagi.

Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI lainnya, Prof. Dr. Gono Semiadi mengatakan, masa kebuntingan trenggiling betina sekitar 90-139 hari, dengan masa sapih sekitar empat bulan dan mencapai usia dewasa sekitar dua tahun.

Trenggiling terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang hidup dominan secara terestrial (di permukaan tanah) dan yang dominan arboreal (bergerak di atas pohon). Yang jantan cenderung soliter (sendiri) dan bersifat aktif mencari betina saat musim kawin, “ ungkap Gono.

Di Indonesia sendiri belum ada yang secara khusus mengembangbiakkan trenggiling.

Menurut Prof. Gono, peneliti LIPI sendiri mengaku pernah mencoba melakukan di luar habitat, tapi belum berhasil.

Penelitian tentang trenggiling jarang dilakukan, karena mahalnya biaya perawatan, serta panjangnya proses perizinan karena statusnya sebagai satwa dilindungi,” ujar Gono. 

Di Indonesia, habitat trenggiling tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Teti menjelaskan, saat ini di Pulau Sumatera dan Jawa, populasi trenggiling mengalami penurunan drastis, akibat tingginya tingkat perburuan, demikian juga halnya dengan populasi trenggiling di Pulau Kalimantan.

Trenggiling hidup di perkebunan rakyat, kadang di perkebunan sawit, hutan sekunder dan primer, di atas pohon, bebatuan dan pada umumnya dekat dengan air,” rinci Teti.

Sebagai satwa yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), biasanya trenggiling tidur sepanjang hari di lubang-lubang dalam tanah.

Trenggiling juga membuat sarang di tanah dengan menggali dan berbentuk terowongan.

Panjang galiannya dapat mencapai 8 meter dan memiliki percabangan yang berliku-liku sebagai strategi untuk mengelabui mangsa apabila terdesak.

Ancaman

Trenggiling di Indonesia dilindungi dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered) statusnya adalah appendix 1 yang artinya tidak boleh diperjualbelikan melalui pengambilan langsung dari alam. Akan tetapi yang terjadi saat ini. justru trenggiling ini nyaris punah karena tingkat reproduksinya yang rendah, populasinya yang jarang dan diburu untuk diperdagangkan, “terang Gono.

Teti kembali menjelaskan di China hampir seluruh bagian tubuh trenggiling dimanfaatkan, dari mulai sisik, daging, darah, organ dalam, lidah dan kulit dipercaya dapat digunakan sebagai obat tradisional.

Sisik trenggiling dijual dengan sangat mahal karena dipercaya dapat berfungsi sebagai obat bius, obat kanker dan digunakan sebagai bahan baku narkoba. Dagingnya dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai sumber protein yang tinggi, obat kuat dan obat sakit perut. Sedangkan darahnya digunakan untuk obat sakit kulit,” rincinya.

Baca juga: Anjing Liar Disebut Penyebar Covid-19

Di China ada jenis trenggiling asli yaitu Manis pentadactyla yang hampir punah, sehingga China mengekspor dari negara-negara di Afrika dan Asia Tenggara. 

Penyelundupan trenggiling di Indonesia marak dalam sepuluh tahun terakhir.

Gono mengatakan ancaman terbesar yaitu, pengambilan trenggiling dari alam untuk diperdagangkan ke luar negeri, khususnya China.

Pemerintah Indonesia perlu segera mengusahakan konservasi bagi trenggiling, untuk mencegahnya dari kepunahan,” tutup Gono.

Related News