Melawan Virus Corona!
Awal tahun masyarakat dunia dihebohkan oleh virus misterius dari Kota Wuhan, Cina bernama virus corona atau 2019-nCoV yang kini sudah merenggut nyawa ratusan orang.
JAKARTA - Virus corona atau 2019-nCoV, terus merenggut korban jiwa. Terakhir dalam laporan yang dilansir dari Kompas.com, virus yang diduga berasal dari Kota Wuhan, Cina itu telah merenggut 170 korban meninggal dunia. Jumlah itu terus bertambah dari sebelumnya, 132 korban pada Rabu (29/1) siang. Angka ini 29% naik dari yang dilaporkan sehari sebelumnya. Sementara itu, terdapat 7.864 kasus yang dikonfirmasi merupakan virus corona yang masih satu keluarga dengan severe acute respiratory syndrome (SARS) dan middle east respiratory syndrome (MERS) ini.
Hingga berita ini diturunkan, sudah 18 negara termasuk Cina yang telah mengonfirmasi kasus serupa, yaitu Malaysia (4 kasus), Jepang (4 Kasus), Korea Selatan (4 kasus), Taiwan (5 kasus), Thailand (8 kasus), dan Singapura (4 kasus). Selain itu, ada juga Australia (5 kasus), Amerika Serikat (5 kasus), Kamboja (1 kasus), Vietnam (2 kasus), Jerman (1 kasus, Uni Emirat Arab (1 kasus), dan Finlandia (1 kasus).
Komisi Kesehatan Nasional Cina (NHC) menjelaskan, virus corona dapat menular dalam masa inkubasi yang berlangsung hingga dua minggu atau 14 hari. Hal tersebut menandakan, kemampuan virus untuk menyebar juga semakin kuat. Kasus yang terakhir dicurigai menyebar di Tibet juga telah dikonfirmasi, artinya virus tersebut telah menyebar ke-31 provinsi daratan Cina, kota, dan daerah otonom. Saat ini, terdapat 38 kematian baru, termasuk 37 di Hubei, dan yang lainnya datang dari Provinsi Sichuan di barat daya.
“Wabah ini diperkirakan masih akan berlanjut untuk beberapa waktu,” kata Menteri Kesehatan Cina, Ma Xiaowei, yang juga bertanggung jawab atas NHC, dikutip dari South China Morning Post, Kamis (30/1).
Baca juga: Ketika Jokowi Terkesima dengan Vertiver
Partai Komunis Cina, yang diketuai Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, menyebut jika situasi virus corona kali ini merupakan kondisi yang “rumit dan berat”. Kementerian Kesehatan Cina juga mengatakan, selain kasus-kasus yang sudah dikonfirmasi, ada lebih dari 9.000 kasus serupa yang diduga muncul secara nasional.
Media pemerintah setempat pun merekomendasikan, setelah libur Tahun Baru Imlek, yang berakhir pada hari Minggu ini, lembaga pemerintah setempat harus membiarkan karyawan dari kota dengan jumlah kasus virus corona untuk bekerja di rumah. Untuk mencegah dan mengendalikan virus, Kementerian Keuangan Cina mengatakan, mereka telah mengalokasikan dana sebesar 27,3 miliar yuan atau sekitar USD3,9 miliar.
Sementara itu, para ilmuwan yang tergabung dalam tim peneliti coronavirus dari Chinese Academy of Science (CAS) mengklaim, telah menemukan tiga obat yang memiliki efek cukup baik untuk menghambat virus corona di tingkat sel. Ketiga obat tersebut, yaitu Remdesivir, Chloroquine, dan Ritonavir, yang dianggap memiliki prosedur yang relevan untuk mendapatkan persetujuan penggunaan secara klinis.
Sebelumnya, para peneliti dari institut Shanghai Materia Medica bersama CAS dan Universitas Shanghai Tech telah memilih 30 kandidat obat yang ada untuk virus corona. Mulai dari produk alami yang aktif secara biologis, hingga obat-obatan tradisional Cina yang mungkin memiliki efek terapi untuk virus tersebut. Seperti 12 obat anti-HIV, seperti Indinavir, Saquinavir, Lopinavir, dan Carfilzomib; lalu dua obat anti-virus pernapasan syncytial; obat anti-skizofrenia; obat penekan penekan kekebalan tubuh; serta obat-obatan tradisional Cina, termasuk Polygonum cuspidatum.
Sejak munculnya 2019-nCoV ini, beberapa tim peneliti yang dipimpin Akademi Ilmu Kedokteran Militer dan Institut Virologi Wuhan (WIV) sudah melakukan penelitian terhadap lima aspek, yaitu produk deteksi cepat, obat anti-virus dan vaksin, penelitian keterlacakan hewan, serta riset etiologi dan epidemologi. Para peneliti WIV juga telah mengembangkan tes antibodi agar dapat meneliti lebih lanjut untuk memerangi virus ini.
Penyebab Virus Corona
Meski sudah ditemukan obat untuk menekan virus corona, namun penyebab utama virus ini masih menjadi tanda tanya. Beberapa ilmuwan mengatakan, ular menjadi sumber awal virus corona, namun pakar penyakit menular mengatakan, penyebab utama virus berasal dari kelelawar.
“Ketika Anda melihat urutan genetik virus, dan Anda mencocokkannya dengan setiap coronavirus yang dikenal, kerabat terdekat berasal dari kelelawar,” kata Dr. Peter Daszak, Presiden EcoHealth Alliance, organisasi nirlaba kesehatan lingkungan, seperti melansir CNN yang dikutip dari Tempo.co (30/1).
Senada dengan Daszak, Profesor Guizhen Wu dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina mengatakan, dalam penelitian yang dirilis oleh jurnal medis Lancet pada Rabu, data yang mereka miliki sejauh ini konsisten dengan virus yang semula dibawa oleh kelelawar. Kelelawar sendiri selama ini dilihat sebagai pembawa berbagai macam virus berbahaya.
Mamalia bersayap tersebut telah menjadi pembawa beberapa virus mematikan yang berbeda seperti Marburg, Nipah, dan Hendra, yang telah menyebabkan penyakit pada manusia dan wabah di Uganda, Malaysia, Bangladesh, dan Australia. Kelelawar juga dianggap sebagai inang alami dari virus ebola, rabies, SARS, dan MERS. SARS dan MERS merupakan virus yang sama yang berasal dari Wuhan. Seringkali, ada perantara yang terlibat seperti halnya SARS pada 2003, seperti kucing musang, dan MERS yang muncul pada 2000-an dan dibawa oleh unta.
Dalam kasus virus Nipah, yang dapat menyebabkan berbagai gejala termasuk ensefalitis fatal (radang otak), infeksi ditelusuri kembali ke jus yang terbuat dari getah pohon kurma yang telah terkontaminasi oleh urin atau air liur kelelawar. Kelelawar bertengger di pohon-pohon tempat penduduk setempat memasang wadah untuk mengumpulkan getah nipah.
“Fakta bahwa coronavirus baru ini dikaitkan dengan kelelawar tidak mengherankan bagi ahli virus yang menangani virus kelelawar. Kelelawar dikenal sebagai reservoir penting untuk virus yang muncul dan muncul kembali dengan potensi zoonosis,” kata ahli virologi di Departemen Penyakit Menular di Imperial College, London, Stathis Giotis.
Baca juga: Menanti Bangkitnya Sang Raja Rempah
Giotis mengatakan, ada kemungkinan kelelawar tapal kuda Cina, spesies kelelawar biasa di Cina, yang bertanggung jawab atas virus corona. Menurut New York Times, satu kelelawar menjadi inang berbagai virus tanpa menjadi penyakit. Toleransi kelelawar terhadap virus, yang melebihi dari mamalia lain, merupakan salah satu dari banyak ciri khas mereka. Mereka merupakan satu-satunya mamalia terbang, melahap serangga pembawa berbagai penyakit, namun mereka sangat penting dalam penyerbukan banyak buah, seperti pisang, alpukat, dan mangga.
Mereka juga merupakan kelompok yang sangat beragam, membentuk sekitar seperempat dari semua spesies mamalia. Tetapi kemampuan mereka untuk hidup berdampingan dengan virus yang dapat menyebar ke hewan lain, khususnya manusia, dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan ketika memakannya, memperdagangkannya di pasar dan menginvasi wilayah mereka. Dengan mempelajari mereka membawa dan bertahan hidup begitu banyak virus, menjadi pertanyaan mendalam bagi sains. Penelitian baru juga menunjukkan, jawabannya kemungkinan adaptasi evolusi kelelawar untuk terbang mengubah sistem kekebalan tubuh mereka.
Dalam makalah Cell Host dan Microbe di 2018, para ilmuwan di Cina dan Singapura melaporkan penyelidikan mereka tentang cara kelelawar menangani sesuatu yang disebut penginderaan DNA. Tuntutan energi untuk terbang begitu besar, sehingga sel-sel di dalam tubuh terurai dan melepaskan serpihan DNA yang kemudian mengambang di tempat yang seharusnya. Mamalia, termasuk kelelawar, memiliki cara untuk mengidentifikasi dan merespons potongan DNA, yang mungkin mengindikasikan incasi organisme penyebab penyakit.
Namun, pada kelelawar, evolusi telah melemahkan sistem tersebut, yang biasanya akan menyebabkan peradangan saat melawan virus. Dalam respons itu, kelelawar telah kehilangan beberapa gen yang terlibat dan yang masuk akal, karena peradangan itu sendiri dapat merusak tubuh. Mereka memiliki respons efektif, tetapi bukan respons berlebihan terhadap virus. Cara mengelola wabah virus corona saat ini dinilai sangat penting. Namun, melacak asal-usulnya dan mengambil tindakan untuk memerangi virus mungkin bergantung pada pengetahuan dan pemantauan kelelawar.
“Wabah dapat dikendalikan. Tetapi jika kita tidak tahu asal usulnya dalam jangka panjang, maka virus ini dapat terus meluas,” kata Daszak.
Selain itu, para ilmuwan Cina juga sudah mempelajari kelelawar dengan teliti dan menyadari betul, virus corona kemungkinan besar akan terjadi. Pada musim semi lalu, dalam artikel tentang virus corona kelelawar atau CoV, sekelompok peneliti Cina menulis: “Secara umum diyakini, CoV yang ditularkan oleh kelelawar akan muncul kembali untuk menyebabkan wabah penyakit berikutnya. Dalam hal ini, Cina kemungkinan sebagai titik panas.”
Tentu saja, hewan pengerat, primata, dan burung juga dapat membawa penyakit yang dapat menular ke manusia, namun kelelawar dianggap jauh melebihi mamalia lain. Mereka banyak dan tersebar luas. Sementara kelelawar merupakan seperempat spesies mamalia lain seperti tikus dengan 50%, kemudian manusia. Kelelawar hidup di setiap benua kecuali Antartika, dekat dengan manusia dan peternakan. Kemampuan terbang membuat daya jelajah mereka sangat luas, yang membantu penyebaran virus, dan kotorannya juga dapat menyebarkan penyakit.
Meski demikian, sebagian masyarakat dunia masih mengonsumsi kelelawar dan menjualnya di pasar hewan, yang merupakan sumber SARS dan mungkin membawa virus corona yang dimulai dari Wuhan. Kelelawar juga sering hidup dalam koloni besar di gua-gua dengan kondisi yang ramai, ideal untuk saling menularkan virus. Dalam laporan tahun 2017 di Nature, Dr. Daszak, Kevin J. Olival, dan peneliti lainnya dari EcoHealth Alliance melaporkan, mereka telah membuat basis data 754 spesies mamalia dan 586 spesies virus, dan menganalisis virus yang dilindungi oleh mamalia dan cara mereka mempengaruhi inang mereka.
“Kelelawar adalah tuan rumah bagi proporsi zoonosis yang jauh lebih tinggi daripada semua ordo mamalia lainnya,” kata laporan tersebut.
Zoonosis merupakan penyakit yang menyebar dari hewan ke manusia. Selain itu, kelelawar tidak hanya selamat dari virus yang mereka bawa. Kelelawar memiliki umur yang panjang untuk mamalia kecil. Kelelawar cokelat besar, spesies umum di Amerika Serikat, dapat hidup hingga 20 tahun di alam liar. Sedangkan lainnya dapat hidup hingga 40 tahun. Seperti kelelawar kecil di Siberia yang hidup hingga 41 tahun. Hewan seperti tikus rumah sendiri rata-rata hanya hidup sekitar dua tahun.
Salah satu teori menyatakan, mekanisme terbang semua kelelawar memungkinkan mereka untuk mengembangkan mekanisme yang melindungi mereka dari virus. Terbang meningkatkan metabolisme dan suhu tubuh kelelawar, mirip dengan demam pada manusia dan mamalia lainnya, dan para ilmuwan mengatakan pada skala evolusi, dapat meningkatkan sistem kekebalan kelelawar dan membuatnya lebih toleran terhadap virus.
Mencegah Virus Corona
Menanggapi menyebarnya virus corona, dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang juga Dekan FK UNS, Dr. Reviono mengatakan, virus corona atau 2019-nCoV merupakan virus baru penyebab penyakit saluran pernapasan. Selain itu ia menyatakan, penularan virus ini sangat cepat, karena melalui manusia ke manusia. Sehingga, masyarakat juga harus mengetahui gejala apa saja yang dirasakan jika terkena virus corona ini. Untuk gejalanya meliputi batuk, demam, kesulitan bernafas, ada riwayat kontak dengan pasien positif terkena virus corona serta yang bersangkutan melakukan bepergian ke luar negeri.
“Jika ada yang mengalami gejala seperti itu, maka segera periksakan diri ke pelayanan kesehatan atau rumah sakit supaya bisa segera di cek dan memperoleh tindakan medis,” katanya dalam keterangan tertulis UNS, belum lama ini.
Walau demikian, masyarakat dinilai tidak perlu panik. Terdapat beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mencegah terkena virus corona. Diantaranya yaitu dengan sering melakukan cuci tangan pakai sabun, gunakan masker, konsumsi gizi seimbang, perbanyak sayur dan buah, menjaga kebugaran tubuh, menghindari sumber infeksi, rajin olahraga dan istirahat cukup, jangan mengonsumsi daging yang tidak dimasak dan jika sedang flu jangan keluar rumah supaya tidak jadi sumber infeksi.
“Selalu cuci tangan ketika habis bepergian itu sangat penting. Karena tangan kita sering menyentuh pegangan pintu, pegangan tangga, dan lainnya dikhawatirkan tangan kita terkena virus,” katanya.
Baca juga: De Javu Teror Flu Burung
Di Indonesia, belum ada yang terjangkit virus corona ini. Pihak pemerintah juga telah siaga dalam menyikapi hadirnya virus corona ini. Yaitu dengan menutup penerbangan dari dan ke Cina serta memasang alat detektor panas tubuh di berbagai bandara.
“Jadi kalau ada yang terkena virus corona, maka suhu tubuh meningkat. Sehingga di beberapa bandara memasang alat ini untuk mendeteksi yang terinfeksi virus corona,” ujar Dr. Reviono.
Dr. Reviono menambahkan, bahwa kasus virus corona di Wuhan, Cina, telah menelan korban jiwa mencapai puluhan orang yang kebanyakan merupakan orangtua dengan penyakit peryerta. Sedangkan 80% penderita sembuh karena tidak ada penyakit penyerta dan usia tergolong masih muda.
“80% pasien di Cina ini sembuh dengan sendirinya karena memang belum ada vaksin khusus virus corona. Sebagai contoh jika kita terkena flu, tidak minum obat pun bisa sembuh karena virus dengan umurnya bisa mati sendiri. Di dalam tubuh manusia terdapat interferon yaitu berupa protein alami yang diproduksi tubuh sebagai respon tubuh dalam melawan senyawa berbahaya, seperti virus. Kalau produksi interferon cukup maka virus bisa terkendali pertumbuhannya dan mati sendiri. Namun kalau sudah berusia tua dan ada penyakit yang disertai, produksi interferon tidak cukup dan virus bisa tumbuh terus,” tutupnya.